Salin Artikel

Sejarah Panjang Tengkleng Khas Solo, Lahir dari Masa Kelam di Masa Penjajahan Jepang

Banyak warganet yang mengeluhkan harga di warung tersebut sangat mahal dan tak sesuai dengan harga yang tertera. Bahkan ada yang menyebut harus mengeluarkan Rp 150.000 untuk dua porsi tengkleng.

Padahal di spanduk yang dipasang di depan warung, disebutkan harga tengkleng porsi kecil Rp 15.000 dan porsi besar seharga Rp 30.000.

Harsi (60), pemilik warung mengaku tak membuat daftar harga lengkap karena tak bisa baca dan tulis.

Selain itu ia tak memberi tahu kepada pelanggan jika harga porsi jumbo komplet Rp 150.000.

"Kalau pengunjung mintanya kepala komplet, ya harganya memang Rp 150.000" kata dia, Senin (6/12/2021).

Sajian khas dari kambing ini populer di Solo, Jawa Tengah.

Kebanyakan tengkleng dimasak tanpa santan, namun ada juga yang membubuhkan sedikit santan saat memasak.

Jika gulai bernuansa Arab dan India, tengkleng lebih bernuansa Jawa. Tengkleng umumnya dibuat dari tetelan kambing seperti iga, kaki dan seluruh bagian kepala.

Sementara dagingnya biasanya dipakai bahan sate, sementara jeroan dan sebagian daging yang berlemak digunakan untuk gulai.

Bondan menyebut, karena tengkleng semakin digemarin masyarakat kelas atas, maka mulai tampil tengkelng yang isinya dari bagian-bagian kambing yang lebih berdaging.

Bahkan menurutnya, salah satu warung tengkleng di Solo, tengklengnya disajikan seperti sop kaki kambing do Jakarta -otak, lidah, pipi, mata, kuping, jeroan, daging dan kaki- tapi dengan kuah tengkleng.

Heri Priyatmoko sejarawan asal Solo sekaligus Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma menjelaskan di masa penjajahan Jepang, rakyat Solo hidup sengsara.

Karena bahan pangan yang menipis, kaum kecil terpaksa mengolah apapun menjadi santapan agar tak kelaparan.

Mereka pun mengolah limbah pangan termasuk limbah kambing seperti tulang dan jeroan kambing

Kala itu, tulang dan jeroan hewan tak dimanfaatkan oleh orang dengan ekonomi tinggi.

Hanya berbekal limbah kambing seperti tulang belulang dan jeroan dari kambing, mau tak mau masyarakat Solo mengolah sajian tersebut untuk mengisi perut.

Bagian daging kambing pada masa itu, dihidangkan untuk para tuan dan nyonya orang Belanda serta para priyayi.

Sedangkan limbah pangan itu dimasak dengan bumbu khas yang cukup rumit.

Secara umum daftar resepnya adalah kelapa, jahe, kunyit, serai, daun jeruk segar, lengkuas, kayu manis, daun salam, cengkeh kering, bawang putih, bawang merah, garam dapur, kemiri, dan pala.

Menurutnya di masa lalu, masyarakat kebawah terbuat dari gebreng (semacam seng). Sehingga saat tulang itu diletakkan akan menimbulkan suara yang nyaring.

Biasanya tengkleng dinikmati dengan cara dibrakoti atau dikrikiti (bahasa Solo), artinya digigit bagian tulang sampai tak tersisa daging yang menempel.

Hal itu dilakukan katena tulang yang dimasak masih memiliki daging, otot, lemak hingga tulang muda.

Bagian itu yang sering kali diincar saat menikmati tengkleng. Tak hanya sensasi mem-brakoti tulang kambing saja.

Sensasi makan tengkleng semakin nikmat saat menghisap secara sedikit demi sedikit sumsum yang ada di tulang kambing.

Selain itu, makan tengkleng semakin sedap saat mulai melepaskan serta mengigit perlahan sisa daging yang melekat di tulang.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Yana Gabriella Wijaya | Editor : Yuharrani Aisyah)

https://regional.kompas.com/read/2021/12/07/180100378/sejarah-panjang-tengkleng-khas-solo-lahir-dari-masa-kelam-di-masa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke