Salin Artikel

Cerita "Ranger" Komodo, Taklukkan Rasa Takut demi Menjaga Satwa Endemik Indonesia

Warga Pulau Komodo menyebut komodo dengan nama Ora, sementara warga Pota menyebutnya Rugu.

Keberadaan satwa endemik Indonesia tersebut tidak terlepas dari peran para ranger atau penjaga.

Ranger tak hanya bertugas menjaga keamanan kawasan, namun juga sebagai pawang komodo hingga pemandu bagi wisatawan.

Cerita ranger komodo

Salah satu ranger komodo di Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat adalah Evan Stevano (31).

Sebelum menjadi ranger komodo, Evan bekerja di salah satu hotel di Labuan Bajo selama enam bulan.

Sekitar awal tahun 2012, ia mendapat informasi dari kerabatnya, bahwa pihak TNK membuka lowongan kerja sebagai ranger komodo.

"Saya dapat informasi dari teman ada lowongan untuk bekerja di TNK. Apalagi prioritas putra daerah, akhirnya saya memutuskan ikut seleksi," ujarnya.

Evan bersama calon pekerja yang lain kemudian mengikuti pelatihan selama enam bulan. Setelah dinyatakan lolos, ia ditempatkan di pos jaga yang sudah disediakan.

"Latihannya cukup keras, semi militer. Tapi yang namanya pilihan, kita tetap ikut," kenangnya.

Tugas ranger komodo

Evan mengatakan, selama bekerja mereka harus profesional. Setiap wisatawan yang datang wajib melapor ke petugas jaga.

Selanjutnya para ranger memberikan arahan kepada pengunjung selama berada di kawasan tersebut.

Evan dan para ranger lainnya bertugas mengatur jarak antara wisawatan dengan komodo, mengingat komodo bisa melukai manusia.

Dia juga memastikan agar wisawatan tidak membuat kegaduhan atau keributan dan tetap berada bersama rombongan.

"Kita wajib menjaga keselamatan wisatawan apalagi hewan ini kan cukup berbahaya. Sehingga pengunjung yang datang selalu dalam pantauan kami," ujarnya.

Kehadiran pemandu akan membuat pengunjung merasa jauh lebih aman karena ranger melengkapi dirinya dengan tongkat untuk mempertahankan diri dari komodo jika satwa tersebut menyerang.

Adapun jarak aman pengunjung dan komodo sekitar 3 hingga 5 meter. Sebab komodo akan merasa terancam jika pengunjung berusaha mendekat.

"Adakala ada wisatawan yang nekat untuk lebih dekat agar bisa berfoto dengan komodo. Tapi kita selalu ingatkan agar tetap menjaga jarak, karena cukup berbahaya," ujarnya.

Pengunjung juga dilarang untuk sendirian apalagi sampai keluar dari jalur pendakian resmi.

Evan mengatakan, komodo biasa muncul saat pagi hari ketika matahari mulai terbit. Mereka kadang berjemur di pinggir pantai. Saat siang hari komodo biasa ditemukan di bawah pepohonan rindang seperti asam.

Namun memasuki bulan Juni, Juli, Agustus, komodo cukup susah ditemui karena merupakan musim kawin.

Saat itu komodo berada di atas bukit dan di goa-goa. Pengunjung harus mendaki agar bisa melihat komodo.

Evan mengatakan, selain menjaga tamu yang datang, para ranger juga bertugas melindungi kawasan dari praktik, seperti pengeboman ikan dan perburuan.

"Khusus di kawasan TNK ada 13 pos jaga. Jadi setiap nelayan wajib melapor ke pos jaga, kita cek peralatan nelayan, kalau sudah sesuai aturan barulah diizinkan melaut," katanya.

Evan mengaku pekerjaan jadi ranger sangat menantang. Apalagi mereka juga harus melakukan monitoring dan pendataan satwa komodo setiap bulan.

Ia masih ingat ketika tujuh tahun lalu, kerabatnya terluka akibat digigit komodo. Lantaran hal itu, kerabatnya harus dirujuk ke rumah sakit di Bali.

Namun Evan melanjutkan, rasa takut tersingkir dengan niat baik untuk menjaga satwa endemik Indonesia yang bisa punah tersebut.

"Memang cukup berbahaya, namun yang pasti menjaga ciptaan Tuhan untuk hajat hidup orang banyak tidak perlu takut," tambahnya.

Berkaca dari pengalaman itu, membuat para ranger untuk tetap meningkatkan kewaspadaan. Namun satu sisi, bagi ranger peristiwa itu adalah risiko saat bekerja.

"Ini kan wilayahnya komodo, segala risiko itu memang konsekuensi kerja. Tapi selagi niat baik pasti aman-aman saja," ujarnya.

Penjaga komodo lainnya ialah Arsyad (43), warga di Kelurahan Pota, Kecamatan Sambi Rampas, Manggarai Timur.

Pria tersebut memilih menjadi inisiator gerakan peduli komodo sejak 2009.

Dia bahkan menjadikan rumahnya sendiri, sebagai Pusat Informasi Komodo. Banyak warga, anak sekolah, mahasiswa, wisatawan dari luar NTT datang ke rumahnya untuk menimba ilmu mengenai komodo.

"Hanya saja selama pandemi Covid-19 kunjungan wisatawan menurun. Tapi sekarang situasinya mulai pulih," ujar Arsyad saat dihubungi, Senin (20/2/2023).

Arsyad bercerita, dulu warga menganggap Rugu (sebutan untuk komodo) sebagai hama yang merusak lahan perkebunan, sehingga kerap dijerat bahkan dibunuh. Namun saat ini rugu sudah diperlakukan berbeda.

Terlebih setelah Pemkab Manggarai Timur Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT bersepakat menentukan bagian utara Kecamatan Sambi Rampas sebagai kawasan ekosistem esensial.

"Dari situ warga setempat mulai sadar dengan pentingnya keberadaan komodo di Sambi Rampas. Apalagi komodo ini kan salah ikon pariwisata kita," ujarnya.

Arsyad melanjutkan, jika ada komodo yang masuk ke permukiman dan kebun milik warga, termasuk kena jeratan, maka warga setempat akan menghubunginya.

Selanjutnya komodo akan dievakuasi dan kembali ke habitatnya yang lebih aman. Untuk proses evakuasi, Arsyad selalu berkoordinasi dengan tim dari BBKSDA.

"Komodo yang kena jeratan di kebun milik warga pernah terjadi pada 13 Februari 2022 lalu. Sejak saat itu sampai sekarang tidak ada lagi laporan dari warga. Warga juga tidak lagi menganggap komodo sebagai hama," katanya.

Saat ini, Arsyad mengatakan, banyak wisatawan dan juga mahasiswa asal Pulau Jawa yang berkunjung ke daerah mereka untuk belajar banyak mengenai satwa ini.

https://regional.kompas.com/read/2023/02/22/100000678/cerita-ranger-komodo-taklukkan-rasa-takut-demi-menjaga-satwa-endemik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke