Salin Artikel

Akhir Hayat Kartini, Meninggal di Usia 25 Tahun Saat Melahirkan

Dikutip dari Buku Sisi Lain Kartini: Biografi Kartini yang ditulis Nur Khozin, sebelum menerima lamaran, Kartini membuka kegiatan sekolah di pendopo Kabupaten Jepara.

Sekolah tersebut dibuka setelah Kartini membatalkan rencana belajar ke Belanda.

Awalnya Kartini dan adiknya, Roekmini mendapatkan bea siswa dan dukungan dari parlemen serta Pemerintah Belanda.

Adalah Van Kol, anggota parlemen Belanda yang mengusahakan beasiswa untuk Kartini saat ia datang ke Jepara pada 20 April 1902.

Van Kol takjub dengan pemikiran dan perjuangan Kartini tentang persamaan dejarat antara laki-laki dan perempuan yang bisa dicapai melalui pendidikan.

Bahkan pertemuan Van Kol dan keluarga Bupatu Sosroningrat diberitakan di surat kabar De Locomotief.

Namun banyak usaha untuk menghalangi keberangkatan Kartini ke Belanda baik dari para bangsawan pribumi hingga orang -orang Belanda.

Salah satu orang Belanda yang mempengaruhi Kartini untuk membatalkan beasiswanya adalah Nyonya Abendanon.

Pada Mei 1902, ia mengirim surat ke Kartini dan meminta remaja putri itu membatalkan rrncana belajar ke Belanda karena bisa menjadikan murid-murid Kartini tercerabut dari budaya Jawa.

Namun Kartini tidak bergeming. Hinga J.H Abendanon, pejabat tinggi Belanda datang ke Jepara pada 24 Januari 1903 untuk menemui Kartini.

Ia pun mengajak Kartini berbicara di Pantai Klien Scheveningen (Bandengan).

Pembicaraan antara J.H. Abendanon dan Kartini membawa pengaruh yang tidak terduga, Kartini membatalkan niatnya untuk pergi belajar ke Belanda.

Keputusan yang sangat aneh dan misterius, karena Kartini sudah mendambakan kesempatan itu bertahun tahun.

Dalam suratnya kepada anak keluarga Abendanon tanggal 27 Januari 1903 Kartini menulis, “Percakapan kami di pantai menghasilkan keputusan, kami segera menyampaikan permohonan kepada Gubernur Jenderal dengan persetujuan orang tua, agar kami diberi kesempatan oleh pemerintah untuk menamatkan pendidikan di... Betawi !"

Akhirnya Kartini menikah dengan Bupati Rembang. Rencananya pernikahan akan digelar pada 12 November 1903.

Namun atas permintaan Bupati Rembang, pernikahan dimajukan pada 8 November 1903.

Pernikahan digelar dengan sederhana di Jepara dan hanya dihadiri saudara terdekat kedua mempelai.

Pernikahan ini tidak disertai dengan upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini.

Mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.

Kartini harus membagi waktu untuk suami dan anak-anaknya. Keseharian Kartini di rembang diceritakan Kartini kepada Nyonya Abendanon melalui surat.

Ia menulis, ”Jika Ayahnya pergi bekerja, maka anak-anak tinggal bersama saya sampai jam dua belas, jam setengah satu anak bertemu dengan ayahnya dalam kondisi yang sudah bersih
untuk makan bersama. Jam setengah dua anak-anak disuruh untuk tidur. Bila Ayahnya tidur dan saya tidak capai, maka saya akan berkumpul dengan anakanak gadis untuk belajar dan bekerja”.

Keluarga Bupati Rembang akan berkumpul kembali pada jam empat, dengan aktifitas yang berbeda. Bupati dan Kartini duduk minum teh sambil berdiskusi tentang bermacam-macam hal,

Sementara anak-anak bupati setelah minum susu, diizinkan untuk bermain disekitar
lingkungan kabupaten sampai waktu senja.

Saat malam, Sang Bupati memanfaatkan waktu dengan membaca koran, sementara anak-anak akan berkumpul dengan Kartini untuk bermain atau mendengarkan dongeng.

Kartini pun hamil dan mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit.

Tanggal 7 September 1904 Kartini sempat menulis surat kepada Nyonya Abendanon yang sudah mengirimkan hadiah untuk bayinya nanti.

Kartini menceritakan kondisi kehamilannya. Surat ke Nyonya Abendanon adalah surat terakhid yang ditulis Kartini.

Tanggal 13 September 1904 Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat.

Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri. Karena itu dokter yang membantu persalinannya kembali ke kota.

Namun tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah.

Beberapa hari setelah melahirkan, Pada 17 September 1904 akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun.

Kematian R.A. Kartini sangat mengguncang pikiran suaminya, R.M. Djojo Adiningrat. Kepada Nyonya Abendanon beliau menulis sebuah surat yang menceritakan kematian isterinya.

“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah lambang cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota”

https://regional.kompas.com/read/2022/04/21/085800478/akhir-hayat-kartini-meninggal-di-usia-25-tahun-saat-melahirkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke