Salin Artikel

Pelayaran KM Awu, Pengabdian demi Konektivitas (1)

Angin laut menyapu wajah pensiunan guru Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut. Arnold merupakan salah satu penumpang yang naik di Pelabuhan Waingapu.

Ia menaiki KM Awu untuk berkunjung ke rumah anaknya di Kabupaten Alor.

Arnold mengaku sudah 30 tahun tinggal di Waingapu, Sumba Timur.

Ia juga hampir setiap bulan berkunjung ke rumah anaknya di Kabupaten Alor. Butuh waktu sekitar 28 jam dari Pelabuhan Waingapu menuju Pelabuhan Kalabahi di Kabupaten Alor.

Menurut Arnold, tak banyak pilihan dari Waingapu menuju Pulau Alor. Masyarakat bisa memakai pesawat atau kapal laut.

Namun, pesawat bukan pilihan utama masyarakat. Selain harga yang lebih mahal, tak ada penerbangan langsung dari Waingapu menuju Alor.

"Transit dia bukan jam, transit besok lagi atau lusa lagi (penerbangan ke Alor), kalau dia langsung kita pilih itu," kata Arnold saat berbincang di KM Awu, Rabu (15/12/2021).

Karena penerbangan menuju Alor juga sepi, waktu tempuh memakai pesawat dan kapal laut hampir sama.

Dengan menumpang KM Awu, ia bisa sampai dalam waktu 28 jam, tanpa transit.

Tiket KM Awu dari Waingapu menuju Alor Rp 206.000. Sementara, harga pesawat sekitar Rp 800.000 hingga Rp 1 juta.

"Itu (tiket pesawat) Waingapu-Kupang saja, jadi biayanya lebih besar," kata Arnold.

Apalagi, pelayaran menggunakan KM Awu sudah lebih cepat. Kapal yang sudah berusia 29 tahun itu sudah tidak berhenti di beberapa pelabuhan di NTT.

Pelayanan penumpang juga dinilai lebih berkualitas. Arnold masih ingat, beberapa tahun lalu, penumpang kelas ekonomi harus merogoh kocek lagi untuk bisa tidur di kasur.

"Sekarang tidak, dulu kalau mau pakai kasur beli lagi Rp 10.000 waktu itu, sekarang lebih bagus," kata dia.

"Terjangkau," singkat dia.

Meski begitu, Arnold mengeluhkan pengawasan penumpang saat menaiki kapal. Calon penumpang, kata dia, berdesakan saat mengisi formulir di terminal keberangkatan Pelabuhan Waingapu.

"Maksudnya itu belum berkualitas, kan kita menghindar karena ini Covid-19," kata dia.

Penumpang lainnya, Lamalen terlihat sibuk membujuk anaknya yang merajuk. Lamalen merupakan penumpang yang berangkat dari Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat.

Ia pulang bersama suami dan dua anaknya. Lamalen hendak pulang ke Kabupaten Ende.

"Pesawat itu kita uang tidak ada, lebih murah kapal. Pesawat itu dua juta lebih, kita tiga orang berangkat," kata Lamalen, Rabu.

Lamalen sudah hampir seminggu di KM Awu. Tak lama lagi, ia akan tiba di Pelabuhan Ende.

"Kita mau bosan bagaimana? Kita mau cepat ya kita pakai pesawat. Kita mampu hanya kapal," kata dia.

Perempuan yang bekerja di kebun sawit di Kalimantan Barat itu mengaku baru delapan bulan merantau. Ia terpaksa pulang ke Ende karena rumahnya tak ada yang menghuni.

Sebelumnya rumah itu dihuni anak dan menantunya. Kini, anak dan menantunya membeli rumah baru. Mereka tak lagi tinggal di rumah Lamalen.

Selain faktor harga tiket lebih murah, Lamalen memilih kapal laut karena bisa membawa banyak barang. Penumpang diizinkan membawa barang sebanyak 40 kilogram.

Sehingga, ia bisa membawa barang-barang dari rumah di Kotawaringin Barat.

"Kalau pesawat itu mahal, barang-barang tidak muat. Kalau di sini kita mau bawa berapa muat, tiket kapal juga murah," kata Lamalen.

"Kalau pakai pesawat Rp 2 juta lebih (satu orang), tiga orang sudah berapa itu," kata dia.

Lamalen tak menampik satu-satunya kendala yang dihadapi selama lima hari di KM Awu adalah menghadapi anaknya yang rewel.

"Tapi mau gimana, hemat, kita terima saja," kata dia.

Sementara itu, Viky penumpang dari Pelabuhan Kumai menuju Pelabuhan Tenau Kupang punya alasan lain untuk memilih perjalanan menggunakan KM Awu.

Ini pertama kalinya Viky pulang dengan kapal laut. Biasanya, ia pulang ke Kupang dengan pesawat terbang.

"Kali ini mau naik kapal laut, karena pertimbangan ada teman. Pertama kali rasa rasa takut gitu, cuma dalam perjalanan sudah nyaman begitu," kata dia.

"Lebih nyaman, bisa menikmati perjalanan walau jauh," kata Leo.

Leo menaiki KM Awu di Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat. Ini pengalaman pertamanya naik dari Pelabuhan Kumai. Biasanya dari Surabaya.

Leo yang memang terbiasa naik kapal laut saat pulang ke Kupang menyoroti fasilitas di salah satu angkutan favorit masyarakat NTT itu.

"Seperti kamar mandi, ada yang perlu diperbaiki, maksudnya belum bagus lah, kalau kamar mandi kapal swasta lebih bagus," kata dia.

KM Awu merupakan kapal buatan Jerman yang pertama kali beroperasi pada 1992. Nama kapal itu diambil dari sebuah gunung di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Kapal ini pertama kali dioperasikan oleh nakhoda perempuan pertama PT Pelni, Kartini.

Setelah melayani sejumlah rute pelayaran berbeda, kini kapal milik PT Pelni itu melayani rute Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan menuju Pelabuhan Kalabahi, Alor, NTT.

Dalam perjalanannya, kapal ini mampir di sejumlah pelabuhan, di antaranya Surabaya, Bali, Lombok, Sumba Timur, Ende, dan Kupang.

Butuh waktu sekitar tujuh hari bagi KM Awu menyelesaikan rute Pelabuhan Kumai-Pelabuhan Kalabahi.

Untuk menempuh perjalanan dari pelabuhan pertama di Kumai hingga pelabuhan terakhir di Alor, penumpang harus merogoh kocek sekitar Rp 576.000.

Harga tiket itu menyesuaikan dengan pelabuhan keberangkatan dan tujuan penumpang.

Kebutuhan masyarakat

Bagi sebagian besar masyarakat NTT, KM Awu memiliki peran penting dalam menghubungkan mereka dengan daerah lain.

Di Pelabuhan Waingapu, Sumba Timur, misalnya, ada beberapa kapal penumpang yang melayani pelayaran multiport (beberapa pelabuhan), seperti KM Egon, KM Awu, dan KM Wilis.

KM Awu merupakan favorit masyarakat Waingapu karena ukurannya yang bisa menampung 1.000 penumpang. Pelabuhan yang disinggahi KM Awu juga lebih banyak.

Kepala Cabang PT Pelni Waingapu Saiful Fauzi menyebutkan, pada Rabu, sekitar 235 penumpang menaiki KM Awu dari Pelabuhan Waingapu, Sumba Timur.

Jumlah penumpang itu lebih banyak dari biasanya karena menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Biasanya, jumlah masyarakat yang berangkat menuju sejumlah pelabuhan di NTT sekitar 130 orang.

"Ini sudah persiapan natalan, jadi warga dari Kupang yang rumahnya di Waingapu singgah, nanti pulang lagi," kata Saiful.

Masyarakat bisa memanfaatkan kapal yang dikelola PT Pelni maupun swasta. Namun, KM Awu merupakan favorit masyarakat Waingapu.

"Karena besar, bersih, terus dapat makan. Orang itu senangnya di situ. Apalagi sekarang servis makanan bagus," kata Saiful.

Di dalam kapal pabrikan Jerman itu, penumpang mendapatkan makanan tiga kali sehari. Makanan itu disiapkan koki di dapur yang terletak di lantai tiga kapal.

Selain untuk angkut penumpang, KM Awu juga dimanfaatkan masyarakat untuk membawa barang dan logistik.

Saiful mengatakan, tak ada kapal roro yang melintas di Pelabuhan Waingapu. Sehingga, masyarakat setempat memanfaatkan jasa kapal feri, kapal swasta, hingga kapal milik PT Pelni.

"Kadang dari Surabaya ada banyak juga barang, karena ada kapal tol laut dari Surabaya ke Kupang," kata dia.

Pada Rabu pagi itu, aktivitas bongkar muat di KM Awu terlihat saat Kompas.com hendak menaiki kapal. Beberapa kotak putih berukuran lumayan besar diturunkan dari kapal.

Kotak-kotak itu ternyata berisi es krim, makanan beku, dan minuman ringan. Petugas yang membongkar kotak itu menyebut, barang-barang itu akan disalurkan ke sejumlah toko di Waingapu.

Menurut Saiful, es krim hingga makanan beku itu dibeli dari Bali.

"Distributor itu ada di Bali, nanti disebarkan ke sejumlah toko, ada nama masing-masing toko di boks itu," kata Saiful.

"Selain ada kapal Awu masuk, kita ada river juga, itu paling Utama river itu (untuk angkutan barang)," tambahnya.

Sebuah kontainer terlihat di haluan KM Awu. Kontainer itu juga berfungsi sebagai lemari pendingin.

Di dekatnya, terlihat beberapa motor yang dibingkai dengan kotak kayu. Mereka tersusun rapi bersama sejumlah barang lain di haluan kapal.

Nakhoda KM Awu, Kapten Erivaldi RZ mengatakan, motor-motor itu rata-rata dibawa penumpang dari Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat.

Kotawaringin Barat, kata dia, merupakan salah tujuan masyarakat NTT untuk bekerja. Biasanya, mereka bekerja di ladang sawit.

"Kita sengaja pasangkan kayu seperti kotak itu biar kelihatan dimensinya," kata Eri saat berbincang di anjungan kapal.

Erivaldi sering melihat penumpang membawa motor dengan KM Awu. Motor-motor itu nantinya dipakai untuk beraktivitas selama di NTT.

Ada juga penumpang yang sengaja membawa motor untuk ditinggalkan di kampung halaman.

Pelayaran rute Pelabuhan Kumai-Pelabuhan Kalabahi kali itu sudah mulai terasa ramai. Masyarakat NTT dari sejumlah wilayah sudah mulai pulang untuk persiapan Natal.

Namun, Eri menyebutkan, penumpang paling banyak naik dari Pelabuhan Benoa, Bali. Ia tidak menyebut angka pasti, tetapi jumlah penumpang yang tersisa pada perjalanan Waingapu-Kalabahi itu sekitar 900 orang.

Setelah menempuh sekitar delapan jam perjalanan dari Pelabuhan Waingapu, KM Awu tiba di Kabupaten Ende.

Kapal itu bersandar sekitar dua jam untuk melakukan aktivitas bongkar muat barang dan penumpang.

Sejumlah penumpang dengan tujuan Kabupaten Ende terlihat mulai sibuk mengumpulkan barang bawaan mereka. Mereka lalu mengantre turun kapal. Beberapa di antaranya telah ditunggu keluarga di dermaga.

Di antara penumpang terlihat Mama Lamalen menggendong dan memegangi anaknya. Setelah lima hari di laut, ia akhirnya tiba di kampung halaman.

Setelah dua jam sandar di Pelabuhan Ende, KM Awu bertolak menuju Pelabuhan Tenau, Kupang. Perjalanan itu memakan waktu sekitar sembilan jam.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/20/094203778/pelayaran-km-awu-pengabdian-demi-konektivitas-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke