Salin Artikel

Covid-19 di Indonesia, Relawan: Mau Masuk RS Susah, Masuk Kuburan Juga Susah (1)

Kasus kematian yang melejit membuat tim pemulasaraan jenazah kewalahan. Di DKI Jakarta, pengurusan jenazah di rumah-rumah harus mengantre.

Di Yogyakarta, puluhan jenazah Covid-19 berjajar menunggu giliran diurus, sementara masih ada jenazah lain yang berderet di ruang IGD. Adapun di Kota Cimahi, Jawa Barat, anggota keluarga jenazah terpaksa rela menanti belasan jam mengantre pemakaman.

Penuturan sejumlah narasumber di lapangan menguatkan pemaparan koalisi warga LaporCovid-19. Berdasarkan himpunan data LaporCovid19, dari awal Juni hingga Selasa, (6/7/2021), terdapat sekitar 324 orang meninggal dunia karena 'terpaksa' melakukan isolasi mandiri akibat rumah sakit penuh.

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut, fenomena ini sebagai cermin "keparahan pandemi dan kegagalan Indonesia dalam pengendalian pandemi".

Wirawan bertutur panjang mengenai kondisi yang harus dia hadapi beberapa pekan ke belakang. Sehari-hari, dia bekerja sebagai anggota Tim Pemulasaraan Jenazah Covid-19 di DKI Jakarta.

"Kita mau masuk rumah sakit, susah. Kita mau masuk kuburan (sekarang), juga susah," ujarnya.

Beberapa kali Wirawan harus menyaksikan tubuh jenazah yang akan diurus sudah terbujur kaku.

Beberapa dalam kondisi mengenaskan. Itu karena hampir setiap jenazah pengidap Covid-19 yang meninggal dalam isolasi mandiri di rumah, tidak bisa segera mendapat penanganan.

Pemulasaraan jenazah-jenazah itu masuk ke daftar antrean mengingat sedemikian banyaknya permintaan.

"Yang melaporkan biasanya tetangganya, 'Kok orang ini nggak keluar-keluar, lagi isoman'. Begitu dilihat sudah nggak ada [meninggal], lapor ke kami. Kami tiba di sana, [jenazah] sudah kaku. Rata-rata seperti itu sekarang kondisinya," cerita Wirawan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (8/7/2021).

Bulan-bulan sebelumnya, Wirawan biasanya menerima permintaan pemulasaraan dua hingga tiga jenazah dalam sehari. Tapi kini timnya bisa menyusun daftar antrean hingga 24 jenazah dalam sehari.

Kondisi tersebut membuat Wirawan dan kawan-kawan kewalahan. Rentetan laporan warga tak sebanding dengan daya timnya yang beranggotakan kurang dari 10 orang.

"Sehari hanya sanggup paling tinggi itu 18 (jenazah). Berangkat dari jam delapan pagi atau setengah sembilan lah, pulang sudah subuh. Pagi baru balik ke posko lagi," ungkap bapak dua anak tersebut.

Saban hari ada satu tim pemulasaraan yang harus mondar-mandir menyisir keberadaan jenazah dari satu rumah ke rumah lain di seluruh wilayah Ibu Kota. Pengurusan dilakukan berdasarkan nomor antrean pelaporan.

"Yang jadi kendala, jaraknya jauh, dari Jakarta pusat ke timur, dari timur ke utara, jauh jangkauannya," tutur Wirawan.

Tak jarang saat sampai di lokasi, Wirawan mendapati jenazah yang masuk antrean sudah meninggal dunia lebih dari sehari.

"Kita kan juga nggak tahu. Kita terima beritanya (laporannya) sekarang, kita meluncur ke sana kan sesuai antrean. Sampai di sana kita nggak tahu kalau kondisinya sudah seperti itu—sudah meninggal berapa hari yang lalu," ungkap pria yang puluhan tahun terbiasa mengurus jenazah tersebut.

"Jadi meninggalnya juga kadang-kadang nggak ketahuan jam berapa. Jenazahnya itu, istilahnya, ya sudah lewat dari 24 jam baru dilaporkan ke kami," lanjut dia.

Wirawan merasa getir ketika tak bisa bergegas mengurus satu per satu jenazah. Tapi dia pun tak mampu berbuat banyak mengingat keterbatasan daya.

"Pikiran saya sih sekarang, kapan ini bisa berakhir. Karena kasihan juga melihat saudara-saudara kita, yang hidup, dalam keadaan sakit. Mau masuk ke rumah sakit juga susah karena rumah sakit semua penuh," tutur dia.

"Sementara yang meninggal pun kondisinya seperti itu, mau masuk kuburan susah. Mau pemulasaraan antre. Itu yang jadi pikiran saya, kapan bisa berakhir?" sambung Wirawan lagi.

Puluhan jenazah saat itu berjejer mengisi penuh ruang forensik rumah sakit. Sementara di bangsal perawatan, terbaring puluhan jenazah lain yang menunggu giliran pemulasaraan.

Daftar antrean itu saja belum tertangani, Komandan Posko Dukungan Operasi Satgas Covid-19 Yogyakarta Pristiawan Bintoro mengungkap masih ada jenazah di luar fasilitas kesehatan

Untuk mengurai apa yang disebutnya 'kemacetan' sirkulasi jenazah, Pristiawan menggerakkan tim mengurus jasad-jasad di ruang forensik.

"Jadi saking sudah penuhnya, kemarin kami mengurai 83 jenazah. Itu akumulasi dari tiga hari. Padatnya tiga hari dari 3,4,5 Juli," tutur Pristiawan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (7/7/2021).

"Itu harus segera diurai karena kalau di bagian forensik ini nggak segera terdistribusi untuk dimakamkan, maka ada puluhan orang yang sudah meninggal di bangsal itu tidak bisa dikeluarkan, dibawa ke ruang forensik," terang dia.

Di Yogyakarta, saat itu pemulasaraan jenazah Covid-19 masih terpusat di rumah sakit.

Belum lagi angka kematian di rumah sakit-rumah sakit rujukan yang juga tinggi.

"Kalau dulu kan orang meninggal di rumah, dievakuasi ke rumah sakit, untuk dilakukan pemulasaraan jenazah infeksius, baru dimakamkan," terang dia.

"Cuma kondisi sekarang, malam ada yang meninggal, mau dibawa ke RSUD, RSUD sudah penuh. Yang awalnya penuh dengan peti-peti berisi jenazah antre untuk dimakamkan, berkembang menjadi antrenya jenazah-jenazah yang mau dipemulasaraankan. Itu sempat terjadi kemarin," tambah Pristiawan.

Persentase kematian di luar fasilitas kesehatan, menurut Pristiawan cenderung naik.

Ia mencontohkan, di Kulonprogo misalnya, kasus kematian di rumah ketika isolasi mandiri ada enam dan kematian di rumah sakit hanya satu.

Menurut dia, penuhnya ruang perawatan di rumah sakit salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian di luar fasilitas kesehatan.

"Selama itu belum terurai persoalan penumpukan orang sakit, maka jadilah itu antrean-antrean orang-orang mati yang antre untuk dikuburkan," tutur Pristiawan.

Penuturan Pristiawan sejalan dengan data koalisi warga LaporCovid-19.

Berdasarkan himpunan data LaporCovid19, dari awal Juni hingga Selasa, (6/7/2021), terdapat sekitar 324 orang meninggal dunia karena 'terpaksa' melakukan isolasi mandiri akibat rumah sakit penuh.

Penyebabnya dua, yaitu fasilitas kesehatan yang disebut LaporCovid-19 'kolaps' dan langkanya pasokan oksigen.

"Orang berbondong-bondong ke RS yang jadi penuh dan kewalahan, kehabisan oksigen, sehingga banyak yang meninggal di luar RS dan sedang isolasi mandiri. Fasilitas kesehatan kita kolaps," kata Said Fariz Hibban dari LaporCovid-19.

Said mencontohkan, orang tua temannya yang meninggal dunia di rumah sakit.

"Karena tidak kebagian ventilator, lalu dipindah ke pojok kamar tanpa oksigen, akhirnya gagal nafas dan tidak bisa ditolong lagi," ujarnya.

Wartawan di Jakarta, Nurika Manan, dan wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/07/12/060700378/covid-19-di-indonesia-relawan--mau-masuk-rs-susah-masuk-kuburan-juga-susah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke