Salin Artikel

Jerat Perbudakan ABK di Kapal Ikan Asing, bak Penjara di Tengah Samudra (Bagian 2)

Sebelum memutuskan menjadi ABK, pria asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini pernah bekerja menjadi buruh pabrik dan nelayan.

Lantaran impitan ekonomi, Thamrin berangkat dengan bermodal nekat demi menyambung hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Berbekal ijazah lulusan SMP dan pengalaman menjadi nelayan, ia pun pergi keluar negeri pada tahun 2020 dengan harapan bisa memperbaiki nasib.

Ia mengaku awalnya mendapat informasi perekrutan ABK dari perusahaan atau manning agency yang banyak tersebar di media sosial.

Dengan iming-iming gaji besar dan syarat yang cukup mudah, lantas ia pun mendaftar ke sebuah perusahaan perekrut ABK. 

Setelah syarat  dokumen terpenuhi, akhirnya ia ditempatkan di kapal ikan China bernama Dae Sung 216.

Angan-angan kerja mendapat gaji besar justru tak sebanding dengan apa yang harus dialaminya ketika mulai berlayar.

Di tengah perairan lepas, dirinya bagai terpenjara di kapal terapung yang tak pernah bersandar. Hampir dua tahun, ia harus menanggung risiko kejamnya praktik perbudakan di kapal ikan asing.

Ia dipaksa bekerja dengan jam kerja yang berlebihan dan tidak manusiawi. Bahkan, ia juga tak diperbolehkan menghubungi pihak keluarga di kampung untuk sekadar bertanya kabar.

"Kalau lagi banyak ikan bisa kerja terus sampai seharian, bahkan bisa lebih. Istirahat makan tidur paling 3 jam. Kalau engga banyak ikan ya kerja rata-rata sampai 16 jam," kata Thamrin saat ditemui di Kantor SBMI Kabupaten Tegal, Rabu (11/5/2022).

Ia bercerita suatu kali dirinya pernah mengalami kecelakaan saat menarik hasil tangkapan ikan. Kala itu, jari tangannya nyaris putus saat menarik ikan tuna yang ditangkap dengan rawai atau longline.

"Waktu itu pas kerja kondisi saya capek disuruh narik ikan tuna. Teman saya di belakang enggak kuat terus dilepas karena berat. Saya di depan tangan kesenggol sama kili-kilinya. Awal enggak apa-apa, lama-lama jari kelingking memar dan mati rasa," ungkapnya.

Saat melaporkan kejadian itu pada sang kapten, ia malah diberi obat seadanya sehingga tidak mampu menyembuhkan luka pada jarinya yang kian membengkak.

"Engga ada fasilitas medis. Kalau kita sakit ya kita rawat sendiri. Sakitnya makin parah sampai nyerang ke ulu hati. Dikasih obat sama kapten enggak pengaruh. Akhirnya jari saya dioperasi sendiri sama anak-anak pakai tusuk gigi. Akhirnya dibongkar paksa sampai keluar nanah hitam," ujarnya.

Penderitaan Thamrin pun tak berhenti sampai disitu. Setelah mengalami kecelakaan kerja itu, ia justru masih dipaksa untuk bekerja.

"Di kapal itu, biarpun saya sakit tetap disuruh kerja terus. Mau istirahat sebentar tetap dijemput mandor suruh kerja," jelas ayah tiga anak ini.

Selain jam kerja yang berlebihan dan fasilitas kesehatan tidak memadahi, ia juga kerap mengalami keterlambatan atau penahanan gaji.

Bahkan, asuransi kesehatan juga tidak diberikan dari perusahan perekrutan atau manning agency. Padahal jaminan kecelakaan kerja ABK tercantum dalam surat perjanjian kerja laut (PKL).

"Sering telat gajinya waktu di kapal. Perjanjian di kontrak tidak sesuai, kalau setelah finis dalam waktu satu bulan uang harus sudah diberikan. Asuransi jaminan kecelakaan kerja juga engga diberikan," katanya.

Atas kejadian yang dialaminya, ia akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi ABK tanpa dipenuhi hak-haknya.

Ia memilih kembali pulang ke kampung halaman dengan buah tangan cerita kelam dan jari tangannya yang cacat permanen.

Pengalaman traumatris

Rizki Wahyudi (25) juga pernah merasakan pahitnya penderitaan hidup menjadi seorang ABK. Sebelum memutuskan menjadi ABK, dirinya sempat bekerja menjadi buruh serabutan. Namun gajinya tak bisa mencukupi kebutuhan.

Akhirnya tahun 2019 ia mendaftar ke perusahaan penyalur ABK di Kabupaten Tegal dengan berbekal ijazah lulusan SMK.

Ia pun diterima dan ditempatkan di kapal ikan China Han Rong 358 yang berlayar di perairan Arab hingga India.

Pemuda asal Kabupaten Tegal ini memilih menjadi ABK karena tergiur gaji yang besar dan tawaran kemudahan keberangkatan ke luar negeri.

"Awalnya saya dikasih tahu tetangga ada job berangkat cepet di luar negeri. Lalu saya daftar ke perusahaan, saya tahunya itu perusahaan resmi. Saya tergiur akhirnya saya daftar," katanya.

Namun, harapan mendapatkan gaji besar kandas karena tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh perusahaan.

"Selama 21 bulan saya tidak bersandar. Saya baru denger gaji saya macet baru setahunan lebih. Itu dikasih tahu teman. Karena gajinya dari owner ke perusahaan, lalu dikirim ke rekening keluarga," ucapnya.

Saat di atas kapal ia juga tidak diberikan fasilitas peralatan kerja, makanan yang tidak layak hingga terpaksa minum air sulingan dari laut.

"Seringnya dikasih makanan yang sudah busuk. Air minum juga terpaksa harus menyuling dari laut. Kalau sudah seminggu warnanya kuning. Engga layak untuk dikonsumsi," ucapnya.

Ketika hasil tangkapan ikan sedang banyak, ia harus bekerja seharian penuh tanpa diberikan waktu untuk beristirahat.

"Jam kerja berlebihan. Kami sampai tidak tidur karena dilanjut membongkar untuk kapal penampung ikan yang akan dikirim ke darat," ujarnya.

Mengingat pengalaman traumatis itu, Rizky yang menjadi tulang punggung keluarga ini mengaku tidak lagi berniat menjadi ABK.

Apalagi ketika dirinya mendengar banyak ABK yang meninggal dan jenazahnya terpaksa dilarung ke laut.

"Sangat terdampak sekali bagi keluarga saya. Karena saya harus menghidupi adik-adik saya dan biaya pengobatan ibu yang sedang sakit di kampung," katanya.

Dia berharap ada aturan pemerintah yang bisa melindungi hak-hak ABK di kapal ikan berbendera asing.

Sebab, sepengetahuannya belum ada aturan tegas yang mengatur terkait tata kelola perlindungan ABK Indonesia di kapal ikan asing.

"Perlindungan belum ada untuk ABK, nyatanya kasus penahanan gaji saya sebesar Rp 40 juta sampai sekarang belum ada respons. Padahal sudah lapor ke Disnaker Tegal tapi disuruh langsung ke perusahaan. Dijanjikan pencairan tapi sampai sekarang enggak ada penyelesaian," jelasnya.

Maka dari itu, ia meminta kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib para ABK di kapal ikan asing agar hidupnya lebih sejahtera.

"Karena kan jadi ABK risikonya tinggi tapi gajinya tidak sesuai berbanding terbalik. Harapannya ada perubahan ke depan agar generasi selanjutnya tidak mengalami apa yang saya rasakan," ungkapnya.

Ia pun meminta pertolongan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo agar permasalahan yang dialami ABK di atas kapal ikan asing tidak kembali terulang.

"Minta tolong kepada Pak Gubernur, perhatikanlah warganya yang menjadi ABK kapal ikan asing. Karena sudah banyak korban dari manning agency di Jateng. Saya minta kesediaannya membantu kami," harapnya.

Atas dasar permasalahan tersebut, Rizky tergerak hatinya untuk membantu kawan-kawan ABK yang menjadi korban perbudakan di kapal ikan asing.

"Saya ikut membantu mendampingi teman-teman lain yang jadi korban supaya masalahnya dapat terselesaikan. Mudah-mudahan ke depannya tidak terjadi lagi," tuturnya.

Tak sadar terjerat perbudakan

Sekretaris SBMI Tegal, Erni Hikmah mengatakan permasalahan ABK terjadi karena ketidakjelasan aturan tata kelola perekrutan, penempatan dan perlindungan ABK.

Apalagi ditambah minimnya pengawasan pemerintah mulai dari hulu hingga hilir terkait sistem tata kelola menjadi ABK tersebut.

"Aturan perizinan perusahaan masih tumpang tindih dari Kemanaker ataupun Kemenhub. Jadi keduanya sama-sama bisa mengeluarkan izin. Tapi tidak ada jaminan perusahaan yang punya izin tidak melakukan praktik perbudakan," ucapnya.

Oleh karena itu, aturan yang tidak tegas dan ketidaktahuan akan risiko menjadi ABK rentan dimanfaatkan oleh perusahaan perekrutan dan penyalur (manning agency).

Mereka getol menjual janji-janji kepada masyarakat bahwa bekerja menjadi ABK di kapal ikan asing bakal mendapat gaji besar, bisa jalan-jalan ke luar negeri dan proses pengurusan dokumen yang mudah.

Padahal, kebanyakan perusahaan perekrutan dan penyalur (manning agency) melakukan proses perekrutan ABK yang tidak sesuai prosedur atau unprosedural.

"Waktu proses perekrutan biasanya mereka diiming-imingi oleh sponsor dengan gaji besar. Saat mereka mendaftar memang dipermudah, tidak dibebani biaya pengurusan dokumen seperti paspor, buku pelaut dan BST semua ditanggung perusahaan penyalur. Tapi sebenarnya gaji mereka dipotong sehingga ABK tidak sadar terjebak oleh jeratan utang," kata Erni.

Erni menjelaskan dokumen keberangkatan yang dibutuhkan ABK itu antara lain perjanjian kerja laut (PKL), Letter of Guarantee (LG), sertifikat Basic Safety Training (BST), Buku Pelaut, Paspor, Visa dan kartu identitas diri.

"Saat mereka akan berangkat diminta buru-buru tanda tangan PKL. Kebanyakan kontrak dua tahun karena mereka tidak diberikan kesempatan penuh untuk membaca. Akhirnya tidak tahu ketika mereka tidak finis kontrak uang jaminan tidak keluar. Bahkan ada yang didenda untuk tiket kepulangan. Saat akan mengambil dokumen juga diminta uang penggantian. Ujung-ujungnya uang hasil mereka bekerja akan minus," ungkapnya.

Menurutnya, ABK tidak menyadari bahwa dirinya telah dikelabui sehingga terjerat perbudakan mulai dari proses perekrutan, dieksploitasi saat bekerja hingga kepulangan.

"Setelah dipekerjakan ternyata di atas kapal banyak pelanggaran hak asasi manusia. Mereka mengalami perbudakan seperti jam kerja berlebihan, makanan san minuman tidak layak, kekerasan fisik, kecelakaan kerja, sakit hingga meninggal karena tidak ada fasilitas kesehatan. Hanya diberi obat antibiotik untuk segala penyakit. Mendarat pun susah bisa berbulan-bulan kapal tidak pernah bersandar," ujarnya.

Erni mengatakan hingga saat ini praktik perbudakan itu masih terus terjadi. Bahkan pihaknya telah menerima ratusan pengaduan kasus-kasus yang menimpa ABK.

Sebagian besar perusahaan perekrut dan penyalur ABK yang diadukan itu beroperasi di wilayah Jawa Tengah.

Data SBMI mencatat jumlah aduan kasus yang menimpa ABK Indonesia dari kabupaten kota pada 2018 hingga 2021 tercatat total sebanyak 490 kasus.

Kasus terbanyak berasal dari ABK di Provinsi Jawa Tengah yakni sebanyak 218 kasus dengan sebaran ada di Tegal, Brebes, Pemalang, Cilacap, Pekalongan, Banyumas, Kebumen dan kabupaten lainnya.

"Kebanyakan aduan yang dilaporkan soal penahanan gaji, asuransi kecelakaan kerja yang tidak diberikan, penahanan dokumen oleh perusahaan perekrut dan penyalur," ucapnya.

Untuk itu, pihaknya mendesak Pemprov Jateng agar melakukan audit terhadap manning agency yang sebagian besar beroperasi di daerah pesisir utara Jawa Tengah.

"Warga Jateng banyak yang jadi korban manning agency ilegal. Kami minta Pemprov Jateng melakukan audit dan pengawasan kepada manning agency di Jateng," pungkasnya.

---------

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Riska Farasonalia, kontributor Kompas.com di Semarang, sebagai peserta program pelatihan dan fellowship liputan mendalam praktik perbudakan pekerja migran Indonesia di kapal asing atas kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang dan Greenpeace Indonesia

https://regional.kompas.com/read/2022/06/10/195734178/jerat-perbudakan-abk-di-kapal-ikan-asing-bak-penjara-di-tengah-samudra

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke