Salin Artikel

Sejarah Masa Lalu Kuli Perkebunan di Bawah Kubah Lonceng di Kesawan Medan

Gedung tersebut adalah gedung AVROS (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) atau Asosiasi Pemilik Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera yang dibangun pada 1918-1919.

DIkutip dari nationalgeographic.grid.id, arsitek gedung ini adalah G.H. Mulder.

Pada abad 19, takdir pantai timur di Sumatera berubah sejak pembukaan lahan perkebunan baru. Kota Medan pun mulai bersolek.

Para pemilik modal bertaruh. Berbagai kantor perkebunan, bank, hotel, dan sarana rekreasi pun menjamur di kota itu. Permintaan tenaga kasar perkebunan pun meningkat yang mengakibatkan mobilisasi besar-besaran penduduk dari Jawa ke Sumatra.

Perusahaan perkebunan merekrut tenaga kerja dari Jawa dan China.

Mengapa Jawa dan China? Karena pasokan tenaga kerja setempat sangat terbatas, sementara orang-orang Melayu asli tidak begitu tertarik bekerja di perkebunan.

Secara organisasi, AVROS sejatinya telah berdiri pada 1910. Asosiasi ini menetapkan sendiri penelitian yang terkait dengan tanaman pertanian dan industri.

Anggotanya tak hanya pemilik perkebunan asal Belanda, tetapi juga Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, dan Amerika Serikat.

Sejak 1967 gedung AVROS berganti nama menjadi BKS-PPS (Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera).

Di dalam kubah itu masih bekerja dengan setia mesin jam lonceng bermerk Nederlandschefabriek Torenuurwerken B. Eijsbouts – Asten.

Lonceng menara itu buatan pabrik tersohor Bonaventura Eijsbouts di Kota Asten, Belanda, dan baru dipasang pada 1920.

Bonaventura Eijsbouts adalah pembuat jam tangan. Namun sejak 1872, dia memulai pabrik pembuatan jam menara bengkel sederhana di belakang rumahnya.

Berkat kualitas yang baik dan ketepatan jamnya, banyak pengelola gedung yang memesan kepadanya. Eijsbouts pun menjadi penanda Kota Asten dengan museum loncengnya.

Dalam ruangan sumpek diapit deretan rak tua dan diterangi cahaya temaram itu terdapat salah satu laci yang menyimpan satu lembar berkas tua.

Kertas yang sudah melapuk itu berkop “Dactyloscopisch Bureau der DPV en AVROS” tertanggal 7 November 1948.

Berkas tersebut berisi data diri dan sidik jari-jari tangan kanan dan kiri milik Martodikromo alias Jakir. Dia merupakan kuli salah satu perkebunan karet di Medan.

Sidik jari para kuli perkebunan diperlukan dalam kontrak lantaran mereka buta huruf.

Sidik jari menjadi “jaminan” supaya para kuli tidak mudah berpindah ke perkebunan lain lantaran upah yang menarik.

Juga menghindari perusahaan perkebunan yang mencoba mencari kuli dari perkebunan lain.

Apabila para kuli terbukti melarikan diri dan berpindah ke perusahaan perkebunan lain, mereka akan mendapat siksa di luar batas kemanusiaan.

Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.

Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu.

Tak hanya kuli pria, kuli perempuan juga mendapat hukuman yang tak terperi.

Sementara itu Hasril Hasan Siregar, Ketua Harian Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKSPPS) menjelaskan ada ribuan sidik jari dari pekerja yang disimpan sebagai bagian dari sejarah perkebunan yanga di Sumatera.

Namun sebagian sidik jari para kuli perkebunan sudah didigitalisasi.

"Identitas dari pekerja buruh di masa lalu. Dulu kan belum bisa tulis baca, identitasnya ya itu lah gunakan sidik jari. Semacam KTP," kata Hasril saat dihubung Kompas.com, Senin (5/7/202).

Selain itu ia menyebut sidik jari itu juga untuk keamanan perusahaan dan juga para kuli yang bekerja.

"Jadi dengan identitas sidik jari tidak mudah dipindah-pindahkan antar perusahaan. Jika ada kuli yang pindah harus koordinasi di AVROS. Itu dulu di awal abad 20 ," kata Hasril.

Jika ada kuli yang melarikan diri, menurut Hasril, maka harus  melalui koordinasi dengan AVROS. Nantinya kuli yang bersangkutan akan dikembalikan ke perusahaan awal.

Kala itu, menurut Hasril ada 10 sampai 20 perusahaan yang bergabung di AVROS. Mayoritas perusahaan berasal dari Belgia dan Belanda.

"Kuli yang datang harus lewat koordinasi AVROS," jelas dia.

Namun Hasril mengatakan jika itu adalah cerita masa lalu. Saat ini di wilayah Sumatera, ada 109 perusahaan perkebunan dan sebagian kecil adalah perkebunan yang sudah ada sejak awal abad 20.

"Sekarang sudah enggak ada lagi sistem seperti itu. Sekarang kan mottonya perusahaan sehat, karyawan sejahtera. Jadi kami sudah menjalankan sesuai dengan aturan yang ada," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/07/05/070700578/sejarah-masa-lalu-kuli-perkebunan-di-bawah-kubah-lonceng-di-kesawan-medan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke