Salin Artikel

Kerap Macet, Ini Sejarah Kawasan Puncak Bogor, Bermula dari Wabah di Batavia

Polisi mencatat ada sebanyak 11.000 kendaraan dari luar Bogor yang bergerak memasuki kawasan tersebut sejak Kamis pagi.

Jumlah tersebut terbilang meningkat jika dibandingkan dengan arus lalu lintas (lalin) kendaraan pada Rabu kemarin. Jumlah itu terhitung meningkat hanya dalam kurun waktu 3 jam saja.

Bahkan sejak Kamis pagi, pengguna kendaraan pribadi terus bergerak memadati kawasan wisata Puncak Bogor.

Lalu bagaimana sejarah kawasan Puncak Bogor?

Dikutip dari gridoto.com, sejarawan Jakarta, JJ Rizal mengatakan jika kawasan Puncak bermula dari wabah penyakit yang mengerikan di Kota Batavia yang kini dikenal dengan nama Jakarta.

"Bermula dari tiga ratusan tahun lalu di tahun 1733, Kota Benteng yang dulu bernama Batavia mengalami wabah aneh berupa demam lalu mati mendadak yang kini dikenal dengan nama Malaria," ujar Rizal saat konferensi pers virtual Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Selasa (29/12/2020).

Kala itu, kondisi wabah malaria membuat kaum elit pergi meninggalkan Batavia ke wilayah selatan untuk mendirikan tempat peristirahatan atau resort.

Pendirian resort tersebut digagas oleh Gubernur Jenderal Belanda keturunan Jerman yakni Baron Van Imhoff (1743-1750).

"Dengan kondisi wabah mengerikan ini, orang-orang elit Batavia bergeser ke wilayah Selatan meninggalkan Kota Benteng Batavia pada tahun 1740 sampai 1745. Hal ini digagas Gubernur Baron Van Imhoff," ucapnya.

Karena malaria waktu itu belum diketahui penyembuhannya, Van Imhoff memutuskan membuka ruang alternatif pengobatan hingga ke wilayah Bogor.

"Di tengah ketidaktahuan penyakit ini, Van Imhoff mencari alternatif pengobatan dengan memindahkan rumah tinggal para elit dengan membangun rumah peristirahatan atau resort yang mengarah ke selatan Batavia karena alamnya semakin ke Selatan semakin baik ketimbang Batavia," sambung Rizal.

"Rumah peristirahatan yang dibangun misalnya ada di Cimanggis, Depok yang dibuat Gubernur Jendral Van Der Varra hingga rumah peristirahatan Baron Van Imhoff yang kini menjadi Istana Bogor yang dulu dikenal di wilayah Buitenzorg alias Bogor," ungkap dia.

Wilayah Bogor yang dulu sangat asri, membuat Van Imhoff mendirikan tempat pengobatan alternatif semacam spa.

"Sebagai keturunan Jerman, Van Imhoff mengimpor sistem pemulihan kesehatan alternatif dengan spa di lingkungan yang alami, sehat dan udaranya sangat baik di tempat yang sekarang kita kenal dengan Kawasan Puncak. Sementara udara di Batavia begitu bau busuk dan pengap saat Malaria mewabah," tutur Rizal.

Untuk memudahkan pengelolaan, Gustaf menggabungkan sembilan distik yang berada di kawasan ini yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga dan Kampung Baru, ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regenteschap Kampung Baru Buitenzorg.

Namun dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Mega Mendundung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede

Singkat cerita, Bogor dan kawasan Puncak lambat laun berkembang menjadi ruang penelitian para ilmuwan untuk menemukan obat malaria.

"Tahun 1815 Raja Belanda Willem I mengirim Botanicus Belanda untuk menjajaki dan menggali potensi perkebunan di Bogor, tepatnya di rumah Baron Van Imhoff hingga munculnya Kebun Raya Bogor untuk tempat penelitian," ungkap Rizal.

"Lalu ramainya aktivitas para ilmuwan di Kebun Raya Bogor berujung dibukanya Kebun Raya Cibodas di daerah Puncak yang akhirnya ditemukannya obat Malaria dari pohon Kina di tempat tersebut tahun 1845," sambung Rizal.

Dibuatnya Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Cibodas tentunya tak terlepas dari akses jalan yang dibuat Gubernur Jendral Belanda yang terkenal dengan sistem kerja rodi.

"Tempat penelitian ini dapat berkembang sejalan dengan infrastruktur Jalan Raya Pos yang kini dikenal dengan Jalan raya Puncak Pas yang digagas Herman William Daendels," jelas Rizal.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811) menggagas Grotepost weg atau Jalan Raya Pos yang membentang di sepanjang utara Pulau Jawa yang menghubungkan Anyer (Banten) dengan Panarukan (Jawa Timur).

Jalan Raya Pos itu dibangun mulai dar Anyer, Jakarta lalu ke Bogor melalui Jalan Jakarta / Bataviascheweg dan Jalan Perniagaan (Handelstraa).

Awalnya pembangunan jalan tak ada kendala. Namun ketika ketika memasuki kawasan Gadok, Cisarua, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang hingga Cirebon banyak terkendala oleh pebukitan dan pegunungan yang terjal.

Pemerintah Hindia belanda kemudian mengutus Kolonel Von Lutzouw dari tentara kerajaan Belanda untuk memimpin proyek pembangunan jalan yang terkendala oleh kondisi medan yang berbukit-bukit itu.

Pemerintah Hindia Belanda juga menyediakan upah hingga 30.000 ringgit di luar beras dan garam sebagai bahan persediaan makanan untuk para pekerja.

Besarnya upah yang diberikan pun disesuaikan dengan kondisi medan yang dilalui.

Pada waktu membuka lahan di kawasan Puncak, para pekerja mendapatkan upah yang paling besar yaitu 10 ringgit / bulan (upah di jalan lain hanya berkisar 1 ringgit s/d 6 ringgit per bulan).

Pembangunan jalan raya di kawasan Puncak bisa dibilang adalah yang paling sulit, bahkan para pekerja yang dikerahkan untuk membuka dan meratakan lahan berjumlah 400 orang pekerja yang sebagian besar didatangkan dari Jawa.

Beratnya medan tersebut adalah karena keberadaan Gunung Megamendoeng yang berketinggian 1880 mdpl yang lokasinya berada di sekitar Puncak Pass yang akan dijadikan jalan raya.

Sebelum jalan raya puncak dibangun, perjalanan menuju Cipanas dari Batavia akan memakan waktu hingga delapan hari.

Namun begitu, Walter Kinloch (1853) mencatat bahwa jalan di Cisarua saat itu masih sangat terjal, sehingga mereka akan membutuhkan bantuan beberapa ekor kerbau untuk menarik kereta kuda.

Yang menarik adalah, pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang hampir 1.000 km ini hanya memakan waktu selama satu tahun saja yang dimulai pada Mei 1808 dan berakhir September 1809.

Mengingat besarnya manfaat ekonomi dari selesainya pembangunan Jalan Raya ini, sudah tentu menjadi sebuah prestasi yang luar biasa dari sang Gubernur Jenderal, H.W Daendels.

Terlebih lagi saat itu pembangunan jalan raya ini masih dilakukan secara manual dan dengan teknologi yang cukup sederhana.

Namun dibalik prestasinya yang luar biasa itu, di tengah himpitan ekonomi dari pemerintah Hindia Belanda yang terus menurun akibat serangan Inggris.

Sementara itu beratnya medan dan ketinggian wilayah Puncak, akhirnya harus dibayar mahal dengan banyaknya jumlah korban dari kalangan buruh yang bekerja membuat Jalan Raya Pos.

"Daendels tidak meneruskan jalan yang sudah ada namun membuka jalan baru Puncak membuka jalan baru di medan berat hingga ketinggian 1.408 MDPL di kawasan Megamendung, Puncak. Proyek ini mengakibatkan jatuhnya 500 ribu lebih korban meninggal dari kalangan buruh Sunda dan Jawa," papar Rizal dikutip dari gridoto.com

Ia bercerita, hadirnya akses jalan membuat Kawasan Puncak tereksploitasi karena berkembang menjadi lokasi wisata dan perkebunan teh.

"Akhir abad 19 jelang abad 20, investasi perkebunan teh yang menjadi aset Kawasan Puncak. Tahun 1937 pariwisata makin besar, aktivitas ilmuwan menurun, dan perkebunan menggusur hutan di sana dan membuat berdirinya hotel dan resort Puncak," katanya lagi.

Hal ini, membuat Puncak yang asri dan berfungsi sebagai wilayah resapan air berubah menjadi ikon wisata kota Batavia.

"Puncak yang dieksploitasi menjadi kawasan wisata dan perkebunan membuat Jakarta terkena bencana alam berupa banjir akibat wilayah Puncak tak optimal lagi sebagai kawasan hijau penyerap air saat hujan," ungkap Rizal.

Rizal menambahkan, Kawasan Puncak yang kini sering macet merupakan penerusan ulah Belanda yang menjadikan kawasan asri menjadi tempat wisata.

"Dari kejadian 300 tahun ini, Batavia yang sumpek dan pengap akibat Malaria, Puncak jadi ruang untuk pergi dan jadi lokasi penyembuhan. Ketika kekuasaan Belanda sirna dari Indonesia, puncak semakin dieksploitasi dan kita mewarisi itu sampai saat ini," tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/05/07/060600778/kerap-macet-ini-sejarah-kawasan-puncak-bogor-bermula-dari-wabah-di-batavia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke