Salin Artikel

Ironi Joki Cilik Pacuan Kuda, Tradisi yang Rentan Eksploitasi

Sorak-sorai penonton membuat wajahnya semringah.

Kuda yang ditungganginya pada babak kualifikasi balapan kuda di arena pacuan Angin Laut, Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara, Sumbawa berhasil finish di urutan nomor dua.

JD ialah seorang joki cilik asal Dompu dan baru duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD).

Dia sudah mulai menjadi joki sejak usia tujuh tahun.

"Saya suka naik kuda. Rasanya enak, seperti terbang," kata JD.

Hal yang sama dirasakan ST, seorang joki kecil asal Bima.

ST sudah dilatih menunggang kuda sejak usianya masih 6 tahun. Saat ini, ia duduk di bangku kelas 4 SD.

Setelah menyelesaikan putaran di babak penyisihan, bak anak-anak pada umumnya, ST menepi dan bermain dengan kawannya.

Dia bahkan mengomentari seorang kawan bermainnya yang tak bisa menjadi joki cilik.

"FD tidak bisa jadi joki karena badannya berisi, takutnya jatuh," kata ST.

Joki cilik disorot

Tradisi pacuan kuda yang melibatkan joki cilik di Pulau Sumbawa sedang ramai disorot.

Bahkan sebuah iklan yang menampilkan joki cilik muncul di ajang balap Motor Cross Grand Prix (MXGP) 2022, menuai beragam protes.

Koalisi stop joki cilik melaporkan dugaan eksploitasi anak di acara pacuan kuda di penyaring Sumbawa, saat menjelang MXGP, ke Polda NTB.

Pasalnya, tradisi ini menggunakan joki, yang masih berusia di bawah umur.

"Saya menjadi saksi dan turut diperiksa penyidik PPA Polres Sumbawa atas laporan koalisi stop joki cilik yang sedang dalam proses penyelidikan di Polda NTB," ungkap Fatriatul Rahma Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumbawa Selasa (21/7/2022).


"Saya melihat bagaimana usaha joki hentikan kuda mendekati garis finish. Saya menangis. Ini ironi. Joki itu kesulitan. Sementara, penonton dari beragam latar belakang di tribun bersorak," lanjut dia.

Mirisnya, menurut perempuan yang kerap disapa Atul itu, ketika joki cilik berhasil membuat kudanya juara, pemilik kuda yang mendapat sanjungan.

Sementara sang joki, satu kali naik kuda hanya mendapat bayaran sekitar Rp 100.000.

Jika juara, maka joki dapat lebih bonus dan hadiahnya berupa uang maupun hewan ternak.

Namun, mereka berhadapan dengan risiko kehilangan nyawa setiap kali beraksi.

Anak yang dipilih sebagai joki biasanya tak bertubuh besar dan duduk di bangku sekolah dasar.

Namun berbeda dengan Ir (15).

Meski sudah duduk di bangku SMP, Ir yang berasal dari Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa ini masih menjadi joki saat turnamen pacuan kuda di Angin Laut Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa pada pertengahan Juni 2022.

Ir mengaku, selain hobi, ia juga bisa membantu perekonomian orangtuanya.

Namun, saat mengikuti turnamen, Ir tidak bisa pergi mengambil rapor di sekolah.

"Hanya anak yang kurus yang dipilih menjadi joki. Tapi Ir meski usianya remaja, masih diperbolehkan. Itu karena posturnya kecil," kata Atul.

Dia bahkan menemukan fakta bahwa beberapa joki cilik kelaparan.

"Saya belikan makanan dan anak-anak itu senang," ungkap Atul.

Sebagai aktivis anak, Atul turut mengapresiasi dikeluarkannya Surat Edaran larangan penggunaan joki cilik oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota Bima.

Namun, di Kabupaten Sumbawa, sambung Atul, belum ada surat edaran tersebut.

Ia menilai, seharusnya surat edaran itu dikeluarkan Gubernur NTB.

"Supaya semua kabupaten/kota mengeluarkan SE maka Gubernur yang harus keluarkan regulasi," ujar Atul.

Menurutnya, tradisi pacuan kuda sudah ada secara turun-temurun dalam masyarakat Sumbawa.

Sebelum turnamen seperti sekarang ini, awalnya dulu pacuan kuda dibuat oleh kelompok-kelompok petani, yang ingin menguji kekuatan kudanya.

Seiring dengan itu, mereka ingin juga menguji nyali anak laki-lakinya, sehingga anak laki-laki mereka dilatih menunggang kuda.

"Banyak foto Sultan Kaharuddin III Sumbawa yang sedang berada di arena pacuan kuda," kata Andari, demikian dia akrab disapa.

Mereka bahkan menjadwalkan kapan turnamen dilaksanakan.

Setelah masa panen biasanya para petani merayakan dengan pertandingan pacuan kuda.

Menurutnya, pacuan kuda sebenarnya adalah tradisi masyarakat pascapanen dan dahulu hanya dilakukan di sawah.

Ia meyakini, pacuan kuda merupakan tradisi lantaran setiap kecamatan di Sumbawa memiliki Kerato (arena pacuan kuda).

"Karena ada duit pascapanen diselenggarakan kompetisi habis panen dengan pertandingan kuda," sebut Andari.

Dahulu, anak-anak yang berani menunggang kuda menjadi representasi keberanian anak laki-laki menantang alam.

"Riset pertama saya pada tahun 2005 saat proses pembuatan film Joki Kecil, saat itu ketika bersinggungan dengan pendidikan dan manusia modern mainset kita harus disesuaikan dengan perkembangan zaman," kata dia.

“Saat penelitian saya tahun 2005, masih ada pacuan kuda saat anak ini sekolah, joki ini akhirnya bolos sekolah sehingga muncul stigma pada diri joki ini adalah anak bandel, malas, sering tidak sekolah, dan lainnya. Mereka lebih mementingkan pacuan daripada sekolahnya,” lanjut Andari.

Setelah penelitian itu, ujar dia, ada regulasi yang yang berubah, di mana pacuan kuda joki cilik tidak lagi dilaksanakan saat joki belum libur sekolah.

Kalau pun ada hanya setelah ujian.

Rentan eksploitasi

Andari menjelaskan, ajang pacuan kuda dengan joki cilik rentan eksploitasi.

"Saya sendiri turun ke lapangan, rentan memang," ujar dia.

Di sisi lain, menurutnya, joki cilik ini menjadi tulang punggung keluarga.

“Ada joki cilik dari Bima, bisa menabung untuk kakaknya hingga melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sampai lulus di universitas,” katanya.

Dalam tradisi orang Sumbawa, sambung Andari, anak-anak tersebut luar biasa karena membantu orangtuanya. 

Dari perspektif masyarakat pedesaan, anak joki kecil ini berprestasi setelah bisa membantu orangtua mereka. Jadi anak-anak joki cilik kebanyakan merasa bangga akan prestasi itu.

"Tidak hanya laki-laki yang berperan di arena pacuan kuda tapi juga perempuan," ujar dia.

Dukungan keluarga bisa disebut bagian dari kolektivitas dari kaca mata lokalitas, semua berperan dalam lingkaran itu.

"Momen yang ditunggu oleh keluarga baik joki, pemilik kuda, perawat kuda, maupun sandro (dukun)," papar dia.

Ibu sang joki cilik atau pemilik kuda juga berperan menyiapkan bekal saat para joki cilik bermalam di tenda, satu minggu lebih selama pertandingan.

Peran keluarga, sambungnya, juga menunjukkan bahwa hal ini merupakan tradisi turun-temurun.

“Ketika saya turun ke lapangan, saya ingin sadarkan orang, bahwa ada yang seperti itu di pacuan kuda. Anak joki ini meski pakai jimat ketika jatuh tetap sakit. Mereka ingin bermain juga usai menaiki kuda di pertandingan. Ada regulasi yang harus diubah agar lebih ramah anak (joki cilik),” jelas Andari.

“Kita mesti berikan pengertian kepada keluarga bahwa anak ini butuh ruang untuk belajar dan bermain, Jadi jangan hanya didorong untuk latihan saja, sementara sang joki kecil ini juga butuh ruang untuk belajar sambil bermain," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/23/062851678/ironi-joki-cilik-pacuan-kuda-tradisi-yang-rentan-eksploitasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke