Salin Artikel

Tangis Nur Rohim, Juru Kunci Makam Bung Karno yang hingga Kini Masih Lumpuh Usai Divaksin, Ini Penjelasan Dinkes

Juru kunci makam Bung Karno tersebut tergolek lemah di tempat tidur rumahnya di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Tubuhnya kurus dengan tulang yang terlihat menonjol.

Lidahnya kelu, tidak lagi mampu berbicara karena terpaan kesedihan.

Pria 44 tahun itu kemudian menggerak-gerakkan kedua lengannya, bermaksud menunjukkan kemajuan yang dialaminya.

Setidaknya, tiga kali Rohim menyeka air matanya ketika berbincang dengan Kompas.com.

Nur Rohim mengatakan, kondisi ini sudah dialaminya kurang lebih setengah tahun lamanya.

"Sudah lima bulan saya tidak ke makam Bung Karno," ujar Rohim.

Sang istri, Munifatul Khotimah, kemudian menasihatinya agar sementara tidak memikirkan pekerjaan dan fokus pada upaya penyembuhan.

"Apakah pemerintah tidak bisa tanggung jawab?" lanjut Nur Rohim sembari menolehkan wajah kepada Kompas.com. 

Nur Rohim memang sudah hampir lima bulan hanya menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur.

Setelah dua kali menjalani perawatan di RSUD Mardhi Waluyo Blitar pada pertengahan April lalu, Nur Rohim sama sekali tak mampu menggerakkan kaki dan tangannya.

Sebelumnya, ayah dari tiga anak itu mendapatkan suntikan vaksin Sinovac dosis pertama pada awal Maret, dilanjutkan dosis kedua pada pertengahan Maret.

Sekitar sembilan hari kemudian, Rohim mulai merasakan kondisi tubuhnya semakin turun setelah didahului sejumlah gejala seperti merasakan gatal di sekujur tubuhnya.

Ketika gejala-gejala kesakitan semakin parah, misalnya nyeri dan kaku pada persendian dan otot, keluarga membawanya ke rumah sakit dan menjalani rawat inap sebanyak dua kali.

Awal pekan kedua Mei, keluarga kembali membawanya ke RSUD Mardhi Waluyo setelah didorong oleh Dinas Kesehatan Kota Blitar yang mulai menyadari adanya kemungkinan kasus KIPI pada Nur Rohim.

"Diagnosis rumah sakit waktu itu, katanya suami saya terserang penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit saraf," kata Khotimah.

Dia mencontohkan, suaminya tidak mengalami kesulitan bernapas ataupun kesulitan mengunyah dan menelan makanan.

"Dan Alhamdulillah sejak sebulan lalu sudah mulai ada kemajuan terutama pikiran dan ingatannya sudah pulih," ujarnya.

Selain itu, kata Khotimah, suaminya juga sudah mulai bisa menggerakkan lengan dan jari jemarinya.

Penjelasan Dinas Kesehatan

Ditemui terpisah, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan Kota Blitar, Didik Jumianto mengatakan, komisi daerah yang menangani kasus kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) telah menyimpulkan apa yang dialami Nur Rohim sebagai KIPI.

"Saya lupa kapan (diputuskan) tapi memang kasus KIPI," ujar Didik kepada Kompas.com, Rabu (25/8/2021).

Namun Didik buru-buru menambahkan bahwa pengakuan sebagai kasus KIPI bukan berarti membenarkan bahwa suntikan vaksin Covid-19 dengan Sinovac yang menyebabkan kelumpuhan pada Nur Rohim.

Merujuk pada diagnosis yang disampaikan RSUD Mardhi Waluyo, Didik menyebutkan bahwa sudah ada potensi serangan ALS pada Nur Rohim sebelum menjalani vaksinasi.

Nur Rohim, kata Didik, memiliki gen yang diturunkan dari orangtua atau neneknya yang juga mengalami serangan ALS.

Ketika masuk "benda asing" berupa vaksin ke tubuh Nur Rohim, jelasnya, potensi serangan ALS ini kemudian muncul. Didik menyebutnya sebagai sebuah "coincidance" dari dua faktor tersebut.

"Bagaimana ya, memang agak sulit menjelaskannya. Tapi intinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa suntikan vaksin Sinovac itu mengakibatkan kelumpuhan. Perlu penelitian lebih mendalam lagi," ujarnya.

Dia menambahkan, vaksin Sinovac tidak bisa dituding begitu saja mengakibatkan kelumpuhan. Sebab, dari ribuan orang yang disuntik vaksin Sinovac hanya Nur Rohim yang mengalami kelumpuhan.

Didik menyebutkan, pihaknya segera mengambil langkah-langkah yang diatur dalam regulasi termasuk menjamin biaya pengobatan medisnya.

"Yang jelas kita sudah lakukan semua, sudah dilaporkan ke provinsi, dan seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah," ujarnya.

Namun Didik menambahkan, pembiayaan oleh pemerintah hanya diberikan jika Nur Rohim dan keluarga mengikuti petunjuk pengobatan medis yang direkomendasikan oleh Dinas Kesehatan dan fasilitas kesehatan terkait.

Pengobatan melalui cara-cara alternatif, ujarnya, tidak termasuk dalam kriteria biaya pengobatan yang dapat ditanggung pemerintah terkait KIPI.

"Misalnya, yang bersangkutan (Nur Rohim) harusnya menjalani fisioterapi dan kontrol ke rumah sakit, apakah itu dilakukan?" ujarnya.

Biaya pengobatan dari Rp 5 juta per bulan

Sejak Nur Rohim belum benar-benar lumpuh, dia dan keluarganya yakin kesakitan yang terjadi adalah akibat vaksinasi.

Setelah lumpuh kemudian divonis menderita ALS, keluarga tetap meyakini hal itu.

Termasuk setelah otoritas terkait menyimpulkan apa yang dialami Nur Rohim sebagai KIPI.

Tapi Nur Rohim maupun Khotimah sebenarnya juga menyadari bahwa kebijakan vaksinasi bertujuan baik dan merupakan solusi mengatasi pandemi Covid-19.

"Kami paham bahwa suami saya tidak mungkin menghindari vaksinasi karena tugasnya di makam," ujar Khotimah.

Dalam pandangan Khotimah, pemerintah seharusnya bersikap lebih proaktif membantu upaya kesembuhan suaminya yang sudah suka rela mengikuti program pemerintah.

Dia merasa, pemerintah tidak benar-benar hadir membantu upaya penyembuhan kecuali sekadar mengikuti prosedur medis yang dianjurkan rumah sakit, yaitu kontrol sepekan sekali dan menjalani fisioterapi sepekan dua kali.

"Kami terus terang tidak tega jika harus menaikturunkan suami saya ke mobil di rumah dan rumah sakit untuk kontrol dan fisioterapi. Dulu badannya tersenggol sedikit saja sudah kesakitan," ujar Khotimah.

"Apalagi situasi rumah sakit seperti sekarang. Suami saya juga tidak mau ke rumah sakit apalagi seminggu dua atau tiga kali," tambahnya.

Pihak keluarga, kata dia, akhirnya memutuskan untuk mengupayakan kesembuhan melalui cara-cara alternatif seperti terapi pijat saraf dan setrum listrik serta obat atau jamu herbal.

Menurut Khotimah, setelah sekitar sebulan meminum ramuan herbal yang dibeli dari seorang praktisi kesehatan tradisional di Blitar selatan, terjadi kemajuan pada kondisi kesehatan suaminya.

"Yang paling menggembirakan itu pulihnya pikiran dan ingatan. Sebelumnya seperti orang hilang ingatan. Namanya sendiri saja tidak ingat," ujar Khotimah.

Setiap dua pekan sekali, Khotimah membeli satu paket ramuan herbal berbentuk serbuk dalam dua amplop kertas seharga Rp 2,4 juta. Jadi dalam sebulan dibutuhkan Rp 4,8 juta.

Adapun terapi kejut listrik dan pijat saraf sebanyak sebulan sekali dengan biaya beberapa ratus ribu setiap kunjungan.

Ditambah kateter urin dan lain-lain, Khotimah harus mengeluarkan lebih dari Rp 5 juta untuk pengobatan suaminya.

"Bulan lalu saya jual sepeda motor untuk menambah biaya suami. Ini saya mulai tawarkan mobil tua kami," ujarnya menunjuk pada sebuah sedan merek Timor warna silver di samping rumahnya. 

https://regional.kompas.com/read/2021/08/26/153918478/tangis-nur-rohim-juru-kunci-makam-bung-karno-yang-hingga-kini-masih-lumpuh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke