Salin Artikel

Panggilan Kartini Kecil, dari Trinil hingga Si Jaran Kore

Sang ayah adalah Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sementara sang ibu adalah Ngasirah, putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.

Sosroningrat adalah bupati yang berpendidikan dan pandai menulis serta berbahasa Belanda. Kala itu tak banyak bupati yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai seperti Sosroningrat.

Dikutip dari buku RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904 yang ditulis Imron Rosyadi, sejarawan M.C Ricklefs menyebut Sosroningrat sebagai one of the most Enlightened of Java's Bupatis (salah satu bupati yang berpikiran maju di Jawa).

Karena aturan kolinial yang mengharuskan bupati menikah dengan bangsawan, maka Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam, keturunan raja-raja Madura.

Ia melakukan tersebut karena Ngasirah bukan keturunan bangsawan. Istri kedua Sosroningrat ini menjadi garwa padmi (istri pertama) dan Ngasirah yang telah memiliki anak menjadi garwa ampil.

Pada suratnya tertanggal 21 Desember 1900, Kartini menulis, "Saya meyaksikan penderitaan dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya dan karena saya anaknya. Aduhai, merasakan sedalam-dalamnya, itulah penderitaan neraka.

Ada hari-hari tanpa kegembiraan dan amat sedih sampai saya terengah-engah dan mengidam-idamkan akhir hidup saya di dunia dan hendak mengakirinya sendiri kalai saya tidak sangat mencintai ayah saya."

Trinil adalah nama burung berkicau yang badannya kecil, tapi gerakannya lincah.

Kartini membagikan cerita mengenai panggilan Trinil ini melalui suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, sahabat penanya dari Belanda yang ditulis pada 18 Agustus 1899.

Selain Trinil, Kartini juga sering dipanggi Si Jaran Kore (Kuda Liar) oleh para saudaranya. Panggilan Jaran Kore disematkan ke Kartini karena pembawaannya yang tak bisa diam, seperti peremuan Jawa pada umumnya.

"Saya disebut Kuda Kore atau Kuda Liar karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering kali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan," tulis Kartini dalam suratnya.

Dalam suratnya ke Nyonya HG dee Booij-Boissevain, Kartini melukiskan masa kecilnya yang pedih. Ia menceritkan diskriminasi yang ia dapatkan ketika masih bayi karena sang ibu harus bersaing dengan istri utama ayahnya.

Sejak kecil ia sudah mersakan kehidupan yang berbeda antara gedung utama dan rumah kecilnya tempat Kartini tumbuh bersama sang ibu, Ngasirah.

Sementara itu Nyonya van Zeggelen, sahabat Kartini dalam romannya yang berjudul Kartini digambarkan selain diasuh sang ibu kandung, Kartini diasuh seorang emban bernama Rami.

Tidak ada berita sejarah yang menyebutkan rumah kelahiran Katini, di rumah ayahnya atau ibu kandungnya.

Namun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, terpasang dua buah foto dengan keterangan: "Di situlah dahulu rumah tempat RA Kartini lahir". Serta ada gambar  lain menujukkan tempat yang dipayungi tempat menanam tembuni (ari-ari) yang sebagian besar diisi perpohonan.

Imron Rosyadi menulis dalam foto tersebut bangunan dari batu hanya sedikit terlihat dan hal tersebut dapat menjelaskan jikan Kartini lahir di gedung asistenwedanaan, tidak di rumah ayah dari ibu kandungnya.

Ngasirah bukan lahir dari keluarga bangsawan, sehingga tidak mungkin keluarganya membuat dinding rumahnya dari tembok, apalagi dinding sumurnya.

Walau lahir di gedung asistenwedanaan, Kartini lahir bukan di gedung utama seperti saudara-saudaranya yang lain karena ia adalah anak seorang selir.

Walau sang ibu adalah selir, namun Kartini adalah keturunan keluarga yang cerdas. Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat menjadi bupati di usia 25 tahun.

Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran ala barat.

Ia bahkan mendatangkan guru dari Negeri Belanda untuk mengajari anak-anaknya.

Pada tahun 1845, belum ada pemikiran memberikan pendidikan kepada orang Bumiputera seperti yang dilakukan Ario Tjondronegoro IV.

Hal tersebut menunjukkan Kartini lahir dari keluarga yang maju. Selain itu, sang paman juga menjadi anggota komisi yang didirikan pemerintah kolonial untuk menyelidiki suatu perkara.

Dan pada awal 1920, didirikanlah perhimpunan bupati dan sang paman, Pangeran Ario Hadiningrat  yang menjadi Bupati Demak didaulat menjadi ketua pertama.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/21/072800678/panggilan-kartini-kecil-dari-trinil-hingga-si-jaran-kore

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke