Salin Artikel

Kisah Zasa, Gadis Difabel Asal NTT yang Berprestasi di Kancah Internasional

Gadis tuna rungu yang merupakan putri ketiga pasangan suami istri Ipda Bambang Mardianto dan Sarah Rinawati ini ternyata memiliki prestasi di bidang olahraga.

Bahkan dia telah mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional.

Kekurangan Zasa diketahui saat berusia 3 tahun

Orangtua baru menyadari kekurangan Zasa ketika gadis ini berusia tiga tahun.

Zasa sebenarnya tumbuh seperti anak balita lainnya.

Namun ia nampak cuek dan cenderung apatis saat diajak berkomunikasi, sehingga orang tua baru menyadari kekurangan Zasa ketika menginjak usia tiga tahun.

Memasuki usia empat tahun, Zasa pun mulai menjalani terapi pendengaran.

Ipda Bambang yang merupakan anggota Polri dan bertugas di Direktorat Polair Polda NTT mulai mencari berbagai upaya guna menyembuhkan anak gadisnya.

"Saya malah sering minta izin di kantor membawa Zasa ke Bali dan Jawa, untuk mencari pengobatan," ungkap Bambang yang didampingi Zasa, kepada sejumlah wartawan di Kupang, Senin (2/8/2021).

Bambang mengaku, dirinya bahkan rela antre membawa Zasa ke Ponari, bocah yang saat itu viral karena diyakini bisa menyembuhkan orang dengan batu 'ajaib' yang dicelupkan ke air.

Dia juga mencari berbagai pengobatan medis dan pengobatan alternatif membawa Zasa.

Zasa kecil juga diajak ke Ustad MT Haryono di Yogyakarta. Orangtuanya rela antre berhari-hari supaya Zasa mendapatkan pengobatan.

Selain itu, Bambang pernah membawa anak gadisnya ke kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Mapolda NTT untuk didoakan oleh pendeta Gilbert Lumoindong.

"Saya memang Muslim tapi saya coba membawa ke acara KKR dengan harapan bisa didoakan dan anak saya bisa sembuh," ungkap Bambang.

Bambang pun harus cuti kerja selama satu bulan demi pengobatan anak gadisnya di tempat praktik dokter Hembing.

Dari dokter Hembing, ia mendapat penjelasan kalau Zasa sebenarnya menderita tuna rungu yang berakibat ke tuna wicara.

Bambang dan sang istri, akhirnya rela dan pasrah serta ikhlas menerima takdir ini.

Mereka pun tak lelah mendampingi anak gadis mereka untuk diajari dan dirawat.


Dikenalkan dengan olahraga

Zasa tumbuh menjadi gadis yang sangat aktif.

Bambang kemudian mengikutisertakan Zasa ke berbagai kegiatan olahraga guna mengurangi keaktifan Zasa.

"Awalnya Zasa bawaannya emosional dan seperti anak yang super aktif, makanya kami siasati dengan mengikutkan Zasa ke berbagai kegiatan olahraga," kata dia.

Zasa pun mulai aktif di kegiatan renang, kempo dan olahraga lainnya.

Selain kegiatan ekstrakurikuler, Zasa juga disekolahkan di sekolah umum di SD Santa Maria Assumpta Kota Baru, Kota Kupang.

Namun jenjang SMP dan SMA dijalani di sekolah luar biasa (SLB) Kasih Kupang yang mendidik anak-anak berkebutuhan khusus.

Ikuti kejuaraan

Selama menjadi siswi SLB Kupang, Zasa menjadi atlet yang sering mengikuti beragam kejuaraan.

Ia pernah menjadi juara nasional pertandingan badminton dan sejumlah kejuaraan lain di berbagai cabang olahraga.

Tamat dari SLB Kasih Kupang, Bambang melanjutkan terapi bagi Zasa.

Zasa dikirim ke Jakarta. Selama tiga tahun, Zasa menjalani terapi dan latihan di sebuah lembaga milik Departemen Sosial.

"Biaya sekolah dan penginapan bukan menjadi alasan, asalkan Zasa bisa normal dan terbukti Zasa sudah bisa lancar berkomunikasi dan sudah tidak tergantung pada alat bantu dengar yang selama ini dipakai," ujarnya.


Menjadi kapten tim

Kepergian Zasa ke Jakarta rupanya membawa berkah. Ia bergabung dalam klub futsal bersama rekan lainnya yang juga penyandang disabilitas.

Zasa dan 14 orang rekannya kemudian terpilih mengikuti ajang 3rd Asia Pacific Deaf Futsal Championship 2019 di Thailand.

Dalam kejuaraan futsal tuli Asia Pasific yang diikuti puluhan negara 15-24 Februari ini, Zasa menjadi kapten tim Indonesia. Mereka menjadi juara III di bawah negara Jepang dan Thailand.

Sesuai ketentuan juara I-III akan mengikuti World Deal Futsal Championship di Swiss bulan November 2019 lalu, namun karena berbagai kendala dan pandemi Covid-19 maka ajang ini urung dilakukan.

Pulang dari kejuaraan di Thailand, Zasa tidak kebagian bonus dari Pemprov DKI Jakarta karena dari 14 anggota tim futsal tersebut, hanya Zasa yang tidak ber-KTP Jakarta.

Sehingga, bonus hanya diberikan kepada atlet yang ber KTP Jakarta. Namun Zasa tidak berkecil hati dan terus berlatih.

"Saya bangga bisa bertanding di tingkat internasional bersama tim futsal putri Indonesia walau dengan persiapan minim tapi kami bisa juara III," ujar Zasa.

Zasa mengaku, keikutsertaannya hanya kebetulan karena ia sedang menjalani pendidikan dan latihan di Jakarta dan terpilih menjadi kapten tim asal Jakarta yang mewakili Indonesia ke kejuaraan tingkat Asia Pasifik ini.

Ia masih berharap agar jadwal kejuaraan dunia tetap digelar karena ia ingin membuktikan kemampuannya memberi yang terbaik bagi bangsa dan negara walau tergolong sebagai anak berkebutuhan khusus.

"Ke Jakarta awalnya untuk terapi dan berobat tapi ternyata terpilih menjadi anggota tim untuk kejuaraan di Thailand," ujar Zasa yang sangat hobby dengan olahraga renang, kempo, bulutangkis dan futsal ini.

Walau belum ada kepastian jadwal pertandingan tingkat dunia, namun Zasa dan teman yang berkebutuhan khusus masih giat berlatih futsal.

Saat ini mereka tidak melanjutkan latihan karena pemberlakuan PPKM sehingga Zasa pun kembali ke Kupang untuk berlibur namun akan kembali ke Jakarta pekan depan guna melanjutkan latihan dan persiapan.

Zasa pun tertekad akan terus berlatih dan memberikan prestasi yang terbaik.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/02/150130678/kisah-zasa-gadis-difabel-asal-ntt-yang-berprestasi-di-kancah-internasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke