Salin Artikel

Gaduh soal Kader "Celeng dan Bebek" di PDI-P, Pengamat: Harus Saling Tahan Diri

SEMARANG, KOMPAS.com - Pengamat politik Undip Semarang, Teguh Yuwono berpendapat, munculnya istilah kader 'celeng' dan 'bebek' di konflik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Jateng harus dimaknai sebagai proses dinamika pembelajaran politik.

"Jangan sampai PDI-P yang sudah besar punya calon yang sudah bagus, karena konflik internal kemudian menjadikan partai ini jadi sorotan yang tidak baik. Karena dianggap ini emosional," kata Teguh kepada wartawan, Selasa (12/10/2021).

Menurutnya, kedua belah pihak harus bisa menahan diri agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.

Sebab, hal itu akan berpengaruh terhadap perkembangan politik dan demokrasi di internal partai.

"Saya kira PDI-P partai besar dan dewasa. Pengaruh positifnya memperkuat soliditas parpol. Memperkuat ikatan parpol. Bisa juga sisi negatifnya kontra produktif dengan PDI-P. Kalau begitu demokrasi dan kebebasan berpendapat di PDI-P belum dikembangkan," ucap Teguh.

Kendati demikian, Teguh mengatakan, PDI-P memiliki budaya politik sendiri, yakni seluruh proses yang berhubungan kepemimpinan nasional adalah hak prerogatif Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

"Kalau bagian dari partai ya harus loyal. Kalau menurut saya biar proses politik berlangsung. Tidak perlu lakukan penghakiman politik bahwa ini sesuatu yang salah atau benar. Kalau sudah di partai ya hormati AD/RT," tuturnya.

Terlebih, dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri juga sudah meminta agar kadernya tetap dalam satu barisan.

"Saya sudah baca statemen Bu Mega semua kader partai diminta berhenti bicara soal capres agar ditaati kader partai. Ini kan imbauan internal. Jadi harus saling tahan diri," ungkap Teguh.

Menurutnya, berbicara terkait capres menuju 2024 memang masih jauh.

Namun, jika melihat perkembangan politik Indonesia menuju 2024, sebetulnya berpikir dalam konteks pembangunan demokrasi.

"Ada proses aspirasi masyarakat, ada dinamika naik turun dari calon pemimpin nasional dari berbagai macam profesi," tuturnya.

Teguh juga berpandangan bahwa tidak semua memahami dalam konteks pembangunan politik.

"Masih ada yang berfikir ini masih jauh, masih lama dibicarakan, sehingga dalam politik Jawa jelas ya orang ketika presiden masih meger-meger (masih ada), bicara pengganti itu sesuatu yang saru, sesuatu yang tabu, pamali. Oleh karena itu, diperlukan proses politik yang intensif berkomunikasi," katanya.

Teguh berharap, konflik internal yang belum selesai tidak sampai keluar dari partai.

Sebab, konflik internal partai juga akan berpengaruh terhadap para simpatisan PDI-P hingga proses pemilihan.

"Konflik itu pasti akan berpengaruh bukan ke loyalis PDIP tapi yang floating mass. Mungkin yang simpatisan seperti simpatisan Bu Mega dan Pak Jokowi. Akan jadi pertimbangan ketika dilakukan pemilihan," pungkasnya.

Sekadar diketahui, konflik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Jawa Tengah mencuat saat munculnya ungkapan dari Ketua DPD PDI-P Jateng, Bambang Wuryanto yang menyebut kader di luar barisan bukan banteng tetapi celeng.

Pepatah itu terlontar menyusul Wakil Ketua DPC PDIP Purworejo Albertus Sumbogo yang mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024, dan dianggap mendahului Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Bahkan, Ketua DPC Seknas Ganjar Indonesia (SGI) Purworejo ini balik menyindir kepemimpinan Bambang Pacul justru melahirkan kader bermental bebek dan babu.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/13/060000778/gaduh-soal-kader-celeng-dan-bebek-di-pdi-p-pengamat-harus-saling-tahan-diri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke