Salin Artikel

“Shortcut to Terrorism”, Saat Media Sosial Jadi Lahan Persebaran Konten Radikal...

KOMPAS.com - Seorang tersangka teroris ditembak mati Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022).

Sosok berinisial SU (54) tersebut diketahui berprofesi sebagai dokter.

Mengenai hal tersebut, pengamat terorisme dan intelijen, Stanislaus Riyanta, mengatakan bahwa ideologi radikal bisa menyasar ke siapa pun.

“Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Bahkan, sempat ada (terduga teroris) yang ditangkap berlatar dosen, pegawai BUMN, PNS, dan lain-lain,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/3/2022).

Apalagi sekarang akses internet menjadi lebih mudah. Stanislaus menuturkan, internet dan media sosial membuat persebaran paham radikal bisa lebih cepat.

Seorang ahli psikologi, Fathali Moghaddam, pernah menulis jurnal berjudul “Staircase to Terrorism”. Ia membahas soal enam tahapan seseorang terpengaruh terorisme.

Namun, Stanislaus memandang bahwa teori tersebut tak lagi relevan, khususnya di Indonesia.

Menurutnya, fenomena yang terjadi saat ini adalah shortcut to terrorism yang mana media sosial menjadi pemicunya. Media sosial bisa menjadi lahan segar bagi konten-konten berbau radikal.

“Anak muda banyak jadi teroris gara-gara pengaruh media sosial,” ucapnya.

Dia mencontohkan saat seorang terduga teroris menyerang Mabes Polri pada Maret 2021.

Stanislaus menuturkan, aksi-aksi lone wolf seperti itu bisa dipicu dari melihat konten-konten radikal di media sosial.

Seorang lone wolf, kata Stanislaus, mengalami gejala self radicalization.

“Dia merencakanan aksi itu, kemudian melakukannya sendiri. Itu bisa didapat dari internet dan media sosial,” ungkapnya.

Dikatakan Stanislaus, aksi lone wolf sulit terdeteksi dibandingkan terorisme berkelompok.

“Aksi dalam kelompok bisa dicegah Densus. Mereka ada transaksi keuangan dan percakapan. Itu bisa dipantau,” tuturnya.


Lalu, apa langkah yang harus dilakukan agar bibit radikal tidak tersebar?

Salah satu caranya yaitu dengan menguatkan ideologi Pancasila. Namun, Stanislaus berpesan, penguatan ini harus dilakukan dengan cara-cara kekinian.

“Anak muda dirangkul, konten-kontennya ala milenial. Ini adalah peran utama bagi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), bagaimana Pancasila bisa membumi,” jelasnya.

Selain itu, lembaga pendidikan juga berperan penting karena selalu bersinggungan dengan anak-anak muda.

“Tokoh agama juga penting juga. Jangan sampai ada yang mendukung (terorisme). Mereka harus menyerukan bahwa terorisme adalah musuh bersama,” tandasnya.

Serta, yang tak kalah penting adalah kesatuan suara bahwa terorisme itu tidak benar.

“Untuk menutup ruang gerak mereka, kita perlu sepakat dan kompak. Elemen-elemen bangsa harus satu suara,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/12/170000078/shortcut-to-terrorism-saat-media-sosial-jadi-lahan-persebaran-konten

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke