Salin Artikel

Kisah Kartini dalam Pingitan, Gagal Sekolah ke Belanda hingga Memutuskan Menikah

Sang ayah adalah Bupati Rembang. Dengan jabatan sang ayah, Kartini bisa mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS).

Setelah lulus ELS tepatnya di awal 1892, Kartini harus memulai masa pingitan di usia 12 tahun. Ia mengasingkan diri di dalam rumah dan dilarang ke luar lingkungan rumahnya yang megah.

Jangankan keluar pendapa, Kartini juga jarang menginjak serambi rumah.

Selama empat tahun menjalani masa pingitan, Kartini hanya lima kali keluar dari lingkunggan Kabupaten jepara.

Saat sang kakak RA Soelastri menikah dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro dan pindah ke Kendal, Kartini menjadi puteri tertua di kabupaten. Ia pun berhak mengatur semua urusan adik-adiknya.

Ia pun mulai menempati kamar sang kakak Soelastri yang jauh lebih luas dari kamarnya. Ia kemudian mengajak dua adiknya, Roekmini dan Kardinah untuk tinggal satu kamar.

Saat bersama, tiga bersaudara tersebut menyalurkan kegemarannya mulai melukis, main piano hingga ketrampilan tangan. Kartini juga menularkan kebiasaan membaca ke adik-adiknya.

Mereka mmebaca surat kabar De Locomatief sehingga tahu perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda atau Eropa.

Pada tahun 1896, sang ayah mengajak anak-anaknya untuk perjalanan dinas ke Kedungpenjalin menhadiri penahbisan pendata.

Ia menceritakan kisah tersebut melalui surat ke Stella. “Alhamdulillah! Alhamdulillah!
Saya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas," tulis Kartini.

Sejak aturan pingitan dilonggarkan, Kartini dan dua adiknya diperkenankan kembali mengunjungi rumah Nyonya Ovink Sore secara rutin. Nyonya Ovingk juga sering mengajak tiga saudara tersebut pergi menghadiri pesta keluarga Belanda.

Hal tersebut dicermati secara baik oleh sang ayah. Hingga akhirnya pada 2 Mei 1898, tiga bersaudara tersebut tak lagi dipingit.

Kebebasan tiga saudara ditandai dengan ikutnya mereka dalam kunjungan Bupati Sosroningrat ke Semarang menghadiri perayaan penobatan Ratu Wilhelmina.

Kartini membagi kebahagian tersebut kepada Stella melalui surat, “Kami diperkenankan meninggalkan kota kediaman kami dan ikut pergi ke ibukota menghadiri perayaan penghormatan kepada Sri Ratu. Lagi kemenangan yang besar, amat besar yang sangat patut kami hargai“

Sejak saat itu Kartini dan adik-adiknya berkunjung ke desa-desa dan berdialog dengan warga.

Salah satu permasalahan yang berhasil diselesaikan Kartini adalah kemiskinan yang membelit para pengrajin ukir di Kampung Belakanggunung.

Hasil karya pengrajin dihargai murah dan tak sebanding dengan jerih payah yang telah mereka lakukan.

Mendengar itu, Kartini langsung menghubungi orang Belanda di Semarang dan Batavia untuk membantu mempromosikan kerajinan seni ukir Jepara.

Kartini menugaskan kepada pengrajin ukir dari Belakanggunung membuat berbagai macam furnitur dan kerajinan untuk dipasarkan ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda.

Harga kerajinan mereka mampu dijual dengan harga yang tinggi, sehingga kesejahteraan pengrajin bisa meningkat.

Dengan cara yang sama Kartini juga berhasil meningkatkan kesejahteraan pengrajin emas dan tenun yang ada di Jepara.

Ia pun ikut sang ayah yang berkunjung ke Istana Buitenzorg (Bogor) untuk memenuhi undangan Gubernur Jenderal Roosebom.

Kartini memanfaatkan kesempatan untuk menemui Nyonya Rooseboom meminta bantuan beasiswa agar bisa melanjutkan pendidikan ke Belanda.

Namun ia gagal bertemu Nyonya Rooseboom dan hanya bisa bertemu ajudan Gubernur Jenderal, suami istri de Booy.

Perjalanan ke Batavia membuat secercah harapan bagi Kartini, apalagi JH Abendanon bersedia membantu jika Kartini ingin masuk sekolah dokter.

Namun sekolah dokter tak disetujui oleh ayahnya. Kartini menceritakannya kepada Nyonya Ovink Soer.

“Apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkan saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter? Jangan lupa, kamu orang Jawa, sekarang belum mungkin. 20 tahun mendatang keadaan akan lain, Tetapi sekarang belum bisa. Lalu saya bertanya, bolehkah saya jadi guru Ayah berkata itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"

Bupati Sosroningrat tidak mengizinkan Kartini masuk ke sekolah dokter karena murid di sekolah tersebut semuanya laki-laki, sehingga kalau anaknya masuk ke sekolah tersebut akan menimbulkan permasalahan.

Harapan Kartini untuk mengikuti pendidikan guru sirna saat sebagian besar bupati menolak surat edaran direktur pendidikan J.H. Abendanon, dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuannya dididik di luar.

Kartini yang semula menyambut suka cita sekolah tersebut harus kecewa, ia menuangkannya dalam sebuah surat untuk Stella, “Selamat jalan impian hari depan yang keemasan!
Sungguh, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan“.

J.H. Abendanon mengetahui kekecewaan Kartini, karena itu ia berusaha keras agar Kartini bisa melanjutkan pendidikan.

Pada 19 Maret 1901 dikirimkannya surat dinas kepada Gubernur Jenderal. Isinya usulan untuk mengirimkan guru wanita yang memiliki akta guru kepala (Hoofdacte) ke Jepara untuk mengajar di ELS.

Guru tersebut mendapat tugas tambahan mendidik puteri-puteri Bupati Sosroningrat di luar jam sekolah, karena mereka dipersiapkan mengikuti ujian guru.

Bupati Sosroningrat menulis surat jawaban kepada pemerintah dengan isi yang sangat mengejutkan, karena beliau memutuskan untuk menarik kembali permohonan bantuannya kepada pemerintah.

Kartini sangat kecewa dengan keputusan tersebut, kekecewaan yang datang berulang menjadikan Kartini menderita sakit keras yang berakibat pada menurunnya semangat juang untuk mengejar cita-citanya. Kartini menulis, “Bagaimana saya dapat menjadi sangat malas dan tak berkehendak apapun, saya sendiri tidak mengerti. Saya hanya tahu, bahwa saya
hanya merasa kurang enak badan“

Adalah Van Kol, anggota parlemen Belanda yang mengusahakan beasiswa untuk Kartini saat ia datang ke Jepara pada 20 April 1902.

Van Kol takjub dengan pemikiran dan perjuangan Kartini tentang persamaan dejarat antara laki-laki dan perempuan yang bisa dicapai melalui pendidikan.

Bahkan pertemuan Van Kol dan keluarga Bupatu Sosroningrat diberitakan di surat kabar De Locomotief.

Namun banyak usaha untuk menghalangi keberangkatan Kartini ke Belanda baik dari para bangsawan pribumi hingga orang -orang Belanda.

Salah satu orang Belanda yang mempengaruhi Kartini untuk membatalkan beasiswanya adalah Nyonya Abendanon. Pada Mei 1902, ia mengirim surat ke Kartini dan meminta remaja putri itu membatalkan rencana belajar ke Belanda karena bisa menjadikan murid-murid Kartini tercerabut dari budaya Jawa.

Namun Kartini tidak bergeming. Hingga J.H Abendanon, pejabat tinggi Belanda datang ke Jepara pada 24 Januari 1903 untuk menemui Kartini. Ia pun mengajak Kartini berbicara di Pantai Klien Scheveningen (Bandengan).

J.H. Abendanon membujuk Kartini untuk merubah tujuannya belajar dari Belanda ke Batavia, karena akan banyak keuntungan yang didapatkannya.

Pembicaraan antara J.H. Abendanon dan Kartini membawa pengaruh yang tidak terduga, Kartini membatalkan niatnya untuk pergi belajar ke Belanda. Keputusan yang sangat aneh dan misterius, karena Kartini sudah mendambakan kesempatan itu bertahun tahun.

Dalam suratnya kepada anak keluarga Abendanon tanggal 27 Januari 1903 Kartini menulis, “Percakapan kami di pantai menghasilkan keputusan, kami segera menyampaikan permohonan kepada Gubernur Jenderal dengan persetujuan orang tua, agar kami diberi kesempatan oleh pemerintah untuk menamatkan pendidikan di... Betawi !"

Surat tersebut juga menjelaskan sebab-sebab Kartini membatalkan niatnya berangkat ke Belanda :

  1. Kartini khawatir kepergiannya ke Belanda dalam waktu yang lama membuat rakyat melupakannya, padahal kepergiannya bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat mereka.
  2. Kartini khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya yang sudah tua, yang sewaktu-waktu bisa terserang oleh penyakit yang membutuhkan perawatan.
  3. Belajar di Belanda membutuhkan waktu yang cukup lama, sementara jika belajar di Batavia maka bisa segera mempraktekan ilmunya.
  4. Janji Mr. Abendanon yang mengizinkan Kartini untuk membuka sekolah meski belum mengikuti ujian pendidikan guru.

Keputusan Kartini tidak berangkat ke Belanda membuat teman-teman yang memperjuangkan dirinya kecewa. Kartini berusaha menjelaskan kepada teman-temannya tentang budaya masyarakatnya yang masih belum semaju masyarakat yang tinggal di Belanda.

Setelah batal sekolah ke Belanda, Kartini dan adiknya Roekmini memutuskan membuka sekolah untuk anak gadis.

Sekolah itu untuk menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak. Pada bulan Juni 1903, kegiatan sekolah dimulai di pendopo kabupaten.

Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada di dalam dirinya. Murid-muridnya adalah anak perempuan priyayi ada ada di Kota Jepara.

Sekolah dilakukan selama empat hari dalam seminggu yaknu mulai Senin hingga Kamis. Para siswa masuk jam 08.00 dan pulang jam 12.30.

Murid-murid belajar membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.

Aktifitas Kartini di sekolah menjadikannya melupakan rasa pedih karena gagal berangkat ke Belanda.

Pertengahan Juli 1903 perhatian Kartini dalam mengelola sekolah mulai terpecah, karena datang utusan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat membawa surat lamaran untuk Kartini.

Surat lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat diterima oleh Kartini disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

Pada 24 Juli 1903, setelah Kartini menerima lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat, datang surat dari Surat Keputusan Gubernur Jenderal yang memberikan izin kepada Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan pendidikan ke Batavia.

Mereka mendapatkan bantuan biaya dari pemerintah masing-masing sebesar f. 200,- (dua ratus gulden) sebulan selama dua tahun.

Keputusan pemerintah tersebut menjadi tidak berarti karena Kartini sudah memutuskan untuk menikah, sementara Roekmini tidak mungkin pergi sendiri belajar di Batavia.

Pernikahan Kartini yang semula direncanakan pada 12 November 1903, atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903. Pernikahan dilaksanakan di Jepara dengan cara yang sederhana dihadiri oleh saudara-saudara dekat kedua mempelai.

Pernikahan ini tidak disertai dengan upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh
mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini. Mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.

Setahun setelah menikah, Kartini hamil dan melahirkan. Sayangnya beberapa hari setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1903 di usia 25 tahun.

Kematian R.A. Kartini sangat mengguncang pikiran suaminya, R.M. Djojo Adiningrat.

Kepada Nyonya Abendanon beliau menulis sebuah surat yang menceritakan kematian isterinya:

“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir
ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota”

https://regional.kompas.com/read/2022/04/21/111500578/kisah-kartini-dalam-pingitan-gagal-sekolah-ke-belanda-hingga-memutuskan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke