Salin Artikel

Kelenteng Thian Hou Kiong Oase Penyejuk Hati Warga Tionghoa Gorontalo

GORONTALO, KOMPAS.com –  Liem Liang Cai atau yang biasa disapa Ferdy Holim mengenang perayaan 100 tahun berdirinya Kelenteng Thian Hou Kiong (Tulus Harapan Kita) di Kota Gorontalo.

Tempat ibadah umat Tridharma ini berada di pusat kota, di tepi Sungai Bolango yang membelah Kota Gorontalo. Lokasinya sangat strategis karena tidak jauh dari pusat pemerintahan, juga berada di area perdagangan yang selalu ramai dikunjungi orang.

Kelenteng ini merupakan tempat ibadah warga Tionghoa, juga tempat berkumpul untuk saling bertegur sapa dalam kerinduan saat merayakan pergantian tahun Imlek.

Di tempat ini suasana hati semua warga sejuk dan damai, seperti oase yang selalu dirindukan musafir dalam perjalanan panjangnya.

“Pada waktu peringatan 100 tahun kelenteng tahun 1983. Saya kelas 3 SD. Peringatan ini dibuat sekalian dengan perayaan Waisak, kalau tidak salah tahun itu untuk pertama kalinya Waisak jadi hari libur nasional,” kenang Liem Liang Cai.

Liem Liang Cai mengingat dengan jelas perayaan waktu itu sangat meriah dan megah. Warga Tionghoa hadir, tua muda, pria wanita. Mereka mengenakan baju terindah, para pelajar dewasa memakai baju putih, ada juga yang mengenakan baju daerah, demikian juga pelajar yang usia di bawahnya.

Baju-baju indah ini disesuaikan dengan atraksi yang akan mereka tampilkan dalam kemeriahan ini. Semua gembira, semua senang.

“Saya dan teman-teman kebagian tugas membawa 100 lilin, 1 anak membawa 1 lilin dan menyanyi lagu selamat datang,” ujar Liem Liang Cai.

Banyaknya 100 lilin yang dinyalakan ini menunjukkan usia kelenteng kebanggaan warga Tionghoa di Gorontalo ini.

Dalam perayaan 100 tahun klenteng ini dipentaskan drama, vokal grup, puisi, dan tari-tarian. Para penari ini mempelajari tarian dari bekas sekolah Tionghoa, tidak semua tarian Tionghoa, juga dipentaskan tarian melayu dan eropa. Para penari ini dipentaskan oleh kaum muda Tionghoa.

“Seingat saya wali kota hadir waktu itu, dan ada juga seremoni dan pidato juga,” ucap Liem Liang Cai.

Ia mengingat kemeriahan dan kegembiraan warga Tionghoa, waktu itu orang belum punya telepon seluler dan media sosial, hiburan audio visual hanya disajikan oleh televisi yang saat itu hanya ada TVRI.

Acara di kelenteng ini menjadi hiburan dan ajang sosial yang bermakna. Semua orang datang ke kelenteng, ramai sekali.

Pada hari-hari biasa kelenteng yang berada di Kampung Cina ini sangat ramai dengan kehadiran anak-anak Tionghoa, mereka menjadikan halaman kelenteng sebagai tempat bermain paling yang paling disukai.

“Waktu itu masih banyak anak-anak di Kampung Cina, dan halaman kelenteng adalah satu tempat bermain. Waktu itu belum ada gawai, anak-anak masih bermain secara tradisional,” ucap Liem Liang Cai.

Liem Liang Cai mengenang waktu masa kecilnya, halaman kelenteng benar-benar masih luas karena saat itu masih jadi satu dengan vihara yang di sampingnya, kondisi bangunan yang hanya 1 lantai juga belum semegah seperti sekarang ini.

Seingat Liem Liang Cai Kelenteng dan vihara "berpisah" sekitar pertengahan tahun 1990an. Bangunan vihara dan kelenteng dibuat lebih megah sekitar akhir 2000 atau awal 2001.

Dalam buku karya Hendri Gunawan seorang peneliti yang berjudul jaringan perdagangan masyarakat Tionghoa di Teluk Tomini kehadirang bangsa asing khususnya penduduk yang berasal dari daratan Tiongkok di wilayah karesidenan Manado terlacak melalui pembangunan Benteng Amsterdam di dekat Pelabuhan Manado.

Awalnya benteng ini dibangun dari material kayu pada tahun 1655 dan diberi nama bernama Nederlanche Vasticheijt.

Tahun 1673 benteng ini diperbaiki dengan material beton dan diberi nama Fort Nieuw Amsterdam (Amsterdam Baru).

Benteng ini pernah dijadikan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro selama 3 tahun setelah ia ditaklukkan pada tahun 1830.

Dalam perkembangannya, beberapa orang Tionghoa yang terlibat dalam pembangunan benteng ini kemudian menetap di sekitar benteng setelah mendapat kepercayaan dari penguasa.

Dari sini, sebagian orang Tionghoa menyebar hingga ke Gorontalo, umumnya mereka bekerja sebagai pedagang.

Mereka membangun relasi dengan para pedagang Bugis dan Makassar, menggunakan jalur pelayaran di Teluk Tomini yang dinamis.

Letak strategis Gorontalo yang berada di Teluk Tomini, dibelah oleh 2 sungai besar, Bone dan Bolango membuat kota ini tumbuh lebih cepat dari kota-kota lain di pinggiran Teluk Tomini. Peran orang Tionghoa sangat besar, termasuk mempengaruhi struktur kota.

Bahkan warga Tionghoa ini membangun permukiman di tepi Sungai Bolango, mereka mendirikan rumah-rumah kayu, hingga membentuk kawasan pecinan. Hingga kini kawasan ini disebut kampung cina.

Sementara warga Bugis yang mendiami tepi Sungai Bone membentuk kawasan permukiman yang hingga kini dikenal sebagai Kampus Bugis, secara administratif masuk di Kelurahan Bugis.

“Waktu saya kecil sekitar tahun 1980-an masih banyak orang yang tinggal di Kampung Cina, namun sekarang lebih banyak yang tokonya saja di Kampung Cina, tapi tinggalnya di tempat lain,” kata Liem Liang Cai tersenyum.

Ditemukannya emas di sejumlah daerah di Gorontalo juga menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Tionghoa untuk datang secara mandiri di Gorontalo atau didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai pekerja di tambang emas.

Tambang emas

Di Sumalata, sisi utara jazirah Gorontalo, ditemukan tambang emas tahun 1870, diduga sejak masa kerajaan aktifitas pertambangan ini sudah dikelola masyarakat secara tradisional.

Lokasi ini kemudian ditemukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dikelola sebagai industri besar yang berdasarkan temuan arkeologi sempat mendatangkan peralatan dari Inggris.

Keberhasilan industri emas ini tidak lepas dari pengerahan pekerja warga Tiongkok hingga mencapai puncaknya, meski berada di hutan, kerlap-kerlip lampu di permukiman dan aktifitas penambangan emas menjadikan daerah ini seperti metropolitan pada masanya.

Para warga Tionghoa bersama warga lokal dipekerjakan di sini. Namun pada suatu ketika terjadi pergolakan, warga lokal memberontak dan berhasil membunuh petinggi pertambangan, Christiaan Knappert. Korban lain juga diduga banyak, termasuk warga lokal.

Dugaan pemberontakan ini adalah pemaksaan kerja pada masa bulan Ramadhan dan saat hari Jumat.

Kehadiran orang Tionghoa di Gorontalo makin lama makin banyak. Usai mendirikan kampung China mereka kemudian membangun tempat ibadah.

Maryam Lamadlaw tokoh Tionghoa Gorontalo menceritakan sejumlah warga Tionghoa di Gorontalo sering berkumpul setelah seharian mereka bekerja, dari obrolan inilah kemudian tercetus untuk membangun tempat ibadah sesuai kebutuhan mereka saat itu.

Jejak pembangunan Kelenteng Thian Hou Kiong ini bisa ditelusuri dari plakat kayu yang menjadi prasasti pendirian bangunan ini.

Plakat kayu ini dipenuhi nama-nama penyumbang pembangunan kelenteng dengan besaran sumbangan dalam huruf cina, kabarnya para penyumbang ini berasal dari negeri Tiongkok.

Dari prasasti ini diketahui pembangunan klenteng digagas oleh Lie Bun Yat, Kho Lin Tjie, Yo ho Lian, dan Lie Bun Cai, dibangun tahun 1883.

Setelah pendirian klenteng ini umat Budha, Tao dan Konghucu di Gorontalo dapat beribadah secara representatif.

Data laporan Pemerintah Hindia Belanda melalui keasistenrsisenan Gorontalo menyebutkan di wilayah kota Gorontalo pada tahun 1930 terdapat 1.967 orang Tionghoa, jumlah ini jauh di atas total populasi orang eropa pada saat itu yang berjumlah 289 orang, sementara penduduk pribumi mencapai 206.110 orang.

Banyaknya warga Tionghoa ini memberi sumbangan signifikan bagi kemajuan Kota Gorontalo, terutama disumbangkan di sektor perdagangan hingga kini.

Lies Pakaya yang memiliki nama The Hui Nio (50) salah satu umat Tridharma mengaku senang berada di kelenteng Thian Hou Kiong ini, ia bisa beribadah dengan tenang dan merasa nyaman dengan keberagaman warga Gorontalo. 

Ia bersama Deasy Yusuf (41) salah seorang petugas kebersihan yang beragama katolik melayani sejumlah tamu yang datang ke kelenteng menjelang perayaan Imlek sambil mereka membersihkan bagian depan dan beranda.

Sementara Rani Pakaya (32) yang mengenakan jilbab tengah menikmati kemegahan kelenteng di halaman sambil menanti suaminya Sofyan Jafar seorang muslim bekerja mengatur persiapan perayaan menyongsong tahun baru Imlek, Xin Nian Kuai Le, Gong Xi Fa Chai, semoga di tahun ini, kita semua lebih makmur, lebih sehat, lebih bahagia.

https://regional.kompas.com/read/2023/01/22/141752178/kelenteng-thian-hou-kiong-oase-penyejuk-hati-warga-tionghoa-gorontalo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke