Salin Artikel

Cerita Azwan, Anak Eks PMI Malaysia Dirikan Yayasan Permata Ibu Pertiwi di Yogyakarta demi Angkat Derajat Teman Senasib

Tahun 2010, menjadi langkah awal bagi Azwan menggapai cita-citanya untuk untuk menempuh pendidikan tinggi.

Saat itu, ia berusia 11 tahun, dan di perkebunan kelapa sawit di Kinabatangan, Sabah, Malaysia tempat keluarganya bermukim dan bekerja, belum ada sekolah SD.

"Saya sering melihat anak-anak tempatan pergi sekolah, mereka tertawa riang sama teman temannya dan mengenakan seragam sekolah. Setiap istirahat kerja bantu Bapak, saya bertanya ‘bisakah saya sekolah Pak?," ujar dia, saat ditemui di sela menunggu kedatangan 161 anak PMI Malaysia penerima beasiswa reaptriasi pendidikan, di pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Kaltara, Rabu (9/2/2022).

Jawaban Bapaknya yang menjelaskan status mereka sebagai PMI ilegal, justru membuat semangatnya tersulut.

Azwan selalu mencari informasi bagaimana anak PMI ilegal bisa mengenyam pendidikan di negara orang.

Dia pun akhirnya ikut paket A di PKBM KJRI Kota Kinabalu, dan ikut seleksi masuk sekolah Community Learning Centre (CLC).

"Pada 2011 saya masuk CLC, dan dari sana jalan untuk menempuh pendidikan, terbuka. Saya selalu ingat pesan orangtua, ‘Kalau bisa bersekolahlah, jangan ikuti jejak orangtua dan ketiga saudaramu. Biarlah kami bodoh asal kamu bisa pintar, itu sudah cukup," kenang Azwan.

Membeli laptop dari hasil memungut kernel sawit

Pada 2013, saat Azwan menginjak kelas VIII bangku SMP, ia sudah berpikir jauh ke depan.

Hal yang paling ia miliki setelah bersekolah SMP adalah memiliki laptop. Ia mengutarakan keinginannya ke bapaknya dan mendapat dukungan penuh darinya.

"Upah kerja memungut kernel sawit itu antara 500-600 ringgit Malaysia sebulan. hasil kerja saya dikumpulkan dan akhirnya bisa memiliki laptop. Saya tahu di tengah kebun sawit tidak ada sinyal. Tapi saya selalu yakin, kalau apa yang saya beli akan sangat berguna,’’katanya.

Laptop yang ia beli pada 2013 tersebut masih digunakan sampai saat ini. Azwan juga mengaku sering mendapat pujian gurunya di SMP karena semangatnya yang menggebu untuk bisa bersekolah.

"Saat itu belum ada teman teman CLC punya laptop, saya beli sekitar Rp 5 juta. Dan guru terus memupuk semangat saya terkait pendidikan," lanjutnya.

Merasakan duduk sebagai anggota DPR

Semangat dan keyakinan Azwan terus bertumbuh tatkala ia melanjutkan sekolah di SMKN 1 Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Ketekunan, tekad, dan mimpinya agar bisa memenuhi harapan orangtua dan keluarganya terus ia jaga.

Polewali Mandar di Sulawesi Barat yang merupakan tanah leluhurnya, seakan memberikan daya magis.

Semangat pengabdian dan slide kehidupan yang ia jalani, terus lekat di ingatan yang mengajarkannya agar mampu memberikan perubahan bagi dirinya dan keluarganya.

"Saya berusaha terus mendapat ranking. Alhamdulillah saya selalu masuk lima besar, dan yang paling berkesan, adalah ketika ada program Parlemen Remaja. Saya merasakan jadi DPR selama lima hari di Jakarta," kata Azwan.

Pengalaman menjadi DPR kembali memberikan inspirasi baginya untuk bisa berjuang bagi anak anak PMI yang memiliki nasib sepertinya.

Di daerah Kinabatangan Sabah, masih demikian banyak anak PMI yang belum memiliki kesadaran untuk bersekolah.

Azwan berkeinginan mengubah pemahaman orangtua dan anak-anak tersebut agar mau bersekolah untuk mengangkat derajat orang tua dan sekelilingnya.

"Ingatan saya kembali masa saya usia SD, saya kerja memungut buah sawit mulai jam enam sampai siang hari. Dan saya selalu pergi sekolah jam satu siang. Itu adalah siklus yang mendewasakan, dan saya merasakan langsung bagaimana pentingnya pendidikan bagi mereka," kata dia.

Terus memelihara mimpi dengan prestasi

Memelihara mimpi dengan prestasi, kembali memberi bukti nyata dalam perjalanan Azwan. Dengan segala keterbatasan sebagai anak PMI, ia terus belajar agar tidak mengecewakan orangtuanya.

"Lulus SMK 2017, saya meminta restu orangtua untuk lanjut kuliah. Saya mendaftar dan masuk Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Saya masih berusaha mendapat prestasi," kata Azwan lagi.

Prestasi, menurut Azwan, menjadi bahan laporan ke orangtuanya bahwa ia benar-benar sedang bersekolah.

Sebisa mungkin, ia harus menorehkan prestasi sekecil apapun agar orangtuanya merasa senang dan tidak sia-sia menanggalkan rasa malunya untuk berutang, demi agar Azwan tetap melanjutkan pendidikannya.

"Semester dua, orangtua sempat menyerah. Mereka tidak sanggup lagi membiayai saya, dan meminta saya pulang ke Malaysia kumpul uang dulu. Saya yakinkan mereka kalau saya akan mendapat beasiswa." ceritanya.

Lagi-lagi Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, Kemendikbud RI memprogramkan beasiswa unggulan masyarakat berprestasi.

"Dari 45.000 pendaftar saat itu, hanya 4.000 yang diterima, dan saya salah satunya. Beasiswa saya dapat sampai selesai semester 8, sampai saya lulus kuliah," kata dia haru.

Mimpi membangun komunitas peduli anak PMI mulai terwujud

Di Fakultas Administrasi Publik UNY, nama Azwan juga kerap tercatat dalam daftar mahasiswa berprestasi, ia bahkan didapuk menjadi duta kampus.

Namanya juga tercatat sebagai mahasiswa yang berhasil lolos di Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Azwan mewakili UNY untuk berlomba di Bali saat itu.

"Rasanya kontras sekali setelah saya mati-matian memupuk mimpi. Dulu kami dikejar aparat Malaysia, lari ke hutan ramai-ramai sampai menginap tiga hari dalam semak belukar. Begitu saya berprestasi, yang kejar-kejar adalah kompetisi ilmiah. Saya berdoa untuk orangtua yang terbaik. Apa yang saya raih adalah berkah dari mereka," ucapnya.

Kiprah Azwan juga belum berhenti, menjelang kelulusannya di UNY, KJRI Kinabalu memintanya untuk mengikuti lomba PKBM se-Indonesia.

Namanya kembali muncul sebagai salah satu alumni pendidikan kesetaraan terbaik tahun 2021.

"Kesannya cukup membekas, karena perlombaan itu untuk seluruh alumni paket A, B dan C seluruh Nusantara. Pas diumumkan sebagai juara, ada kebanggaan karena lawan saya bahkan ada yang S2," tambahnya.

Dengan modal prestasi setiap jenjang pendidikan yang ia ikuti, keyakinan untuk berbuat dan peduli sesama anak PMI kian menguat.

Ia lalu berkonsultasi dengan para pendidik di Sabah Bridge untuk mendirikan Yayasan Permata Ibu Pertiwi di Yogyakarta.

Sebuah yayasan yang berfokus pada kepedulian terhadap anak-anak PMI dan merupakan kepanjangan tangan dari Sabah Bridge.

Permata Ibu Pertiwi kini beranggotakan 90 orang. Semua adalah anak PMI yang mengenyam pendidikan di Jawa.

"Bagaimanapun talenta dan bakat akan selalu ada jika diasah. Tak peduli status kami anak anak PMI dan orang tua kami buta huruf. Namanya permata meski dibenamkan dalam lumpur tetaplah menjadi permata sampai kapanpun. Itu yang menginspirasi saya menamakan yayasan kami sebagai Permata Ibu Pertiwi," bebernya.

Azwan berpesan pada anak anak PMI, khususnya di Malaysia untuk memelihara mimpi. Memiliki tekat, keuletan dan keyakinan untuk membahagiakan orangtua.

Dari berkah tangan orang tua, mengalir untaian doa mustajab. Akan jadi apa nantinya, doa orangtua memiliki pengaruh sangat besar.

"Setiap anak adalah anugerah dan punya bakat masing masing. Kaya atau miskin punya kesempatan jadi sukses. Jangan takut bermimpi, bermimpilah dengan mata terbuka, kesempatan terbuka lebar bagi siapapun. Tidak melihat kamu lahir dari dari PMI illegal atau legal. Selama kamu WNI, kembalilah ke Indonesia, bangun bakat minatmu bukan untuk dirimu saja, melainkan untuk orang tua, bangsa dan sesamamu," pesannya.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/10/170512078/cerita-azwan-anak-eks-pmi-malaysia-dirikan-yayasan-permata-ibu-pertiwi-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke