Salin Artikel

"Krisis Iklim Ini Nyata, Suami Kami Kehilangan Pekerjaan, Anak-anak Putus Sekolah"

Matanya nanar menatap puing-puing rumah yang berserakan sesekali tatapannya ia lempar ke laut lepas Samudera Hindia yang membentang di pesisir Bengkulu sepanjang 525 kilometer.

Puluhan rumah di desa itu terlihat berada dekat dari bibir pantai menunggu waktu laut akan melumatnya.

"Lihatlah pemilik rumah ini bernama Muris, ia bersama keluarganya terpaksa pindah ke luar desa karena rumah dan tanahnya habis disapu abrasi. Tertinggallah puning-puing saja. Kami mulai resah, kami ingin menghentikan abrasi tapi tak mampu," kata Raniah yang didaulat para perempuan Desa Pondok Kelapa sebagai Ketua Kelompok Perempuan Sungai Lemau, di desanya itu, Selasa (2/1/2023).

Bersama ratusan perempuan desa setempat Raniah membentuk organisasi Perempuan Sungai Lemau yang berjuang menyuarakan keresahan kelompok perempuan agar abrasi segera diatasi.

Sejumlah kegiatan mereka lakukan mulai dari menanami mangrove sepanjang pesisir hingga berkirim surat pada pemerintah agar abrasi di kampungnya dapat dihentikan.

"Aksi perempuan desa menyelamatkan kampung dari abrasi selalu gagal, kami pernah menanam mangrove di sepanjang pantai namun habis tersapu ombak, ombak laut Samudera Hindia memang ganas. Kami berkirim surat ke bupati, DPRD, gubernur, juga dilakukan namun belum ada titik terang," keluhnya.

Hidup makmur mereka rasakan. Hasil laut melimpah sedangkan buah kelapa terus berbuah.

Namun ujian melanda ketika laut perlahan menenggelamkan perkebunan kelapa serta melumat tempat pendaratan ikan bagi nelayan.

"Daratan kami hilang sejauh 1 kilometer sejak 20 tahun terakhir, ratusan hektar kebun kelapa dan tempat pendaratan nelayan hilang. Alhasil suami kami bekerja sebagai nelayan menjadi pengangguran sementara kaum perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan kering turut kehilangan pekerjaan," kenang Raniah.

Raniah mengatakan dahulu saat laut masih bersahabat dari pendapatan menjual ikan kering kaum perempuan bisa mengumpulkan uang Rp 3 juta per bulan ditambah menjual kelapa sekitar Rp 1 juta per bulan, total pendapatan sekitar Rp 4 juta.

Itu belum ditambah hasil tangkapan ikan dari kaum pria.

"Per bulan bisalah mendapatkan uang Rp 6 jutaan kala itu. Namun, sekarang semua tinggal cerita. krisis Iklim ini nyata. Suami kami kehilangan pekerjaan, anak-anak putus sekolah," kenangnya.

Para kaum bapak dan ibu yang kehilangan pekerjaan akibat abrasi bertahan hidup bekerja serabutan menjadi buruh harian, kuli, tukang hingga memungut buah kelapa sawit sisa (brondol) di sebuah perkebunan swasta terdekat.

"Bapak-bapak jadi kuli, buruh, itu juga kalau ada pekerjaan kalau tidak mereka menganggur. Sementara ibu-ibunya jadi tukang pungut buah brondol sawit di perusahaan, ada juga yang membuka kantin jajanan. Namun, tutup pula dilanda pandemi Covid-19," ungkap Raniah.

Raunah memiliki seorang anak usia 16 tahun namun tak dapat melanjutkan ke sekolah karena tidak ada dana.

Kebun kelapa dan tambatan perahu nelayannya habis ditelan abrasi.

"Anak saya tamat SLTP tahun 2021 tak melanjutkan ke SLTA karena tidak ada biaya, kebun kelapa dan kegiatan nelayan kami terhenti. Jadi, anak saya sekarang bekerja jadi kenek truk bersama ayahnya," jelas Raunah.

Raunah sempat menghitung ada belasan remaja di desanya tak dapat melanjutkan sekolah karena kebun kelapa dan penambatan kapal nelayan hancur ditelan abrasi.

"Ada belasan anak-anak putus sekolah di desa ini saja. Belum lagi desa tetangga kalau dijumlahkan akan semakin banyak," kata Raunah.

Anak Raunah menurutnya memiliki cita-cita menjadi polisi namun impian itu pupus karena tak melanjutkan ke SMA.

Perubahan iklim itu nyata

Koordinator Data dan Informasi BMKG Bengkulu Anang Anwar menyatakan, perubahan iklim itu nyata akibat pemanasan global serta berdampak pada naiknya permukaan air laut begitu juga kenaikan suhu air laut.

Sepanjang 20 tahun BMKG mencatat kenaikan suhu permukaan air laut di Bengkulu sebesar 0,1 derajat.

Meski kecil, kenaikan tersebut signifikan bagi perubahan iklim.

"0,1 itu kecil secara angka. Namun, itu signifikan bagi pemanasan global yang mempengaruhi perubahan iklim," jelas Anang.

Anang mengatakan naiknya permukaan air laut itu terjadi akibat mencairnya es di Kutub akibat pemanasan global.

Selanjutnya semakin memperkuat laju abrasi karena gelombang dan terpaan arus laut.

"Abrasi itu terjadi karena gelombang yang disebabkan terpaan angin lalu ditambah lagi oleh arus laut (tekanan laut) semuanya berkorelasi akibat pemasanasan global dan perubahan iklim," ujar Anang.

Di Bengkulu, ujar Anang, perubahan iklim terasa dalam beberapa daerah yang sekarang sudah tidak sedingin dahulu. 

Penyebabnya banyak faktor berkurangnya jumlah hutan dan aktivitas masyarakat lainnya.

Bukti naiknya permukaan laut di Bengkulu telah terjadi dalam catatan Kompas.com setidaknya dua pulau di daerah itu hilang yakni Pulau Satu dan Pulau Bangkai.

Pulau Satu dan Pulau Bangkai yang berada di sekitar Pulau Enggano, sekitar 90 mil dari Kota Bengkulu kini tinggal nama karena sudah tenggelam akibat abrasi.


184 desa di Bengkulu terancam abrasi

Direktur Walhi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga menyatakan terdapat 184 desa di Bengkulu terancam abrasi mulai dari Kabupaten Kaur hingga Mukomuko berbatasan dengan Provinsi Lampung dan Sumatera Barat.

Walhi mengingatkan Bengkulu telah mengalami krisis iklim dan harus menjadi perhatian serius mengingat daerah itu ditetapkan BNPB sebagai potensi bencana maka pemerintah diminta untuk mempunyai peta penanganan bencana.

Bengkulu yang identik dengan pesisir ada 184 desa di tepian pesisir maka pemerintah harus memperhatikan kerentanan daerah pesisir. 

Pemerintah diharap punya fokus yang serius menyikapi dampak perubahan iklim terhadap masyarakat dan nelayan.

Sebagai wilayah yang juga dengan kawasan hutan yakni Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) Bengkulu harus mempertahankan fungsi kawasan hutan terakhir di Bengkulu.

Ancaman pelepasan fungsi kawasan hutan sebesar 120.000 hektar akan berdampak serius mempercepat krisis iklim itu sendiri.

"Pemerintah harus mempertimbangkan kembali usulan pelepasan fungsi kawasan hutan dari Pemprov Bengkulu karena pelepasan fungsi kawasan itu dapat memperluas industri pertambangan di Bengkulu," ujar Ibrahim.

Pemerintah juga diminta untuk menghentikan penggunaan energi fosil.

Pemerintah juga diminta untuk melakukan review dan penegakkan hukum bagi perusahaan industri ekstraktif di Bengkulu karena aktivitas itu akan berkontribusi meningkatkan CO2 yang dapat membuat pemanasan global.

Walhi juga mengusulkan agar pemerintah melibatkan masyarakat nelayan serta berdampak akibat krisis iklim untuk diajak mengambil kebijakan dalam menyikapi soal krisi iklim.

"Harus ada pelibatan masayarakat baik teknis dan substansi dalam menangani krisis iklim yang turunannya baik dalam bentuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Bengkulu," demikian Ibrahim.

Bagi Raunah dan Rainah, mereka inginkan desa mereka tidak hilang ditelan laut.

Bila tidak ada intervensi pemerintah maka dalam waktu 10 tahun mereka dapat memastikan desa mereka ikut tenggelam.

"Kami sudah tak bisa lagi banyak berbuat perlu campur tangan pemerintah untuk selamatkan desa kami dari abrasi," demikian Raunah.

https://regional.kompas.com/read/2023/01/02/165120478/krisis-iklim-ini-nyata-suami-kami-kehilangan-pekerjaan-anak-anak-putus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke