Salin Artikel

Covid-19 di Indonesia, Keluarga Pasien Menunggu Belasan Jam Menunggu Antrean Pemakaman (2)

Feby Komaladewi mengungkapkan anggota keluarganya yang meninggal pada Minggu (27/6/2021) malam baru bisa dimakamkan keesokan harinya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lebak Saat.

Berjam-jam waktu tunggu itu, kata dia, karena ada belasan antrean jenazah yang harus dimakamkan, tapi petugas terbatas.

"Akhirnya sekitar jam 10 (pagi) barulah selesai gali lubang karena memang petugas di sana sudah kewalahan," cerita warga Kota Cimahi itu kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Meninggal itu setengah sembilan malam, bisa dimakamkan jam 10 pagi besoknya. Sampai 12 jam menunggu," imbuh Feby.

Sementara keluarga jenazah pasien Covid-19 lainnya, Rahman--bukan nama sebenarnya--mengaku harus merogoh kocek lebih dalam proses pemakaman di TPU Cikadut Kota Bandung.

Uang itu dikeluarkan mulanya hanya untuk perbedaan domisili dan sejumlah biaya lain seperti ongkos nisan, tim gali, juga tim pikul.

Tapi rupanya setelah di lahan pemakaman, antrean hari itu sudah mencapai 38. Jenazah keluarganya ada di urutan 40-an. Seseorang kemudian menawarkan jasa mempercepat antrean.

"Saya dijanjikan estimasi pemakaman jam 7 malam," kata dia.

"Sampai jam 4an (sore) nggak ada kabar ... hampir setengah 6 saya ke lokasi lagi. Saya nanya jam berapa kira-kira dimakamin, terus katanya, supir backhoe-nya kabur," cerita Rahman.

"Saya teriak, Allahuakbar. Saya posisi sebagai keluarga sudah emosi dengan kondisi di lapangan," sambung dia lagi.

Jenazah keluarganya baru bisa dimakamkan sekitar pukul 11 malam. Itupun setelah Rahman kembali mengeluarkan duit Rp 7 juta untuk jasa percepatan.

Ia membayar seseorang di lapangan yang disebutnya sebagai preman.

"Saya langsung nanya ke orang itu minta malam ini pemakaman beres, dia nanya ada duit berapa, saya nego yang tadinya Rp 12 juta jadi turun Rp 6,8 juta tambah uang rokok Rp 200 ribu, jadi Rp 7 juta," aku Rahman.

Merespons pengakuan tersebut, Kepala UPT Pemakaman Wilayah 3 Kota Bandung, Supena memastikan tak ada pungutan. Ia menegaskan jika hal tersebut terjadi di lapangan maka bisa dilaporkan.

"Tidak ada biaya apapun, kalaupun ada pungli saya sudah berusaha bikin surat edaran, brosur ke ahli waris, secara lisan ataupun tulisan. Kalau misalkan ada pungli jangan ditanggapi," kata Supena kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dia pun mengimbau warga yang merasa dipungut biaya tambahan untuk mengadu ke kantornya.

"Bawa datanya, bawa barang buktinya. Saya berkoordinasi dengan kepolisian, bilamana ada yang pungli orangnya tahu. Tinggal lapor ke kantor TPU dan kepolisian," tukas Supena.

"Petugas kami 24 jam, banyak petugas kami jadi korban, lebih dari 10 yang sakit baik pemikul, baik penggali. Tapi dia tidak memikirkan, hanya memfitnah tanpa barang bukti. Kalau ada barang bukti, sodorkan," kata dia lagi menegaskan.

Banyaknya pasien yang meninggal bukan hanya di rumah sakit tapi juga di luar fasilitas kesehatan, mengakibatkan 'penumpukan' kematian.

Lembaga yang mengadvokasi penanganan wabah, LaporCovid-19 membuka aduan kasus kematian di luar fasilitas kesehatan. Analis Data Tim LaporCovid-19, Hibban membeberkan 'penumpukan kematian' terbanyak terjadi di Jawa Barat (128), diikuti Yogyakarta (79), Banten (47), Jawa Timur (39), DKI Jakarta (33), dan Jawa Tengah (30).

"Secara persebarannya, penumpukan kematian itu ada di Pulau Jawa. Dilihat dari pola, kebanyakan meninggal saat isolasi mandiri," ungkap Hibban kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Ada dua tipe isolasi mandiri. Yang pertama isoman karena kesulitan mencari rumah sakit, akhirnya terpaksa isoman. Ada yang sudah keluar hunting rumah sakit, tapi ditolak, akhirnya pasrah pengobatan di luar dan akhirnya meninggal," terang dia lagi.

Tipe kedua adalah yang meninggal dalam rentang waktu relatif singkat, sebelum sempat mencari perawatan.

Laporan yang dikumpulkan sejak awal Juni hingga 9 Juli tersebut total mencatatkan 369 kematian di luar faskes dari 62 kabupaten/kota di 11 provinsi. Data ini dikumpulkan dari berita online, media sosial, laporan personal dan WhatsAppbot.

Salah satu laporan yang masuk mengadukan soal enam kematian saat isolasi mandiri di Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur. Laporan itu diterima melalui WhatsAppBot dengan rentang kejadian 20-30 Juni 2021.

"Sudah dipantau oleh tim puskesmas, Kak. Dan tim dari puskesmas juga turun membantu jenazah saat pemulasaraan," tulis pelapor yang ditujukan ke LaporCovid-19.

Keenam warga yang meninggal ketika isoman itu disebut dalam kondisi umum yang sudah lemah dan mengalami desaturasi, tapi tidak mendapat ruang perawatan karena RS penuh.

Meski begitu ia mengingatkan setiap warga yang mengalami perburukan kondisi harus segera ke rumah sakit, betapapun mengantre dan penuhnya pelayanan. Menurut dia, banyaknya kematian saat isolasi mandiri karena terlambat ke fasilitas pelayanan kesehatan.

"Yang boleh melakukan isolasi mandiri itu hanya yang gejala ringan dan sedang, jadi kalau mulai berat harus mau ke rumah sakit. Walaupun harus antre satu dua hari," tutur Nadia kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (9/7/2021).

"Lalu kalau ada yang mengatakan rumah sakit yang menolak pasien, itu seharusnya tidak boleh. Dalam keadaan emergency, RS harus menerima pasien bagaimanapun kondisinya," tukas dia.

Sementara antrean pada pemulasaraan hingga pemakaman imbas tingginya kematian, kata Nadia bukan semata tugas kementeriannya. Ia menuntut peran masing-masing pemerintah daerah untuk mengurai ini.

Adapun untuk kasus di Ibu Kota, Jajang Rahmat dari Tim Pemulasaraan Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengakui tak memprediksi lonjakan kematian di luar fasilitas kesehatan. Karena itu tenaga belum penuh dipersiapkan.

Akibatnya, para petugas pemulasaraan sempat kelabakan saat awal-awal melejitnya kasus pada Juni.

"Jadi waktu kami kaget kematian yang melonjak, armadanya belum ditambah, karena kita tidak mungkin melibatkan tenaga kesehatan lagi kan, mereka sudah capek menangani kasus, kalau ditambah dengan pemulasaraan akan lebih capek," jelas Jajang.

Alhasil, kini menurutnya Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan tenaga relawan untuk membantu pemulasaraan di tiap-tiap kecamatan. Tim-tim kecil tersebut akan membantu tugas utama tim pemulasaraan utama yang berposko di Monas.

"Kami latih 1.000 relawan lebih untuk bisa membantu seluruh DKI Jakarta di masing-masing kecamatan. Sebenarnya dari minggu kemarin sudah dilatih, tahap pertama 245. Karena eskalasinya naik terus, maka disiapkan tambahan," sambung dia.

Banyaknya pasien yang meninggal di rumah-rumah ketika isolasi mandiri menandakan buruknya sistem 3T meliputi tracing, testing dan treatment sebagai deteksi dini.

"Ini tentu yang harus kita cegah lebih banyak, karena potensi perburukan masih ada. Karena potensi puncak masih di akhir Juli. PPKM Darurat ini adalah modal, asal dilakukan dengan komitmen tinggi semua pihak, konsisten dan disiplin," tutur Dicky kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Keseriusan kebijakan PPKM Darurat harus dibarengi penguatan 3T, vaksinasi dan khusus untuk Indonesia dengan peningkatan visitasi atau program kunjungan rumah. Mengingat, lanjut Dicky, 80%-85% warga yang terinfeksi ada di rumah-rumah.

"Kalau tidak dilakukan, kematian di rumah-rumah akan tinggi. [...] kalau mirip dengan India, tidak. Tapi kalau The Little India, bisa, berpotensi sekali,"imbuh Dicky.

Harapan Dicky senada dengan Wirawan—salah satu warga yang saban hari kini dihadapkan dari jenazah satu ke jenazah lain di rumah-rumah. Ia ingin pemerintah bersungguh-sungguh menghargai dan melindungi nyawa warganya.

"Harapannya, pemerintah segera bisa mengatasi ini, karena kesehatan itu utama. Pembangunan biar bagaimana juga kalau rakyatnya meninggal semua, ya buat apa?" ucap bapak dua anak tersebut.

"Siapa yang mau nempatin negara? Siapa yang mau diatur, negaranya, kalau rakyatnya nggak ada (banyak yang meninggal)," seloroh Wirawan.

Wartawan di Jakarta, Nurika Manan, dan wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/07/12/061600678/covid-19-di-indonesia-keluarga-pasien-menunggu-belasan-jam-menunggu-antrean

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke