Salin Artikel

Walhi: Dokumen Amdal Proyek PLTA Kayan yang Suplai Listrik ke IKN Sulit Diakses

SAMARINDA, KOMPAS.com – Para pegiat lingkungan di Kalimantan Timur (Kaltim) mempertanyakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) proyek PLTA Kayan oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE) di Kecamatan Peso, Kalimantan Utara, karena tidak terpublikasi dan sulit diakses. 

Proyek ini pula yang disebut Presiden Jokowi sebagai salah satu penyuplai pasokan listrik ke ibu kota negara di Sepaku, Kalimantan Timur (Kaltim) melalui sistem jaringan interkoneksi Kalimantan. 

“Dokumen itu kami enggak pernah lihat. Sudah 8 tahun KHE masih bingung gitu. Ini yang membuktikan tidak ada keseriusan perusahaan bicara soal keselamatan masyarakat. Ini yang harus ditekankan Gubernur Kaltara maupun Bupati Bulungan. Ya sudah ditinjau ulang saja, bila perlu distop,” ungkap Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, Yohana Tiko kepada Kompas.com, Senin (5/9/2022).

Proyek PLTA milik KHE ini sudah disiapkan sejak 10 tahun lalu, jauh sebelum wacana IKN, namun hingga kini belum ada perkembangan yang berarti.

Rencananya, proyek PLTA ini akan menghasilkan daya listrik 900 MW untuk tahap satu, lalu 1.200 MW tahap dua, 1.800 MW untuk tahap tiga dan seterusnya hingga tahap kelima.

Tiko mengatakan, dampak proyek tersebut bakal memindahkan dua desa yakni Long Peleban dan Long Lejuh, yang dihuni sekitar 700 jiwa.

Dampak lainnya terhadap ekosistem keaneragaman hayati, hilangnya lahan basah, kawasan hutan lindung serta gangguan fungsi hidrologi Sungai Kayan serta anak sungai yang berdampak terhadap hasil tangkapan ikan masyarakat lokal.

“Sampai saat ini tidak bisa diakses Amdal dan KLHS. Itu ada izinnya enggak itu? Ter-publish enggak itu? Katanya perusahaan (KHE) mau mulai melakukan aktivitas, tapi tidak ada kajian yang lengkap baik KLHS maupun Amdal. Dulu kami pernah meminta, tapi tidak kami dapati,” tambahnya. 

Karena hal tersebut, Tiko meminta KHE sebagai pengelola harus mengikuti kaida persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau free, prior and informed consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat. FPIC merupakan hak masyarakat dalam memutuskan menolak atau menerima tanpa paksaan.

“Soal (FPIC) ini, masyarakat setempat enggak diberi ruang sehingga masyarakat kehilangan haknya menerima atau menolak tanpa paksaan,” kata Tiko.

Direktur Operasional PT KHE Khaerony mengaku kurang memahami dokumen izin yang dimaksud Walhi karena yang mengurusi hal tersebut ada tim tersendiri.

Namun, yang ia tahu semua proses sudah dilalui dalam pengurusan izin Amdal. Mulai dari pembahasan di Komisi Amdal, tim penilai hingga sosialisasi ke masyarakat sampai disahkan menjadi dokumen izin lingkungan.

Bahkan, kata dia, selama proses itu berlangsung pihaknya juga meminta saran dan masukan dari berbagai pihak termasuk masyarakat setempat.

“Jadi kalau dibilang sulit diakses, saya kurang paham ya. Karena untuk akses itu harus bagaimana, saya kurang paham,” kata saat dihubungi terpisah.

“Namun, setelah disahkan jadi dokumen lingkungan, kalau saya tidak salah, apakah itu dokumen publik atau tidak. Tapi saat penilaian kami beri semua salinan ke tim penilai, masyarakat, Pemda dan pihak terkait. Dokumen itu dicetak berapa rangkap dibagi di dinas-dinas, Pemda,” sambung dia.

Spesifik soal relokasi dua desa tersebut, Khaerony menjelaskan telah disetujui oleh masyarakat di kedua desa tersebut.

“Kita dalam waktu dekat ini, awal September sosialisasi terkait master plan tempat baru (lokasi kedua desa dipindah)” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/05/155751678/walhi-dokumen-amdal-proyek-plta-kayan-yang-suplai-listrik-ke-ikn-sulit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke