Salin Artikel

Harapan 3 Kakak Adik Siswa SD di Tarakan Penganut Saksi Yehuwa: Kami Ingin Naik Kelas

TARAKAN, KOMPAS.com – Tiga murid SDN 051 Tarakan Kalimantan Utara, penganut Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama 3 tahun berturut-turut, mengutarakan keinginannya saat mendapat kunjungan tim dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (KemendikbudRistek) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Dalam kunjungan ke rumah kakak adik tersebut, Senin (22/11/2021), ketiganya mengungkapkan sebuah keinginan cukup sederhana setelah mendapatkan dugaan perlakuan intoleran dari pihak sekolah.

‘’Ketika tim bertanya apa harapan atau keinginan ketiga anak, mereka menjawab 'Hanya ingin naik kelas'. Saat ditanya apa lagi harapannya? Jawabannya kurang lebih sama, hanya ingin naik kelas. Ketiganya juga ingin tetap bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan,’’ ujar Komisioner KPAI dan penanggung jawab Tim Gabungan Itjend Kemendikbud Ristek, Retno Listyarti, melalui pesan yang dikirim ke Kompas.com, Sabtu (27/11/2021).

Retno juga mendapat pengakuan bahwa ketiganya menyatakan kehilangan semangat belajar, apabila nantinya tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya.

Selain itu, upaya mediasi yang dilakukan tim masih belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Dari sejumlah kunjungan baik ke sekolah SDN 051 Tarakan, sampai menggelar Focus Group Discussion (FGD), stakeholder di Kota Tarakan belum memberikan solusi terbaik yang mengedepankan kepentingan si anak.

Dari sekian banyak stakeholder yang berkaitan dengan masalah ini, hanya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Tarakan yang patut diapresiasi.

‘’Mereka telah melakukan pendampingan psikologis dengan ketiga anak korban dan orangtuanya. Bahkan anak-anak sudah mendapatkan terapi psikologi sebanyak 4 kali dari psikolog Himpsi Tarakan yang bekerja sama dengan Dinas PPPA. Selama ini, anak-anak selalu diantar jemput oleh Dinas PPPA saat harus menjalani sesi terapi psikologi,’’kata Retno.

Sejumlah usulan yang ditawarkan sebagai solusi dalam FGD yang digelar Rabu (24/11/2021) di Balai Kota Tarakan, juga sangat tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.

Usulan tersebut di antaranya, kenaikan kelas bisa dilakukan jika ada surat rekomendasi dari Itjen Kemendikbudristek yang memerintahkan agar sekolah menaikkan kelas ketiga anak korban.

Padahal, kenaikan kelas merupakan kewenangan sekolah dan dewan guru.

Itjen Kemendikbudristek dan KPAI tidak memiliki kewenangan menentukan naik kelas atau tidaknya peserta didik.

Selain itu, usulan kenaikan kelas justru dikemukakan sendiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan saat tim gabungan melakukan pengawasan ke SDN 051 Tarakan.

Usulan kedua, kenaikan kelas dapat dilakukan dengan syarat tertentu, di antaranya mencabut gugatan.

Padahal, pencabutan gugatan maupun rencana remedial untuk kenaikan kelas dapat dilakukan pihak sekolah dengan duduk bareng bersama pihak orangtua peserta didik.

"Dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan persfektif perlindungan anak,’’urainya.

Dan usulan ketiga, datang dari perwakilan Inspektorat Tarakan yang menyatakan bahwa akar masalahnya adalah di keputusan Kementerian Agama yang memasukan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen.

Inspektorat mengusulkan agar Kemendikbudristek dan KPAI bersurat kepada Kementerian Agama untuk mencabut keputusan tersebut.

Jika ingin Saksi Yehuwa diakomodir, maka diminta Kemendikbud dan KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi Negara yang ke-7.

Padahal, kata Retno, semua usulan tersebut, jelas bukan kewenangan Kemendikbud maupun KPAI.

Retno menegaskan, usulan inipun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak adik yang tidak naik kelas 3 kali, sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.

‘’Apakah jika ketentuan memasukkan Saksi Yehuwa dalam pendidikan Agama Kristen tidak diubah oleh Kementerian Agama, maka ketiga kakak beradik ini akan terus tidak naik kelas lantaran nilai pendidikan agamanya akan selalu bermasalah?" kata Retno.

Apakah diskriminasi atas dasar agama minoritas ini akan dilanggengkan terus di negeri Pancasila yang sangat majemuk ini? Padahal, anak-anak belum bisa memilih agama baginya, anak pasti mengikuti agama orangtuanya? Sejatinya para pihak dalam mengambil keputusan harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi ketiganya anak demi masa depan mereka yang masih panjang,’’kata Retno lagi.

Sebelumnya diberitakan, Tim KPAI bersama Itjen KemendibudRistek melakukan kunjungan ke Kota Tarakan untuk mencoba penyelesaian kasus dugaan intoleran sekolah SDN 051 Tarakan terhadap 3 muridnya yang tidak naik kelas selama 3 tahun berturut turut akibat agama yang mereka anut. Ketiganya penganut Saksi Yehuwa.

Ketiga kakak adik tersebut bernama M (14) kelas 5 SD, Y (13) kelas 4 SD, dan YT (11) kelas 2 SD.

Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019, lalu tahun ajaran 2019/2020, dan tahun ajaran 2020/2021.

Menurut informasi yang diterima tim pemantau dari pihak keluarga dan kuasa hukum, ketiga anak korban pindah agama pada tahun 2018 dari Kristen Protestan ke Saksi Yehuwa.

Secara kebetulan, tidak naik kelas pertama adalah pada tahun ajaran 2018/2019, ketiga anak sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan lamanya.

Alasan tidak naik pertama adalah absensi tidak memenuhi syarat, ada sekitar 90 hari, ketiga anak dianggap tidak hadir tanpa keterangan, padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama 3 bulan.

“Keputusan Pengadilan TUN memenangkan gugatan atas nama ketiga anak tersebut, keputusan PTUN dalam kasus tidak naik kelas yang pertama kali ini sudah inkracht,’’ujar Retno.

Sedangkan keputusan tidak naik kelas yang kedua kalinya, adalah pada tahun ajaran 2019/2020.

Nilai agama ketiga anak, nol atau tidak ada nilainya. Hal ini disebabkan ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama.

Sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa, padahal Saksi Yehuwa oleh Kementerian Agama dimasukkan dalam bagian pendidikan Agama Kristen.

Seharusnya, kata Retno, ketiga anak berhak mendapatkan pendidikan Agama Kristen di sekolahnya.

“Keputusan Pengadilan TUN pada tingkat pertama dimenangkan oleh ketiga anak tersebut, namun Dinas Pendidikan Kota Tarakan banding dan memenangkan pengadilan banding. Pihak penggugat kemudian melakukan kasasi dan keputusan kasasi belum ada. Artinya belum inkracht hingga November 2021,” ungkap Retno.

Adapun kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya terjadi pada tahun ajaran 2020/2021.

Nilai agama yang tidak tuntas menjadi faktor tersebut, sedangkan nilai semua mata pelajaran yang lain sangat bagus.

Ketiga anak mengaku mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kristen di sekolahnya. Selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan, termasuk ulangan atau ujiannya.

Bahkan, nilai-nilai pengetahuannya selalu tinggi nilainya. Namun, saat nilai praktik, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya.

“Kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya juga digugat ke Pengadilan TUN, pengajuan perkara baru dilakukan pada Oktober 2021. Saat ini masih dalam proses persidangan,’’ ungkap Retno.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/27/091343178/harapan-3-kakak-adik-siswa-sd-di-tarakan-penganut-saksi-yehuwa-kami-ingin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke