Salin Artikel

Kisah-kisah Kawin Tangkap di Sumba, dari Alasan Nama Baik hingga Tuntutan Adat

Kasus tersebut berawal saat kekasih Ance yang berinisial WB tak datang di acara peminangan sesuai adat Sumba.

Ance sebelumnya bekerja di Bali selama 4 tahun. Selama di Bali, ia menjali hubungan asmara denga WB.

Pada 14 Juli 2022, Ance kembali ke Sumba Barat dan mengabarkan jika sang kekasih, WB akan segera menikahiknya.

Pada Senin (25/7/2022), keuarga pun menggelar acara peminangan sesuai ata Sumba.

Hingga Senin sore, keluarga WB tak kunjung datang. Hal tersebut membuat keluarga Ance kecewa dan malu.

Di sisi lain, keluarga Ance memberi ide kepada kerabat laki-laki berinisial LB untuk menggantikan posisi WB untuk melamar korban sebagai istri.

LB pun menyanggupinya dengan alasan menutupi malu serta mengangkat harga diri keluarga korban.

LB kemudian mengambil kuda milik perangkat desa dan mengikatnya di depan rumah sebagai tanda ia akan melamar.

Hal tersebut dilakukan sesuai dengan adat dan kebiasaan di Sumba.

Bersama tiga pria dewasa, LB menculik Ance dan memasukkan korban ke atas mobil bak terbuka.

Korban pun sempat melawan hingga ia mengalami luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. Melihat hal itu, sang ibu sempat histeris dan pingsan.

Setiba di rumah LB, Ance menerima dengan paksa sebilang parang sebagai tanda lamaran.

Video kawin tangkap tersebut viral di media sosial hingga polisi turun tangan.

Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Iptu Doni Sare mengatakan kawin tanggkap diklaim mengangkat harkat dan martabat keluarga korban.

Namun, cara mengambil atau membawa korban untuk dijadikan istri, bertentangan dangan Undang-Undang.

Doni menyebutkan, pasal yang diterapkan adalah tindak pidana penculikan atau melarikan perempuan atau perampasan kemerdekaan.

Menurutnya kasus itu merupakan delik biasa, sehingga tanpa adanya laporan dari korban, petugas telah menindaklanjuti peristiwa tersebut dengan membuatkan laporan polisi model A.

Pada Januari 2017, ia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat. Ia lalu diminta untuk ikut rapat di sebuah acara.

Setelah satu jam pertemuan, Citra mengaku mendapatkan informasi jika acara akan berpindah lokasi.

Ia pun mengiyakan. Namun saat akan menghidupkan motor, sejumlah orang tiba-tiba mengangkat dan membawanya ke sebuah mobil.

Walau sudah berusa melawan, ia tetap dipaksa pergi. Dalam perjalanan, ia mengirim pesan kepada keluarga dan pacar jika ia dibawa lari seseorang.

"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya [menjalankan] ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," jelas Citra dikutip dari BBC Indonesia.

Selama beberapa hari, ia ditahan oleh pihak keluarga yang menginginkannya sebagai menantu.

Ia pun dipaksa mengikuti ritual-ritual yang dianggap dapat membantu menenangkan perempuan yang ditangkap.

"Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi, karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi, tapi kena di kepala."

"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," kata Citra.

Segala upaya dan rayuan dilakukan demi mendapatkan persetujuan Citra dan keluarganya.

"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air, tapi saya tidak mau," tutur dia.

"Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic - jadi kalau kita minum air, atau makan nasi pada saat itu, kita bisa, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau - saat kita kena magic kita bisa bilang iya."

Selama beberapa hari dia menolak makan hingga adiknya datang membawakan makanan.

Sang adik juga melakukan negosiasi berdasarkan adat. Hari keenam, keluarga Citra, didampingi pihak pemerintah desa dan LSM, berhasil membawa dia pulang.

Di wilayah tersebut ada istilah kawin culik untuk Lombok Timur. Sedangkan di Sumba dikenal sebagai kawin tangkap.

Semua ini berinti pada pernikahan paksa yang digelar atas tuntutan adat. Di Sumba, tradisi pemaksaan perkawinan juga ada dalam bentuk yang berbeda.

Unsur kekerasan dari laki-laki hadir dalam adat yang populer sebagai kawin tangkap.

Dalam sejumlah praktiknya, menurut Pendeta Aprissa L. Taranau, kawin tangkap terjadi ketika seorang laki-laki menangkap dan bahkan bisa bermakna menculik perempuan untuk dijadikan istrinya secara paksa.

Aprissa adalah Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi dan tinggal di Sumba.

Setiap hari, dia mengambil pendekatan keagamaan untuk mengikis praktik kawin tangkap ini.

“Sangat berlapis perjuangan kami disini, karena bukan saja berhadapan dengan kekerasan seksual itu sendiri, tetapi karena diatasnamakan sebagai tradisi, adat atau budaya sehingga sangat sulit dihilangkan,” kata Aprissa.

Secara budaya, kata Aprissa, konteks kawin tangkap adalah pernikahan yang dilakukan tanpa proses melamar.

Dari berbagai sumber tertulis, lanjutnya, budaya ini memang ada di Sumba.

Sayangnya, tradisi ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai kawin tangkap. Di masyarakat, khususnya anak muda, kemudian muncul pemahaman bahwa tradisi ini dilakukan dengan seenaknya menangkap seorang perempuan dan memaksanya untuk menikah.

“Kekerasan yang dialami perempuan berlapis, ditarik, dipaksa, dipukul kalau melawan. Kekerasan seksual juga karena ada pelecehan seksual, ada permaksaan perkawinan. Ada kekerasan psikis,” tambah Aprissa.

Di Sumba, Aprissa berjuang mengubah paradigma masyarakat yang mempertahankan praktik adat tersebut.

Dia mengaku, gereja memiliki pekerjaan rumah untuk memberi pemahaman masyarakat mengenai nilai kesetaraan.

Mereka juga terus bersuara, dengan harapan pemerintah mendengarkan suara korban, sehingga tergerak untuk membuat payung hukum yang mampu menghentikan tradisi ini.

Sampai saat ini, kata Aprissa, jika kasus sejenis terjadi, penegak hukum cenderung melihatnya persoalan adat.

“Selalu dibenturkan dengan pernyataan, bahwa ini adat dan dikembalikan ke keluarga, biar nanti mereka yang mengurus,” pungkasnya.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Sigiranus Marutho Bere | Editor : Gloria Setyvani Putri, Dheri Agriesta)

https://regional.kompas.com/read/2022/08/02/094000378/kisah-kisah-kawin-tangkap-di-sumba-dari-alasan-nama-baik-hingga-tuntutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke