Salin Artikel

Kaleidoskop 2022: Banjir Rob yang Tak Kunjung Usai di Kota Semarang

Pertengahan tahun ini, tepatnya 23 Mei 2022 terjadi banjir rob yang cukup besar. Salah satu penyebabnya adalah cuaca ekstrem yang mengakibatkan salah satu tanggul di Kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang jebol.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, ada tiga kelurahan di wilayah Kecamatan Semarang Utara yang terdampak banjir rob.

Ketiga kelurahan itu yakni Bandarharjo, Tanjung Mas, dan Kemijen. Di Bandarharjo, banjir rob melanda wilayah RT 001 hingga RT 010, dengan jumlah penduduk mencapai 900 KK. Luas wilayah di Bandarharjo yang tergenang air rob ini diperkirakan mencapai 125 hektare.

Untuk Kelurahan Kemijen, total ada 1.245 KK yang terdampak banjir rob yang luasnya diperkirakan mencapai 39 hektare. Sedangkan, wilayah paling luas terdampak banjir rob di Semarang ada di Kelurahan Tanjung Mas.

Untuk mengatasi banjir rob, Pemerintah Kota Semarang mempunyai ambisi membangun sabuk pantai di Kampung Tambak Lorok Semarang yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan rob.

Plt Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu mengatakan, untuk proses lelang sudah selesai. Saat ini pengerjaan sabuk pantai sedang berjalan.

"Sekarang ini sudah berjalan pembangunan sabuk pantai di Tambaklorok," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/11/2022).

Informasi yang dia dapatkan, sabuk pantai yang sedang dibangun di kawasan Tambaklorok tersebut panjangnya mencapai 1,2 kilometer.

"Pembangunan yang itu menghabiskan anggaran sebanyak Rp 300 miliar," ujarnya.

Dia menjelaskan, untuk anggaran pembangunan sabuk pantai tersebut bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Untuk anggarannya bukan dari pemerintah daerah tapi langsung dari PUPR," tambahnya.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang, Iswar Aminudin berharap, dibangunnya sabuk pantai di Tambaklorok bisa menjadi solusi masalah rob di daerah tersebut.

"Mudah-mudahan dengan dibangun sabuk pantai, titik rawan terjadinya rob sudah tak ada lagi di Kota Semarang," paparnya.

Selain persoalan rob, Tambaklorok juga mempunyai permasalahan lain, yaitu penurunan tanah. Setiap tahun permukaan tanah di Kota Semarang selalu turun.

"Data yang kami terima dalam setahun turun 10 sentimeter," paparnya.

Pihaknya, juga sudah melakukan persiapan untuk mengahadapi cuaca ekstrem yang diprediksi bakal terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah.

"Kemarin banjir rob yang di pelabuhan juga sudah diperbaiki. Pintu-pintu sudah ditutup," ucapnya.

Selain itu, beberapa sungai seperti Sungai Semarang, Sungai Banger, Sungai Banjir Kanal Timur dan Sungai Tenggang juga sudah disiapkan pompa penyedot air.

"Beberapa sungai sudah kita normalisasi dan sudah kita sediakan pompa juga. Semoga persiapan ini bisa antisipasi ancaman banjir rob," ujarnya

Butuh dukungan pusat

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Muhammad Afif meminta agar pemerintah pusat membantu pemerintah daerah menangani banjir rob di kawasan pesisir Kota Semarang.

"Masalah rob, intinya tidak bisa dibebankan kepada pemerintah daerah. Karena, melihat pendanaan ini kan tidak ringan," jelasnya kepada awak media, Selasa (13/12/2022).

Menurutnya, pemerintah daerah mempunyai keterbatasan soal pendanaan untuk mengatasi banjir rob di kawasan pesisir Kota Semarang.

"Harus ada bantuan dari pusat, mengandalkan dana dari daerah. Saya kira tidak mampu," ujarnya.

Afif beranggapan, masalah banjir rob merupakan tanggung jawab bersama yang harus dikoordinasikan dengan baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

"Kalau hanya dibebankan pemerintah daerah ya berat," paparnya.

Dia mengaku sering melakukan kajian dan studi banding bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang terkait penanggulangan banjir rob di kawasan pesisir.

"Kita belum mendapatkan solusi yang tepat selain sabuk laut," ujarnya.

Afif menilai sabuk laut cukup efektif untuk penanggulangan banjir rob yang terjadi di daerah pesisir Kota Semarang.

"Tapi terkait dengan pendanaan kan saya kira berat. Misalnya ada skala prioritas lainnya diperhatikan, fokus ke pendidikan, urusan kesehatan dan lainnya," imbuhnya.

Saat melakukan pertemuan di kawasan pesisir, banyak warga yang mengusulkan sabuk laut dan pos pemantau untuk mengetahui air rob.

"Kelau membangun seperti itu hanya dengan anggaran daerah berat pastinya," paparnya.

Tempat tinggal yang hilang

Sekitar 10 tahun ke belekang banjir rob sudah terjadi di Kelurahan Tanjung Emas Semarang. Fenomena tersebut membuat beberapa rumah warga tenggelam.

Selain banjir rob, kawasan tersebut juga terjadi fenomena penurunan tanah. Setiap tahunnya, wilayah pesisir Kota Semarang itu mencapai 10 hingga 15 sentimeter.

Lurah Tanjung Emas Sony Yudha mengatakan, berdasarkan data yang dia terima dari pusat penurunan tanah di daerahnya mencapai 10 sampai 15 sentimeter.

"Kalau di wilayah Kelurahan Tanjung Emas memang berkurang sekarang wilayahnya," jelasnya.

Sony mengaku belum mengetahui secara pasti berapa luasan wilayah Kelurahan Tanjung Emas yang sudah hilang. "Yang hilangnya berapa kilometer saya belum menghitung secara pasti," paparnya.

Namun, secara kasat mata memang terlihat beberapa rumah penduduk, tempat penampungan ikan, pom bensin dan pemakaman yang sudah tenggelam. "Sekarang sudah kosong di sana, tak ada yang menghuni," ujarnya.

Dia menjelaskan, dulunya bagian wilayah tersebut masuk di RW 16 Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Emas, Kota Semarang.

"Lokasinya mungkin langsung berbatasan langsung dengan bibir pantai sehingga tak bisa diselamatkan," katanya.

Sampai saat ini, total populasi warga Kelurahan Tanjung Emas sekitar 31.000 warga. Tak terhitung warga yang sudah menyampaikan keluhan kepadanya.

"Kebanyakan pada mengeluh soal rob. Padahal rob itu juga berhubungan dengan penurunan tanah," imbuhnya.

Infromasi yang dia peroleh, rob di Kelurahan Tanjung Emas hanya datang satu bulan satu kali. Namun, saat ini rob datang setiap hari.

"Awalnya sebulan sekali, seminggu sekali dan sekarang satu hari satu kali rob datang," ungkapnya.

Memilih meninggalkan rumah

Ketua RW 16 Kelurahan Tanjung Emas Slamet Riyadi menambahkan, warga sudah tak kuasa membendung air rob. Padahal, rata-rata rumah warga sudah ditinggikan.

"Ya kita tau adanya penurunan tanah juga makannya kita tinggikan. Warga rata-rata sudah meninggikan 50 sentimeter tapi tetap kemasukan air," kata Slamet beberapa waktu lalu.

Beberapa warganya juga lebih memilih meninggalkan rumahnya karena tak sanggup menanggung biaya meninggikan rumah.

"Jumlahnya saya tak tau pasti, tapi ada yang milih kos atau kontrak rumah. Soalnya biaya meninggikan rumah itu mahal. Sudah ditinggikan saja masih terkena rob," paparnya.

RW 16 sudah mengumpulkan uang secara swadaya dari warga untuk meninggikan jalan di bawah jembatan layang untuk menanggulangi banjir rob yang datang setiap hari.

"Kita sudah berinisiatif untuk meninggikan jalan yang di sana. Tapi sekarang belum rampung," ujarnya.

Selain iuran swadaya dari masyarakat, proyek peninggian jalan tersebut juga dibantu uang operasional dari masing-masing ketua RT di RW 16 Tambaklorok.

"Kita dapat uang operasional. Nah kita alokasikan untuk itu meninggikan jalan," imbuhnya.

Dia menjelaskan, warga terpaksa melakukan swadaya karena sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah.

"Ini sambil menunggu bantuan dari pemerintah jadi kita swadaya dulu dari masyarakat," paparnya.

Sampai saat ini, untuk meninggikan jalan tersebut sudah habis 20 dump truk untuk mengangkut tanah yang telah dibeli melalui uang swadaya tersebut.

"Sudah habis 20 dump truk, setiap dam itu transportasi dan pembelian tanah bisa habis sekitar Rp 1 juta sekali angkut," imbuhnya.

Sementara itu, Warga Tambaklorok, Solekah (38) menambahkan, banjir rob sudah terjadi di Tambaklorok sejak satu minggu yang lalu. Hal itu membuat aktivitas warga terganggu.

"Bahkan anak-anak yang pulang itu harus diangkut dengan sepeda motor roda tiga. Kalau yang tak punya uang ya mereka digendong orang tuanya," keluhnya.

Warga yang rumahnya terdampak, terpaksa menitipkan kendaraannya di rumah tetangga yang tak terdampak rob. Hal itu membuat kendaraan mereka lebih aman.

"Jika dipaksakan melintas sepeda motor tersebut akan rusak,"ujarnya.

Biasanya, lanjutnya, air rob yang datang ke permukiman warga mulai datang setiap pagi hingga sore.

"Namun kadang juga bisa dari sore sampai malam. Jadi memang tak bisa ditebak datangnya air rob," lanjutnya.

Berutang agar tak tenggelam

Amron, warga Tambak Lorok sudah berkali-kali meninggikan rumahnya. Namun usaha itu seperti sia-sia.

Padahal, biaya untuk meninggikan rumah tak sedikit. Sekali meninggikan, bisa menghabiskan Rp 100 juta. Tak jarang Amron terpaksa berhutang agar rumahnya tak tenggelam.

Sampai saat ini Amron sudah enam kali meninggikan rumahnya. Yang awalnya rumah bertingkat, kini rumah Amron hanya tersisa satu lantai.

"Kalau biaya membangun ke sini materialnya lebih mahal karena jalan sempit. Jadi harus diangkut dua kali," jelasnya di rumahnya.

Amron hanya bisa pasrah. Selama 26 tahun Amron tinggal di Tambak Lorok, kini hanya tersisa lantai dua dan atap rumah.

"Rumah saya dulu yang lantai satu itu sekitar 6 meter tingginya dan sekarang hanya tinggal atapnya saja," ujarnya.

Jika mempunyai rejeki lebih, Amron mempunyai keinginan untuk meninggikan rumahnya agar lebih tenang.

"Sini kan daerah sering terkena rob, jadi kalau keadaannya seperti ini rumah-rumah ini bisa terendam rob semua," katanya.

Hal yang sama juga dikatakan Mustahil. Selama tinggal di Tambak Lorok sudah banyak rumah-rumah yang tenggelam. Menurutnya, permasalahan di Tambak Lorok begitu kompleks.

"Di sini itu masalahnya kompleks, mulai dari rob, sumur bor dan kalau malam itu ada getaran yang sangat kencang. Sampai saat ini kita tak tau getaran apa itu," imbuhnya.

Menurutnya, sudah banyak warga sekitar terutama yang mempunyai biaya lebih memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman.

Namun, banyak juga warga yang memilih tetap tinggal di Tambaklorok. "Lha gimana lagi, ini adalah pilihan satu-satunya," keluhnya.

Pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila menyebut, pesisir Kota Semarang setiap tahunnya mengalami penurunan tanah sekitar 10 sentimeter.

"Penurunan tanah itu ada di daerah pesisir. Karena memang ini tanah muda," jelasnya beberapa waktu lalu.

Meski tanpa adanya bangunan di pesisir Kota Semarang, dia memprediksi permukaan tanah di Kota Semarang tetap terjadi penurunan.

"Karena ada beban bangunan juga sekarang, jadi penurunannya tambah banyak," paparnya.

Selain kontur tanah pesisir yang masih muda, pengambilan air tanah secara masif juga menjadi penyebab penurunan tanah di Kota Semarang.

"Jadi semakin parah penurunan tanah di Kota Semarang. Ini sudah mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun," ujarnya.

Soal pengambilan air tanah juga menjadi permasalahan yang lain. Sampai saat ini banyak perusahaan yang masih menggunakan air tanah.

"Pemerintah harus menyediakan dulu air yang bisa menjadi pengganti air bawah tanah. Kalau airnya jelek industri pasti tak mau," imbuhnya.

Menurutnya, sampai saat ini pemerintah Kota Semarang juga belum melakukan apa-apa terkait dengan bagaimana agar air permukaan itu siap digunakan oleh industri.

"Minimal air permukaan yang disediakan pemerintah itu layak diminum," harapannya.

Ditanya soal air permukaan yang disediakan PDAM Kota Semarang, Mila menyebut jika perusahaan air plat merah itu belum bisa mencukupi kebutuhan semua warga Semarang.

"Ada beberapa daerah yang airnya sudah tak lancar lagi. Jadi PDAM belum bisa jika menggantikan air tanah untuk industri," ungkap Mila.

Tanggul bukan solusi

Pakar Lingkungan dan Tata Kota Unissula Semarang Mila Karmila menjelaskan, ancaman rob tidak datang dari penurunan muka tanah semata. Namun, juga naiknya permukaan laut akibat es kutub yang mencair.

Hal ini menjadikan upaya untuk memperlambat rob dua kali lebih berat. Terlebih, semakin besar penurunan muka tanah semakin besar biaya yang harus dikeluarkan warga untuk meninggikan rumah paling tidak 5 tahun sekali.

Mereka yang tidak mampu menanggung biaya renovasi tahunan itu pada kondisi terburuk harus memompa air rob ke luar rumah setiap waktu.

Sebab, mereka tidak punya pilihan lain atau bahkan untuk pindah rumah. Dia sepakat, strategi warga dalam merespons cenderung solusi repetitif dan jangka pendek saja.

Alih-alih mengambinghitamkan perubahan iklim, pemerintah mestinya bergerak turun membantu warga dan menunjukkan keseriusan menangani akar masalah untuk melakukan mitigasi jangka panjang.

Menyoal keberadaan tanggul laut di Kecamatan Sayung, Demak, Mila beranggapan tanggul itu tak sepenuhnya menyelesaikan masalah rob di sana.

Pembangunan tol memang sekaligus menjadi tanggul mencegah rob di sebagian wilayah, seperti Sriwulan. Akan tetapi, banjir rob itu justru bermuara ke wilayah lainnya yang tidak dibangun tol.

Sebab, dia mendapati aduan dari masyarakat bila rob semakin parah dan sulit diprediksi di Kecamatan Bedono, Timbulsloko, Surodadi, dan sebagainya.

"Iya saya dapat keluhan, iki rob e wes raiso dikiro-kiro tekone kapan, kata mereka. Pokoknya rob datang semaunya gitu setelah proyek itu dibangun," ujar dia.

Mila menilai, mestinya bila ingin membangun tanggul maka proyek harus merata di semua titik yang mengalami rob.

"Siapa sebenarnya yang diuntungkan tol (tanggul laut), pengguna mobil kan? Artinya bukan masyarakat, karena mereka tidak pernah lewat situ. Jadi harus dilihat untuk siapa pembangunan itu," kata dia.

Di samping itu, dia juga tidak menjamin tanggul dapat menjadi solusi utama jangka panjang untuk mengatasi rob.

Terlebih, melihat tanggul di beberapa titik tetap jebol tak kuat menahan hantaman gelombang air laut, seperti di Pelabuhan Tanjung Emas, PT Lami Citra beberapa waktu lalu.

"Contohnya di Pekalongan tidak akan banjir karena ada tanggul. Terus bagaimana dengan daerah Pemalang? Kan airnya pindah ke sana. Makanya kalau hanya separuh yang ditanggul, sama aja memindahkan masalah ketempat lain" kata dia.

Mangrove selamatkan warga

Angin berhembus keras merontokkan dedaunan tanaman mangrove yang telah ditanam oleh Sururi (65) warga Mangunharjo, Mangkang, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Tanaman mangrove itu yang sampai saat ini melindungi permukiman warga dari terjangan air rob. Jutaan mangrove telah ditanam sejak 1995.

Hal itulah yang membuat Sururi dijuluki sebagai kyai mangrove. "Bagi saya menanam mangrove ini adalah perintah agama," jelasnya saat ditemui di rumahnya.

Sebelumnya jarak antara bibir pantai dengan permukiman warga tinggal 500 meter pada 1990-2000.

Setelah dia gencar menanam mangrove selama bertahun-tahun, jarak bibir pantai dengan permukiman warga menjadi 1,4 kilometer.

"Sebenarnya yang menanam di sini tak hanya saya. Namun juga dibantu aktivis, mahasiswa dan warga," ujar dia.

Menyadari sudah berkepala enam, Sururi mencoba untuk meneruskan perjuangan menanam mangrove kepada anaknya. "Ini anak saya sudah mulai saya latih untuk meneruskan perjuangan,"paparnya.

Sampai saat ini, rumah Sururi juga dijadikan sebagai tempat edukasi soal mangrove dan lingkungan. Dia juga menyediakan laboratorium untuk menanam mengrove di dekat bibir pantai.

"Jadi seperti ini rumah saya tak pernah sepi," katanya menunjukan puluhan tamu yang di rumahnya.

Karena kegigihannya itu, para akademisi baik dalam dan luar negeri sering datang ke tempat tinggalnya soal penanaman mangrove. "Bahkan saya juga pernah ke luar negeri," ujarnya.

Apa yang dilakukan oleh Sururi tak sia-sia. Sejak 2004 masyarakat mulai merasakan manfaat tanaman mangrove yang telah ditanamnya.

"Karena itu beberapa kali komunitas sadar lingkungan di sini pernah terbentuk namun umumnya tak lama karena persoalan uang,"imbuhnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/12/19/124555578/kaleidoskop-2022-banjir-rob-yang-tak-kunjung-usai-di-kota-semarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke