Salin Artikel

Kisah Kuli Ngepok Batu Bara di Lebak Banten, Sudah Ada sejak Zaman Jepang

Sekilas, kampung ini seperti permukiman warga pada umumnya. Rumah-rumah berjejer di pinggir jalan poros desa. Bangunannya ada yang sudah tembok, sebagian lagi masih separuh bilik bambu.

Di beberapa sudut ada gundukan hitam. Gundukan ini sudah terlihat sejak masuk ke muka desa, tapi jumlahnya makin banyak saat terus masuk ke dalam kampung.

Gundukan tersebut adalah batu bara. Konon katanya salah satu hasil bumi yang membuat Jepang menjajah Banten bagian selatan termasuk di Kecamatan Panggarangan yang saat itu masih menjadi bagian dari Bayah.

Gundukan batu bara tersebut berasal dari tambang mikro yang dikelola oleh warga. Batu bara dikeluarkan dari perut bumi, lalu dibawa ke titik pengumpulan oleh para Kuli Ngepok, sebutan untuk buruh pengangkut batu bara.

Satu di antara Kuli Ngepok di Kampung Pasir Cikanyere adalah Roni (23) yang sudah menggeluti profesi selama sembilan tahun.

Kata dia, profesi kuli ngepok ini sudah dilakukan turun temurun, bahkan dia bilang sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Hal tersebut dia ketahui dari cerita kakeknya yang menjadi buruh batu bara saat Jepang menduduki Bayah.

Namun berbeda dengan sekarang yang menggunakan sepeda motor, jaman kakeknya, ngepok dilakukan dengan cara dipanggul.

Roni mengatakan, saat ini, tidak semua orang bisa menjadi Kuli Ngepok. Butuh kemampuan khusus yang terlatih untuk melakukannya. Kombinasi antara keahlian membawa sepeda motor di medan terjal, kekuatan dan keseimbangan.

“Kalau yang enggak ahli, bisa jatuh dan batu bara berceceran di jalan,” kata dia.

Jarak lubang tambang ke titik pengumpulan batu bara sekitar satu kilometer. Dengan medan yang terjal dan curam. Sepeda motor yang digunakan juga dimodifikasi khusus agar bisa melaju di jalur tersebut.

Kompas.com sempat menjajal rute tersebut dengan dibonceng warga lokal menggunakan motor trail. Namun beberapa kali harus turun karena motor kerap oleng atau tidak kuat membawa beban saat di tanjakan.

Namun bagi Roni, rute tersebut mudah saja dilalui, padahal dalam sekali angkut, beban yang dia bawa seberat dua kuintal batu bara.

“Rata-rata bawa dua karung masing-masing satu kuintal tiap satu rit, kalau enggak dipaksa bawa segitu enggak kecapai target harian,” kata dia.

Jika tidak mencapai target, batu bara tidak diangkut dan hal tersebut berpengaruh ke upah yang dia dapatkan.

“Karena bakal digeser ke hari berikutnya, nanti gajiannya juga mundur juga,” ujar Roni.

Roni mendapat bayaran dari ‘bos’ yang juga merupakan pemilik lahan dimana tambang batu bara berada. Gajinya dibayarkan satu minggu sekali.

“Sekali gajian dapat Rp 700.000 sudah bersih dipotong upah kenek juga,” ungkap dia.

Gaji tersebut kemudian akan diserahkan ke istrinya untuk biaya hidup sehari-hari. Namun tiga bulan sekali, satu kali gajinya tidak diberikan ke istri karena akan digunakan untuk servis sepeda motor.

Sembilan tahun menggeluti kerjaan sebagai Kuli Ngepok, Roni mengatakan hidupnya belum bisa disebut berkecukupan, bahkan seringnya malah kurang.

Apalagi, kata dia, saat harus proses pindah lubang ke tambang baru, maka kegiatan kegiatan ngepok tidak dilakukan setiap hari bahkan bisa sampai libur berbulan-bulan.

“Kalau lubang di sini batu baranya habis harus pindah buat lubang lain cari yang masih ada, menggalinya hingga ke titik ada batu bara bisa samai tiga bulan, saat itu saya libur ngepok, kerja serabutan yang lain,” kata dia.

Roni mengaku tidak punya pilihan kerjaan lain karena kerterbatasan pendidikan yang hanya lulusan SD.

Jika ada pekerjaan lain yang lebih layak, dia mengaku ingin berganti profesi, namun sejauh ini tidak ada peluang untuk hal tersebut.

“Belum pernah kerja yang lain, di kampung ini mayoritas para lelaku kerjanya ngelubang (membuat lubang tambang) dan ngepok,” kata dia.

Dia juga menyadari profesinya penuh resiko, apalagi tambang batu bara yang dikelola warga masih belum ada izin alias ilegal.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/17/100017078/kisah-kuli-ngepok-batu-bara-di-lebak-banten-sudah-ada-sejak-zaman-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke