Salin Artikel

Curhat Pengungsi Afghanistan di Batam, Mimpi Buruk dan Terbayang Wajah Keluarga

Seperti Muhammad Reza dan Muhammad Zia, dua warga Afghanistan yang mencari suaka di Batam, Kepulauan Riau, sejak 2014 lalu.

Sejak tiba di Batam bersama dengan beberapa pencari suaka lain, kedua pria tersebut berada dalam pengawasan penuh petugas Kementerian Hukum dan HAM, Imigrasi, dan tercatat sebagai pengungsi oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Hingga saat ini, mereka masih berada di gedung non-detensi di Jalan RE Martadinata, Sekupang, Batam, Kepri.

Saat dihubungi melalui telepon, kedua pengungsi ini awalnya enggan bercerita.

Namun, mereka akhirnya mau menceritakan bagaimana perasaan mereka saat mengetahui bahwa saat ini pasukan Taliban telah berkuasa penuh di negara asalnya.

Muhammad Zia merasa kecewa dengan Pemerintah Afganistan di bawah kepemimpinan Ashraf Ghani.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, ia mengatakan bahwa Pemerintah Afghanistan juga tidak peduli dengan nasib rakyatnya.

Tidak hanya presiden, seluruh pejabat negara Afghanistan itu malah kabur dengan membawa uang, beserta keluarga mereka.

“Sejak Taliban menyatakan berkuasa, saya selalu mengikuti pemberitaan. Saya selalu memikirkan keluarga yang masih ada di sana, dan saat ini pasti sulit keluar seperti saya, karena seluruh akses sudah dikuasai pasukan Taliban," kata Zia kepada Kompas.com, Senin (23/8/2021).

"Saya pastikan pemerintah tentunya tidak akan peduli dengan hal itu," tambah Zia.

Menurut Zia, saat mengetahui Taliban sudah menguasai pemerintahan, wajah adik-adik perempuannya selalu terbayang di kepala.

"Kabar mengenai Taliban berkuasa kini kembali menghantui tidur saya. Di mana beberapa malam terakhir, saya sering terbangun saat bermimpi pegang senjata," kata Zia.

Zia mengatakan, dalam situasi seperti sekarang, etnis Hazarah yang merupakan suku aslinya pasti menjadi pihak yang akan sangat dirugikan saat ini.

Zia khawatir dengan nasib ketiga adik perempuannya yang kini tengah memasuki masa perkuliahan.

Dia takut ketiga adiknya diperkosa, bahkan dibunuh oleh anggota Taliban.

"Orangtuaku sudah tua, jadi kemungkinan untuk disakiti Taliban itu kecil. Tetapi adik-adik perempuanku masih muda, aku khawatir akan nasib mereka, masa depan mereka. Mereka harusnya kuliah dan belajar, karena suatu saat akan menjadi orang besar. Harapan itu pupus selama Taliban ada di Afghanistan," ujar Zia.


Saat ini, akses komunikasi dengan keluarga yang masih bertahan di Afganistan sangat sulit.

Zia tidak bisa menghubungi adik-adiknya.

Dia menduga, adiknya telah kabur dari rumah, lantaran takut dipaksa bergabung dengan Taliban dan ikut berperang sejak kelompok itu menduduki Ibukota Kabul.

Menurut Zia, Taliban memang sering memaksa laki-laki di atas usia 15 tahun untuk angkat senjata melawan siapa pun yang dianggap musuh.

Zia sebelumnya bekerja sebagai relawan di sebuah klinik dalam program vaksinasi polio, saat perang antara Taliban dan Pemerintah mulai berkecamuk dan dibantu oleh Amerika Serikat.

Menurut dia, Taliban turut memburu orang-orang yang bekerja dengan pemerintah, termasuk para tenaga kesehatan.

Dia bahkan sempat menyaksikan beberapa rekan seprofesinya tewas di ujung senapan.

Saat itu Zia terpaksa membuang seluruh identitasnya sebagai relawan kesehatan.

Saat merasa nyawanya terancam, Zia memutuskan meninggalkan Afghanistan dan mencari suaka ke negara lain.

Zia berharap dapat membawa seluruh anggota keluarganya.

Hal senada juga dilontarkan oleh Muhammad Reza.

Reza mengakui bahwa kelompok bersenjata itu melanggar hak asasi manusia dan budaya.

Salah satunya, perempuan tidak diizinkan keluar rumah tanpa baju yang tertutup plus burkak.

Kaum perempuan juga dilarang mengakses pendidikan dan tidak dizinkan mengendarai kendaraan bermotor.

Sementara kaum laki-laki, menurut Reza, diwajibkan memelihara janggut.

"Pemerintah lebih baik dalam mengelola Afghanistan ketimbang Taliban. Pemerintah tidak pernah mengatur cara berpakaian kami. Kalau Taliban, laki-laki yang mau bermain sepak bola saja harus menutupi hampir seluruh kaki. Itu yang kami rasakan sejak Taliban ada pada 1990-an." kata Reza yang juga merupakan bagian dari etnis Hazara.


Salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Taliban, yakni tidak mentolerasnsi warga Afghanistan memeluk agama lain di luar Islam.

"Sebenarnya Taliban tidak punya masalah apa pun dengan warga di Afghanistan. Masalah yang mereka miliki adalah dengan Pemerintah Afghanistan dan kami sebagai warga biasa yang terkena dampaknya. Beberapa di antara kami juga dipaksa bergabung atau istilahnya dibai'at untuk bergabung dengan Taliban," kata Reza.

"Mereka ingin menjalakan pemerintahan dengan syariat Islam, lantaran mayoritas penduduknya merupakan muslim. Padahal, Indonesia juga (mayoritas Islam), tetapi tidak ada paksaan berlebihan di sini," kata Reza

Beberapa waktu lalu, Reza masih dapat berkomunikasi dengan keluarganya.

Namun, dalam dua hari terakhir, Reza tidak dapat menghubungi keluarganya di Afghanistan, lantaran tidak ada jaringan telekomunikasi di sana.

Reza yakin bahwa keluarganya sedang ketakutan.

Menurut dia, anggota Taliban akan memeriksa setiap telepon genggam milik warga untuk dilihat isi di dalamnya.

"Telepon genggam itu urusan pribadi, mustinya tidak mereka (Taliban) urusi. Saat ini saya berharap semua cepat berakhir, agar kami dapat kembali. Kalau masih begini situasinya, kami juga enggan untuk kembali," pungkas Reza.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/23/184944678/curhat-pengungsi-afghanistan-di-batam-mimpi-buruk-dan-terbayang-wajah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke