Salin Artikel

Ritual Barong Wae di Manggarai, Harmonisasi dengan Sang Pencipta, Alam, Leluhur, dan Roh Penjaga Mata Air

Ritual yang diadakan dari tahun ke tahun ini menjadi sebuah gambaran kehidupan masyarakat Manggarai di bumi Nusa Lale.

Dosen dan Peneliti Fakultas Filsasfat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Dr Fransiskus Borgias menjelaskan, kata barong berasal dari kata dasar baro yang artinya ialah melapor, memberitahukan.

Kata tersebut sekaligus bermakna melaporkan untuk mengundang atau mengajak datang ikut serta ambil bagian (berpartisipasi).

Menurut kamus Verheijen, barong memang secara khusus dipakai untuk menggambarkan ritual.

Seperti barong wae dan barong watu, yaitu mengundang batu-batu di kubur yang merupakan representasi dari arwah orang mati.

Wae artinya ialah mata air. Mata air atau wae dianggap sebagai hal penting bagi sebuah kampung atau yang disebut beo.

Mata air (mata wae) bagi orang Manggarai adalah salah satu dari beberapa elemen relasi dengan sebuah kampung (beo).

Kampung (beo) tempat hidup manusia harus membangun beberapa sayap relasinya.

Pertama, ada sayap relasi ke atau di dalam kampung antara penghuni kampung yang pada prinsipnya diatur menurut usia.

Hubungan kekeluargaan (wan koe etan tua, adik kakak dan orangtua) tidak bisa dan tidak boleh dibalik. 

Kedua, ada sayap relasi ke luar, yaitu antar kampung (beo), dan hal itu diatur di dalam jejaring relasi perkawinan, sehingga terbangun jejaring relasi penerima anak gadis dengan pemberi anak gadis (sistem anak wina dengan anak rona) dan seterusnya.

Ketiga, ada sayap relasil kebun untuk diolah (uma bate duat), yang diatur dalam prinsip kerja olah tanah dan pembibitan (weri wini, wuat wini) agar bisa menghasilkan makanan untuk hidup. Kebun (uma) itu harus dijaga dan dirawat demi hidup. 

Keempat, ada sayap relasi dengan sumber mata air untuk ditimba ( wae teku) dengan prinsip dasar menjaga agar sumber mata air (wae teku) itu tetap memancarkan air dengan deras dan lancar.

Maka tak heran, ada doa-doa dan ritual agar air berlimpah (mboas wae woang). Orang Manggarai percaya, mata air adalah hal yang sangat penting dan menjadi tempat tinggal roh di dunia.

Sebab, mata air dianggap sebagai salah satu sumber penopang kehidupan manusia.

Mereka meyakini, akan ada hal buruk yang terjadi jika hal itu tidak dilakukan, seperti mengeringnya sumber air yang bisa berujung pada kematian.

Sebagaimana mengundang tamu, orang Manggarai akan memberikan tempat khusus, bantal untuk bersandar hingga aneka makanan bagi roh penjaga mata air.

Walaupun tak kasatmata, namun mereka yakin, orang-orang tertentu bisa merasakan kehadiran para roh penjaga mata air.

"Menurut kesaksian dari seorang narasumber saya saat riset doktoral tahun 2013 dulu, biasanya tetamu barong ini tidak diajak ke dalam rumah tinggal melainkan diberi tempat khusus di halaman beo, dan tempat itu ditandai dengan janur (daun kelapa muda). Biasanya anak-anak tidak diperbolehkan main di tempat itu. Itu sebuah tabu. Dalam setiap acara doa atau makan, mereka juga diberi jatah," katanya.

"Jatah itu diberikan dengan cara di-hela, (sesajen) dari mana muncul kata helang (sesajen). Hela, itu ditebar di atas batu ceper datar. tidak usah banyak, yang penting ada semua komponen dari makanan dan hewan ritual yang dipotong. Jadi, harus ada nasi, sepotong daging, entah ekor sapi, atau pun sayap ayam, dan seterusnya-dan seterusnya. Semuanya ini dimaksudkan untuk menghormati mereka," lanjut Fransiskus.

Lima falsafah orang Manggarai

Leonardus Santosa, Pemerhati Budaya Manggarai dari Komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Kabupaten Manggarai Timur menjelaskan, ada lima falsafah orang Manggarai.

Kelima falsafah ini, pertama, mbaru bate kaeng (rumah tempat tinggal), kedua uma bate duat (kebun untuk diolah), ketiga wae bate teku (sumber mata air untuk ditimba).

Keempat, compang bate takung (tempat sesajen) dan kelima natas bate labar (halaman rumah untuk berinterasksi sosial, bermain).  Ini merupakan satu kesatuan yang tak pisahkan dalam hidup orang Manggarai.

"Prinsip hidup orang Manggarai tidak merasa utuh kalau tidak ada sumber mata air, tidak ada rumah, kebun, tempat mezbah, ruang berkomunikasi dengan alam semesta, Sang Pencipta, lulur, dan juga halaman rumah atau kampung," jelasnya.

Santosa menjelaskan, barong wae bermakna memulihkan hubungan manusia secara harmonis antara sumber kehidupan dengan alam semesta lewat air.

Ritual barong wae berpuncak pada ritual adat di rumah adat. Acara barong wae dilaksanakan oleh masyarakat adat seluruh kampung.

"Asal usul barong wae bersumber dari masyarakat adat. Pola pemukiman orang Manggarai harus memenuhi syarat utama harus ada sumber mata air. barong wae, budaya dan ritual adat itu satu, maka disebut orang Manggarai," jelasnya.

Santosa menambahkan,  Barong Wae masih dilaksanakan tiap tahun sebagai ungkapan syukur.

Membangun Manggarai, menurutnya, harus dilandasi lima falsafah. Falsafah boa (kuburan), beo bate ejor (kampung untuk kehidupan). Le paang bele atau ata paang bele, (leluhur berada di luar pintu masuk kampung) perkuburan di luar kampung. Wae (air) bagi orang Manggarai bisa dimaknai simbol pelepasan beban, dosa, duka.

"Disederhanakan. Biasanya orang Manggarai saat pulang melayat orang mati pasti mencuci tangan sebelum masuk ke rumah. Mencuci tangan sudah dilangsungkan sejak zaman lampau. Hamo limo, mencuci tangan. Bahkan saat pulang dari pemakaman, warga biasanya mandi di sungai dan atau mencuci tangan di pintu masuk rumah. Keluarga berduka sudah menyiapkan air di baskom atau ember," jelasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2021/08/18/145009878/ritual-barong-wae-di-manggarai-harmonisasi-dengan-sang-pencipta-alam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke