Salin Artikel

4 Peninggalan Kerajaan Majapahit di Kediri, Ada Candi dan Prasasti

KEDIRI, KOMPAS.com - Peninggalan Kerajaan Majapahit tersebar di sejumlah daerah, salah satunya di Kediri, Jawa Timur.

Ada yang berbentuk candi ada pula yang berupa prasasti.

Berikut ini adalah sejumlah peninggalan salah satu kerajaan terbesar yang pernah berkuasa di Tanah Air itu.

Candi Tegowangi ini berada di Dusun Candirejo, Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Candi ini dibangun abad 14 pada era Kerajaan Majapahit.

Kepala Seksi Museum dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priatno mengatakan, Candi Tegowangi merupakan tempat pendharmaan Bhre Matahun yang bernama Sri Rajasanagara yang meninggal pada tahun 1388 Masehi.

Pembangunan candinya dilakukan setelah 12 tahun sejak meninggalnya Bhre Matahun.

Ritual berupa upacara Sradha mengawali pembangunannya.

Secara fisik, bentuk candi tersebut bujur sangkar dengan ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 meter.

Konstruksinya terdiri dari sebuah bangunan induk serta sebuah candi perwara.

Saat ini kondisi candi tersebut sudah tidak utuh lagi. Hanya tersisa beberapa bagian, yakni bagian kaki dan tubuh saja.

Bahan baku utama yang dipakai membangun candi adalah batu andesit.

Jenis batuan ini cukup melimpah di wilayah Kediri. Adapun orientasi arah candi menghadap ke barat.

Pada dinding-dindingnya dihiasi sebaran ornamen pahatan relief cerita Sudhamala sebanyak 14 panel.

Yakni pada dinding utara 3 panel, dinding barat 8 panel, dinding selatan 3 panel. Sedangkan panel-panel dinding utara dan barat laut nampak belum selesai dikerjakan.

"Relief ini bercerita tentang ruwatan penyucian Durga (Dewi Uma) oleh Sadewa (si bungsu Pandawa)," ujar Eko Priatno di Kediri, Selasa (29/6/2021).

Bagian kaki candi memiliki pelipit bermotif, sedangkan di atas pelipit terdapat bagian sisi genta (ojief) yang berhias pola tumpal.

Pada setiap sisi kaki candi terdapat tiga panel tegak yang dilengkapi ragam hias Ghana (raksasa kerdil) berposisi jongkok dengan kedua tangannya terangkat ke atas.

"Raksasa kerdil ini digambarkan seperti sedang mendukung atau menopang bangunan candi," ujar dia.

Pada bagian tubuh candi, tiap sisinya terdapat pilaster yang menghubungkan kaki dan tubuh candi.

Bagian tubuh candi dihiasi dengan pola hias padma atau teratai.

Eko menambahkan, masa pembangunan Candi Tegowangi ini bersamaan dengan pembangunan Candi Surowono di Desa Canggu, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri, yang bertujuan untuk pendharmaan Bhre Wengker.

Dari situ menurutnya ada sebuah pertautan yang cukup menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.

Yakni adanya dua tokoh besar Kerajaan Majapahit yang meninggal dalam waktu bersamaan.

"Kenapa? Ini menarik untuk dikaji," ujar dia.

Peninggalan Majapahit yang juga ada di Kediri adalah Candi Surowono.

Lokasinya berada sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Kediri, tepatnya di Desa Canggu, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Candi berlatar belakang agama Hindu abad 14 itu mempunyai ukuran 8x8 meter persegi dengan tinggi 5 meter.

Keseluruhan bahannya menggunakan batu andesit. Orientasi bangunan menghadap barat.

Pada dinding tubuh candi terdapat ornamen pahatan relief yang menggambarkan beberapa cerita.

Relief cerita Arjunawiwaha pada panel utama candi, cerita Bubhuksah-gagangaking berada pada dinding sudut timur, serta cerita Sri Tanjung pada sudut barat daya.

Relief juga menghiasi kaki-kaki candi. Pada titik ini terdapat pahatan yang menggambarkan cerita Tantri, atau cerita dunia binatang.

Terdapat juga ragam hias pada sudut kaki candi. Yakni berupa Ghana (raksasa kerdil) dengan posisi jongkok di mana kedua tangannya terangkat ke atas, seolah-olah menjunjung bangunan candi.

Kepala Seksi Museum dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priatno mengatakan, fungsi Candi Surowono merupakan tempat pendharmaan Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa yang meninggal pada tahun 1388 masehi.

"Sebagaimana diceritakan dalam kitab Negarakrtagama," ujar Eko, di Kediri, Selasa (29/6/2021).

Bhre Wengker, kata Eko, adalah salah satu kerabat Hayam Wuruk yang bertahta sebagai raja vasal di daerah Wengker.

Saat ini, daerah itu masuk wilayah antara Madiun-Ponorogo.

Adapun pembangunan candi itu sendiri, lanjut dia, dilakukan setelah 12 tahun dari masa kematian Bhre Wengker.

Sebuah ritual yang disebut Upacara Sradha menyertai pembangunannya.

"Wijayarajasa yang didharmakan pada candi ini kemungkinan adalah orang yang sama dengan orang yang menerbitkan Prasasti Kusmala." ujar dia.

Peninggalan Kerajaan Majapahit lain di Kediri, Jawa Timur, adalah Prasasti Kusmala.

Prasasti ini penanda selesainya pembangunan suatu dawuhan atau waduk wilayah Kusmala yang ada di sekitar kaki Gunung Kelud.

Secara fisik, bahan prasasti itu terbuat dari batu andesit utuh dengan tinggi 122 sentimeter, lebar 68 sentimeter, serta ketebalan 21 sentimeter.

Pada bagian muka terdapat deretan panjang pahatan tulisan aksara dan bahasa Jawa kuno dan juga terdapat simbol lonceng genta bermotif bunga teratai.

Benda purbakala tersebut dulunya ditemukan di wilayah Kecamatan Kandangan yang ada di Kabupaten Kediri.

Kini, disimpan di Museum Airlangga kawasan Goa Selomangleng, Kota Kediri, Jawa Timur. Teregistrasi dengan nomor: 134/kdr/96.

Kepala Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Kediri Endah Setyowati mengatakan, tidak ada catatan perihal sejarah penemuan prasasti itu sehingga tidak diketahui kapan dan siapa yang pertama kali menemukannya.

Menurutnya, sebelum ditempatkan di Museum Airlangga, prasasti itu dan termasuk beberapa benda purbakala lainnya berada di alun-alun.

Benda-benda itu sempat ditempatkan di museum di kawasan Tirtoyoso, hingga kemudian dialihkan ke Museum Airlangga.

"Karena di Tirtoyoso terlalu kecil museumnya, akhirnya dibuatlah museum Airlangga yang tempatnya di Goa Selomangleng," ujar Endah.

Endah menuturkan, Prasasti Kusmala sendiri bertarikh 1272 saka atau 1350 masehi.

Diterbitkan oleh Paduka Batara Matahun Sri Batara Wijayarajasananta Wiktamottunggadewa.

"Isinya untuk memperingati selesainya pembangunan Bendungan Kusmala. Dampak dari adanya bendungan itu menjadikan kemakmuran seluruh masyarakat di wilayah timur Kota Daha," ujar Endah, saat dihubungi, Senin (28/6/2021).

Sejarawan Novi Bahrul Munib dari komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri (PASAK), mengatakan, waduk itu dibuat oleh Sang Martabun yang bernama Rangga Sapu.

Dia diperintahkan oleh Paduka Batara Matahun Sri Batara Wijayarajasananta Wiktamottunggadewa selaku paman dari Raja Majapahit Hayam Wuruk.

Dari prasasti itu, kata Novi, bisa artikan betapa peradaban kuno sudah mempunyai kesadaran pentingnya pengendalian lingkungan, melalui pengelolaan sumberdaya air.

Sebab, air adalah unsur kehidupan yang cukup vital dan jika diatur dengan baik akan membawa kemakmuran pada kehidupan itu sendiri.

"Pada peradaban Jawa kuno di Kediri, air juga cukup vital sehingga banyak peninggalan raja-raja kuno perihal pengelolaan air ini. Terutama Kediri bagian timur," ujar Novi.

Wilayah Kediri bagian timur dikenal sebagai wilayah yang subur makmur karena tanah vulkanis juga karena pengairan yang cukup tertata dengan baik.

Namun, wilayah tersebut juga merupakan kawasan kaki Gunung Kelud, yang berpotensi terdampak ancaman banjir lahar akibat letusan gunung.

Sehingga pengendalian lingkungan itu tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pengairan saja, tetapi juga untuk pengurangan risiko bencana.

"Zaman kerajaan dulu terbukti sudah bisa mengendalikan lingkungan dengan cerdas dan kreatif," ujar sejarawan yang akrab dengan sapaan Novi BMW ini.

Agar air bisa mengalir jauh dibutuhkan saluran-saluran. Saluran itu berfungsi sebagai irigasi maupun drainase.

Irigasi sebagai pendistribusian air bagi lahan persawahan, drainase untuk kebutuhan rumah tangga hingga peribadatan.

Pada pembangunan instalasi keairan itu tergambar keilmuan dan teknologi yang mumpuni. Novi mencontohkan pada pembuatan Arung yakni saluran air bawah tanah atau terowongan.

"Di wilayah Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri ada arung. Jumlahnya mencapai 12 arung," kata dia.

Saluran bawah tanah itu solusi mengatasi kontur tanah yang berupa pegunungan. Perbedaan muka tanah akan mempengaruhi laju air menuju hilir.

Sehingga jika ada muka tanah yang tinggi, tentu akan sulit mengalir.

Pada kondisi itu peranan undagi pangarum diperlukan. Ini menurut Novi adalah profesi khusus pembuat terowongan air bawah tanah tersebut.

Profesi ini setidaknya menguasai ilmu matematika, ilmu geologi hingga ilmu fisika.

Sebab, untuk menggali terowongan berkedalaman 5-7 meter dengan panjang hingga 1 kilometer di bawah tanah, tentu membutuhkan keahlian khusus.

"Mereka membuat ventilasi di beberapa titik agar ketersediaan oksigen mencukupi, mengatur tingkat kemiringan terowongan agar air tetap bisa melaju, hingga teknik mengatasi jenis-jenis tanah saat menggali," ujar dia.

Prasasti Kusmala menurut Novi merupakan salah satu prasasti Majapahit yang mengapresiasi pengelolaan air.

Selain Majapahit, ada beberapa kerajaan sebelumnya yang juga memberikan prasasti untuk bidang yang sama.

Di antara prasasti itu adalah Prasasti Harinjing era Kerajaan Medang, Prasasti Paradah era Kerajaan Kediri, serta Prasasti Gneng II oleh Tribhuwana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit sendiri.

Dan menariknya, semua prasasti itu ditemukan di wilayah Kediri timur. Itu menurutnya menandakan bagaimana kerajaan memandang pentingnya pengelolaan air yang ada di wilayah itu.

Sehingga wilayah Kediri timur menjadi wilayah yang cukup diperhitungkan dalam hal lumbung penyediaan makanan hingga keahlian masyarakatnya yang mampu merekayasa dan menjaga agar wilayah timur senantiasa subur.

Peninggalan teknologi maupun dampak dari teknologi itu menurut Novi masih bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat masa kini.

Peninggalan Kerajaan Majapahit di Kediri, Jawa Timur, yang tidak kalah penting adalah Prasasti Gneng II yang merupakan warisan purbakala dari Raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi.

Prasasti yang juga disebut Prasasti Brumbung ini terbuat dari batu andesit dengan tampilan fisik berbentuk akolade (bentuk kurung kurawal). Tingginya 145 sentimeter, lebar 61 sentimeter, serta tebal 23 sentimeter.

Pada bagian ujung akolade terdapat pahatan simbol lencana berbentuk matahari atau Suryalencana.

Bentuknya matahari bersudut delapan pada lingkaran di tengahnya tergambar dewa-dewa.

Suryalencana atau juga dikenal dengan Surya Majapahit tersebut adalah lambang kenegaraan Kerajaan Majapahit.

Pada prasasti bertarikh 1251 saka atau 1329 masehi tersebut terdapat 49 baris pahatan tulisan menggunakan aksara dan bahasa Jawa kuno.

Kepala Seksi Museum dan Purbakala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri Eko Priatno mengatakan, prasasti Gneng II merupakan prasasti yang berasal dari masa Majapahit.

"Dikeluarkan oleh Rani Tribhuwana Tunggadewi yang memiliki nama gelar penobatan “Sri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani”," ujar Eko Priatno, di Kediri, Selasa (29/6/2021).

Tribhuwana sendiri, kata Eko, adalah seorang pemimpin perempuan dari Kerajaan Majapahit.

Beliau merupakan ibunda dari Hayam Wuruk, yang ke depannya menjadi Raja Majapahit masyhur.

Secara umum adanya prasasti tersebut, kata Eko, merupakan pemberian anugerah berupa tanah pardikan dari penguasa atas suatu prestasi luar biasa yang diraih masyarakat Desa Gneng.

"Konsekuensi dari anugerah itu di antaranya adalah desa harus merawat tempat sucinya," ujar Eko.

Prasasti Gneng II tersebut, lanjut Eko, mempunyai keterkaitan dengan Petirtaan Gneng yang baru saja ditemukan pada medio 2020 yang lalu.

Lokasi penemuannya juga sama, yakni berada di sawah watu tulis Dusun Kebonagung, Desa Brumbung, Kecamatan Kepung.

Petirtaan Gneng ini sempat terkubur tanah sedalam 3 meter dan dari ekskavasi diketahui mempunyai ukuran luas 5,2 meter x 5,2 meter dengan kedalaman kolam sekitar 2 meter.

Pertautan yang paling kentara, kata Eko, adalah adanya kesamaan simbolis pada kedua temuan itu.

"Prasasti Gneng II dikeluarkan oleh Rani Tribhuwana Tunggadewi dan Petirtaan Gneng terdapat simbol Palang Tribhuwana," ungkap Eko.

Sejarawan Novi Bahrul Munib mengatakan, prasasti Gneng II adalah perihal anugerah sima kepada masyarakat Desa Gneng yang ada di Watak Paradah.

Watak ini menurutnya bagian dari suatu bentuk wilayah administrasi pemerintahan pada era kerajaan.

Hanya saja, perihal tujuan spesifik dibuatnya prasasti tersebut, menurutnya, hingga saat ini belum diketahui pasti karena masih membutuhkan penelitian menyeluruh.

"Permasalahannya, prasasti ini belum dibaca keseluruhan. Jadi alasan utama kenapa raja memberi anugerah belum jelas," ujar Novi yang juga ketua Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri (PASAK) ini.

Namun, jika dikaitkan dengan 7 piagam lainnya yang juga ditemukan di sekitar wilayah Kediri bagian timur itu, termasuk temuan 12 arung/terowongan air bawah tanah, maka menurutnya, keberadaan Desa Gneng yang ada di wilayah Kediri timur dengan segala prestasinya itu memang sangat diperhitungkan.

"Posisi Gneng sebagai lumbung pangan sangat penting bagi pusat kerajaan." kata pria dengan sapaan akrab Novi BMW ini.

Kerajaan-kerajaan kuno mempunyai perhatian yang besar terhadap keberadaan sumberdaya air.

Sumberdaya ini dikelola sedemikian rupa demi kemaslahatan dan kemakmuran kerajaan dan masyarakatnya.

Pengelolaan itu juga bertujuan untuk pengendalian lingkungan dari ancaman bencana hidrologi, misalnya akibat aliran lahar letusan Gunung Kelud.

Prasasti Gneng II saat ini disimpan di Balai Desa Brumbung di Kecamatan Kepung.

Di tempat ini juga ada beberapa koleksi purbakala lainnya dalam bentuk artefak, salah satunya adalah Prasasti Gneng I.

Meskipun sama-sama sama bernama Prasasti Gneng, Prasasti Gneng I ini bukan merupakan produk peradaban dari era Majapahit, melainkan terbitan dari Kerajaan Kadhiri dengan rajanya Raja Bameswara.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/27/050700878/4-peninggalan-kerajaan-majapahit-di-kediri-ada-candi-dan-prasasti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke