Salin Artikel

Kasus Perkawinan Anak di Perbatasan RI-Malaysia Naik, Dinsos Khawatir Ada Kampung Janda

NUNUKAN, KOMPAS.com – Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Nunukan, Kalimantan Utara menyatakan, terjadi kenaikan kasus pernikahan anak pada tahun 2022.

Kepala DSP3A Nunukan Faridah Aryani mengatakan, pada pertengahan 2022 sudah ada 30 kasus perkawinan anak. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding 2021 yang terdata belasan kasus perkawinan anak dalam setahun.

"Secara data, DSP3A mengeluarkan dispensasi nikah itu 23 lembar pada 2022. Masalahnya, yang menikah siri ini tidak terbendung dan cukup menjadi masalah serius," ujarnya, Sabtu (14/1/2023).

Rekomendasi pernikahan anak, diakui Faridah menjadi hal dilematis.

Pernikahan anak tak hanya soal pasangan bisa memenuhi sejumlah syarat dari Dinas Kesehatan, dokter kandungan atau bidan, DSP3A, dan psikolog.

Namun, pernikahan tak lepas dari keadaan mental atau psikologi, kemampuan menafkahi, dan kematangan organ reproduksi.

Dengan alasan tersebut, tentu Pemerintah dengan berat hati mengeluarkan rekomendasi. Sekalipun di antaranya ada pernikahan dini yang terkesan paksaan dari orang tuanya.

"Para orangtua selalu mengatakan dari pada berzina, lebih baik segera dinikahkan. Masalahnya, banyak yang lewat jalur pintas. Orangtua menikahkan dulu anaknya secara siri, baru mendatangi kami meminta rekomendasi," kata Faridah.

"Ini kan termasuk tipu daya, dan kami tidak bisa mencegah pernikahan dini yang diinisiasi orangtua anak selaku pemegang hak mutlak bagi putra putrinya. Tapi beberapa kasus, kita tidak mau keluarkan rekomendasi," imbuhnya.

Dari penelusuran di lapangan, kata Faridah, pernikahan anak paling muda berusia 15 tahun atau usia SMP. Tidak sedikit, usia pernikahan anak tak berumur panjang, hanya bertahan tiga bulan, enam bulan, atau kurang dari setahun.

"Kalau angka pernikahan anak tinggi, angka perceraian tentu tinggi. Tidak menutup kemungkinan ada kampung janda seperti wilayah perkotaan di Jawa sana. Ini menjadi bahan pemikiran kami juga," sambung dia.

Faridah menegaskan, kasus pernikahan siri anak, merupakan sebuah dilematis dan bak buah simalakama.

Pernikahan tersebut, dianggap sah secara agama, namun jika merujuk para hukum Negara, banyak hak anak yang hilang. Tidak ada keterikatan hukum, sehingga, kewajiban menafkahi istri atau keturunannya (jika ada), tidak didapatkan oleh para janda belia tersebut.

DSP3A Nunukan, masih mencoba melakukan komunikasi dan mencoba meminta pendapat para ulama di Nunukan, apakah boleh dirumuskan sebuah punishmen atau sanksi bagi anak dibawah umur yang dinikahkan siri tanpa rekomendasi DSP3A, Dinas Kesehatan, dokter kandungan/bidang dan Psikolog sebagaimana MoU yang ada.

Apalagi, sejauh ini, data data yang diperoleh baru kasus pernikahan dini dari Pengadilan Agama yang notabene Muslim.

DSP3A masih butuh data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, untuk mengetahui berapa banyak jumlah pernikahan dini diluar mereka yang beragama Islam.

"Angka pernikahan dini tinggi, potensi perceraian juga tinggi. Tentu mereka belum matang secara psikologi, karena mereka adalah anak anak yang dipaksa dewasa. Nah janda-janda muda ini kita takutkan terjerumus pada pergaulan bebas, dan menjadi masalah baru, dengan trend internet yang kian terbuka saat ini," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/01/14/121819778/kasus-perkawinan-anak-di-perbatasan-ri-malaysia-naik-dinsos-khawatir-ada

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke