Salin Artikel

Lokasi Terpencil, Jadi Tantangan Pengembangan Produksi Migas di Natuna

Blok ini ditemukan pada tahun 1973 dan pada 2017 operator yang bertugas yakni Pertamina.

Kondisinya yang terletak di lokasi terpencil, serta berdekatan dengan perbatasan negara tetangga membuat blok migas ini memiliki aspek geopolitik jika akan dikembangkan.

Jarak dari blok migas ini ke pulau Sumatera juga jauh, mencapai 1.000 km. Padahal hasil CO2 pada blok migas ini bisa digunakan untuk lapangan-lapangan minyak di Sumatera.

Menurut Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, tantangan lain dari pengembangan blok migas di Natuna adalah kandungan Co2-nya yang tinggi.

Untuk dua tantangan itu, IATMI memberikan saran agar pengembangan blok Natuna ini dilakukan secara bertahap. Yakni, dengan produksi minyak dulu, baru pengembangan ke gas, yakni membangun kawasan industri penyerap.

Menurut dia, kawasan industri bisa dibangun di Pulau Natuna dan difokuskan pada industri yang bisa menyerap dan menggunakan CO2 seperti pabrik penghasil naphta, kerosine dan diesel, serta pabrik DME (Dimethyl Ether).

“Pengembangan industri ini bisa dilakukan secara bertahap yang tentunya akan diikuti dengan pengembangan lapangan gas yang juga dilakukan secara bertahap,” kata Hadi, melalui rilis ke Kompas.com, Jumat (13/8/2021).

Saat ini blok Natuna mempunyai kandungan gas yang sangat besar, yakni sebesar 222 Tcf initial gas-in-place (IGIP) yang membuatnya menjadi ladang gas terbesar di Asia Tenggara.

Sayangnya, kandungan gas yang besar tersebut kandungan CO2-nya sangat tinggi, yakni lebih dari 70 persen.


Menurut IATMI, kandungan CO2 di Natuna yang besar itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Dengan demikian, pemanfaatan CO2 di Natuna bisa menurunkan emisi karbon.

Ngurah Beni Setiawan, Ketua FGD Pengembangan Blok East Natuna mengatakan, ada sejumlha teknologi yang bisa digunakan untuk mengolah Co2 yang dihasilkan di Natuna.

"Misal, penggunaan supercritical CO2 sebagai working fluid pada pembangkit tenaga listrik. Serta pemanfaatan CO2 untuk EOR pada lapangan-lapangan minyak di Sumatera," ujar Beni.

Sementara Henricus Herwin, Vice President Technical Excellence & Coordination PT Pertamina Hulu Energi, Subholding Upstream Pertamina menyarankan cara lain.

"CO2 yang tidak terserap oleh industri dapat diinjeksikan kembali ke bawah tanah," katanya. Injeksi tersebut dengan menggunakan teknologi CCUS (Carbon Capture, Utilization and Storage) dan CCS (Carbon Caputre and Storage).

https://regional.kompas.com/read/2021/08/13/161202978/lokasi-terpencil-jadi-tantangan-pengembangan-produksi-migas-di-natuna

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke