Salin Artikel

Kisah Pertobatan Jagal Harimau di Rimba Sumatra, 46 Tahun Bunuh 150 Ekor Harimau (1)

Tak berhenti, mereka mengulitinya dengan tangan dan pisau untuk memisahkan kulit, tulang dan daging.

Terkadang, beberapa dari mereka memakan daging harimau.

Bagian tubuh harimau itu kemudian beredar di pasar gelap dalam bentuk obat tradisional hingga koleksi pribadi para "pemilik mobil mewah".

Sebaliknya, jika selamat, umumnya harimau berakhir cacat yang berujung di jeruji besi taman safari dan kebun binatang.

Ini adalah pengalaman dari mantan pemburu liar yang kecanduan menghabisi ratusan harimau (panthera tigris) di rimba Sumatra.

Artikel ini mengandung foto-foto dan deskripsi yang dapat menganggu kenyamanan Anda.

Juli lalu, sekitar 20 pemburu harimau di rimba Sumatra berikrar tobat. Para mantan penjagal itu mengatakan bertanggung jawab atas lenyapnya lebih dari 200 harimau Sumatra.

Jumlah itu mendekati setengah populasi harimau yang hidup di alam liar Indonesia, yang berkisar di angka sekitar 371 hingga 600-an ekor.

Sebagai upaya penebusan dosa masa lalu, mereka kini membersihkan hutan dari perangkap jerat dan menyadarkan pemburu lain untuk berhenti.

Salah satu mantan pemburu itu adalah Mawi.

Dia mengaku telah memusnahkan ratusan harimau di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) - Situs Warisan Dunia UNESCO yang melintasi empat provinsi di Sumatra.

"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang terbanyak di sini," katanya.

Jumlah itu lebih besar dari total perkiraan harimau yang masih hidup di TNKS, sekitar 93-130 ekor, dan menjadi habitat terbesar predator puncak itu di Pulau Sumatra.

Mawi dan mantan pemburu lain kini menanti rangkulan tangan pemerintah yang mengatakan telah menyiapkan program pemberdayaan agar tidak lagi kembali ke dosa masa lalu.

Jejak-jejak darah perburuan liar adalah salah satu ancaman terbesar yang membawa harimau Sumatra berada di ambang kepunahan.

Dua saudaranya, di Jawa dan Bali telah menjadi korban yang kini tinggal sejarah dan dikenang lewat kulit hingga tulang di museum.

Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya sepuluh harimau Sumatra meregang nyawa akibat ulah manusia. Tiga di antaranya adalah seekor induk dan dua anaknya yang tewas mengenaskan akibat jerat di Aceh Timur, April lalu.

Belum lagi, mereka yang mati dalam sunyi.

Selain perburuan liar, harimau Sumatra juga harus menghadapi kerusakan hutan, konflik dengan manusia, hingga berkurangnya jumlah mangsa.

Harimau Sumatra, yang melebur dalam identitas masyarakat lokal dan ikon Indonesia di dunia, kini semakin tersudut di rumahnya sendiri dan ancaman kepunahan disebut berada di depan mata.

Agustus lalu, wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau bertemu dengan para mantan pemburu itu untuk melihat pertobatan mereka dan bagaimana upaya perlindungan harimau Sumatra dari jerat pembunuh.

"Nama saya Mawi," ia memperkenalkan diri.

Para pemburu yang lain biasa menyebutnya 'datuk', sebutan untuk orang yang dituakan.

Saya bertemu dengannya di Sarolangun, Jambi, Jumat (5/8/2022) setelah melalui lima jam perjalanan mobil dari Kota Bengkulu.

Saat berbincang di rumahnya, Mawi berkali-kali menggaruk kedua kakinya yang gatal dan terlihat jelas ruam.

"Sudah segala obat dipakai, namun tidak sembuh. Mungkin ini karma akibat pasang jerat harimau yang melukai kaki," katanya.

Awalnya, ia mengaku membunuh harimau untuk melindungi desa dari serangan binatang tersebut.

Namun dalam perkembangannya, Mawi jadi kecanduan. Apalagi, ia tergoda dengan penghasilan dari penjualan harimau.

"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang saya adalah mantan pemburu terbanyak yang masih hidup di sini," katanya.

Mawi mengaku menjagal harimau dari tahun 1971, hingga akhirnya berhenti di akhir tahun 2017.

Terbanyak dalam satu bulan, dia mengingat, pernah membunuh enam harimau. Bahkan, dalam satu tahun sekitar 20 ekor harimau tewas di tangannya.

Lalu apa buktinya? Mawi menjawab, "Jika tidak percaya, silakan tanya orang-orang kampung, dan saya jelaskan semua yang saya tahu."

Dengan lancar Mawi menjelaskan sebagian besar pengalamannya. Ia merinci nama pembeli, tempat penjualan hingga proses memburu dan menguliti harimau.

"Saya menjual kulit, tulang dan taring harimau dari harga Rp 30.000 hingga terakhir Rp 17 juta," ujarnya sambil menyebut nama-nama oknum dari wilayah Sumatra Selatan, Jambi, hingga Bengkulu.

Terakhir kali di tahun 2017, Mawi mengaku menjual kulit, tulang, hingga taring harimau ke seseorang dari Curup, Bengkulu.

"Orang yang mau harimau banyak sekali. Terakhir, ada petugas yang melarang berburu dan melindungi harimau, malah membeli dari saya," kata Mawi.

Mawi telah menjual hasil buruannya kepada beberapa pengepul dan toko yang ada di Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Jambi.

"Kulit harimau direndam dalam spiritus agar tidak busuk lalu dibawa ke pembeli," katanya.

Keesokan harinya, Sabtu (6/8/2022), saya mengikuti Mawi, beberapa mantan pemburu lain, dan perwakilan dari LSM Lingkar Inisiatif, lembaga yang fokus dalam kegiatan konservasi satwa langka dilindungi di wilayah TNKS dan sekitarnya.

Kami tiba di Desa Muara Kuis, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatra Selatan, yang menjadi titik awal patroli sapu jerat ke hutan.

Di sini, Mawi dan teman-temannya juga sehari-hari mencari ikan untuk diasap sebagai alternatif penopang hidup usai berhenti berburu.

Dengan menggunakan kapal kayu selebar satu meter, Mawi mengajak saya menyusuri sungai memasuki kawasan penyangga TNKS.

Kera hitam Siamang, kicauan burung, dan deru mesin kapal menemani perjalanan selama dua jam.

Udara segar yang dihembuskan barisan pohon-pohon rindang menyejukkan panas terik siang itu.

Di tengah jalan, kapal menepi. Mawi lalu menunjuk tumpukan batu yang memecah aliran sungai.

"Di sana orang dimakan harimau, sisa paha saja dan ditaruh di atas batu itu. Lalu, warga meminta saya melindungi kampung," kata Mawi mengenang kejadian pada 1971.

Dalam satu tahun itu, kata dia, lima warga desa dibunuh harimau. Ini adalah titik awal Mawi, yang saat itu masih remaja tanggung mulai berburu harimau.

Mawi memburu harimau pertamanya bersama sahabatnya, Rahmad Sentosa Abadi yang kini diabadikan menjadi sebuah patung di Desa Sebelat, Rejang Lebong, Bengkulu.

Harimau itu, lanjut dia, dibunuhnya dengan hantaman kayu ke kepala. Lalu, Mawi menggunakan tangan untuk melepas kulit yang menempel dengan daging.

Mawi juga menggunakan sebilah pisau untuk memisahkan tulang dari daging harimau.

Hasilnya, berupa kulit dan tulang, dijual dengan harga Rp 30.000 di Pasar Rupit, Musi Rawas Utara.

Dalam perjalanannya, Mawi menjadi ketagihan. Bahkan, dia mengaku pernah tinggal di dalam hutan selama satu tahun untuk berburu harimau.

Mawi tidak akan pulang ke kampung sebelum membunuh harimau. "Saya makan daging harimau untuk bertahan di hutan saat itu," kenangnya.

Kapal yang kami tumpangi terus menyusuri sungai, beberapa kali melawan arus air, lalu bersandar di pinggir sungai, dekat sebuah gubuk kayu.

Tim patroli dengan sigap memotong bambu, mendirikan tenda dan memasak makan malam di sana.

Gelap pun menghampiri. Deru air sungai bersahutan dengan suara serangga menemani malam.

Beberapa kunang-kunang menghampiri tenda yang diterangi api unggun.

Ditemani kopi hangat, Mawi mengaku tidak pernah diserang harimau dan tidak ada sedikit pun rasa takut saat menghadapi hewan itu.

Sebaliknya, dia merasa sangat bergairah dan bahagia saat bertemu harimau.

"Seperti [melihat] tumpukan uang yang bergerak," kenangnya.

Usai berbincang-bincang, dibantu senter kecil, Mawi dan rekan pemburu lain menyisir sungai dengan kapal untuk menebar jala ikan dan mengambilnya esok pagi.

"Ikannya diasap dan dijual ke kampung. Hasilnya, ya tidak seberapa," katanya yang juga menggantungkan hidup pada madu Sialang.

Mawi dan rekan-rekan berkemas untuk memulai patroli.

Di sepanjang jalan setapak yang terus menanjak dan licin, Mawi melangkah dengan cepat dan kokoh. Saya tertinggal jauh di belakang.

Tua tidak terlihat dalam gerak dan wajah Mawi. Kartu tanda penduduk miliknya menunjukkan usia 70 tahun, walau ia memperkirakan umurnya kurang dari itu, sekitar 65 tahun.

Setiap masuk ke hutan, Mawi tidak pernah menggunakan baju dan pelindung kaki. Padahal pacet, duri, dan ranting-ranting tajam mengintai dari atas tanah dan batang pohon.

Sambil sesekali mengisap rokok di tangan kanannya, ia mengaku badannya terasa panas.

Mungkin, katanya, karena dahulu sering memakan daging harimau untuk bertahan hidup di dalam hutan.

Melintasi hutan, Mawi menceritakan perjalanan awal pertobatannya.

Saat itu, kenangnya, Mawi bertemu seorang pria yang ingin membeli harimau. Dia adalah Iswadi dari Lingkar Inisiatif.

"Awalnya dia ikut ke hutan, pura-pura beli, suruh berburu. Kemudian dia minta saya berhenti dan dibawa berhenti. Saya dikasih alternatif kegiatan, dan dibawa patroli," katanya.

Butuh dua tahun bagi Mawi untuk menanggalkan semua alat perburuannya, mulai dari senapan hingga jerat sling baja.

Salah satu alasan terberatnya meninggalkan dunia perburuan adalah kehilangan mata pencaharian.

Berhenti berburu, Mawi mengaku kini tidak memiliki pendapatan.

Kemampuan satu-satunya yang dimiliki Mawi hanyalah tentang harimau mulai dari teknik dan pola pikir para pemburu, medan di dalam hutan, hingga tingkah laku harimau.

Mawi pun berharap agar pilihan hidup yang telah dia ambil dapat dipikirkan dan dipertimbangkan secara utuh oleh negara.

"Kalau minta [ke negara] saya tidak berani, tapi kami minta tolong diperhatikan."

"Saya takut pemburu lain yang telah bertobat akan kembali lagi berburu. Percuma saya bertobat kalau yang lain kembali berburu. Harimau akan punah," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/29/060700178/kisah-pertobatan-jagal-harimau-di-rimba-sumatra-46-tahun-bunuh-150-ekor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke