Salin Artikel

400 Tahun Hilang dari Peradaban, Rato Salu Maoge Pamona dari Kerajaan Tertua di Sulsel Bangkit Kembali

LUWU TIMUR, KOMPAS.com - Setelah 400 tahun hilang dari peradaban, Kedatuan Luwu, yang merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, mengukuhkan pemangku adat ke-3 Rato Salu Maoge Pamona, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dengan gelar Tokoi Rato.

Menurut pemangku adat atau Tokoi Rato Salumaoge Malkan Frans Keayo Bouw, peradaban Rato Salu Maoge telah hilang ratusan tahun dan selama 70 tahun lembaga adatnya hilang bagai anak yang hilang ditelan masa dan kini bangkit kembali.

Kebangkitan ini akan dilakukan dengan menjaga tanah ulayat mereka.

“Lembaga adat kami hilang sekitar 70 tahun silam, bahkan tanah leluhur kami tidak terjamah sampai hari ini, jadi dengan dibangkitkannya kembali maka kami masyarakat Rato Salo Maoge iningin kembali mengisi tanah leluhur dan memanfaatkan kembali. Kami berharap Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dapat membuka akses supaya kami bisa untuk masuk ke Rato supaya bisa diolah kembali dan membangun permukiman bahkan bisa memanfaatkan tanah dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Malkan saat dikonfirmasi, Jumat (18/6/2021).

Kondisi alam masyarakat adat Rato Salumaoge yang berada di pegunungan Luwu Timur, dipenuhi dengan sumber daya alam seperti hutan alam dengan faunanya masih terpelihara dan memiliki kearifan lokal tersendiri.

Kondisi ini mulai terancam dengan masuknya pemburu satwa liar berupa fauna khas Sulawesi yakni anoa, babirusa dan rusa.

“Ancaman kepunahan fauna seperti anoa, babirusa, dan rusa kini terancam dengan masuknya pemburu liar yang sekarang ini hampir setiap saat datang ke Rato untuk berburu untuk dijadikan dendeng. Untuk itu kami meminta kepada pihak petugas untuk memberikan kami perlindungan,” ujar Malkan.

Sejarawan Luwu Timur Musli Anwar mengatakan, prosesi pengukuhan Tokoi Rato Salu Maoge Pamona sempat hilang selama 400 tahun dan kini dapat bangkit kembali guna mengangkat kebudayaan dan mempersatukan kembali komunitas adat yang dipisahkan oleh wilayah administrasi.

“Penobatan tokoh Rato Salumaoge ini baru terjadi lagi setelah 400 tahun silam, di mana Rato adalah peradaban tua yang mempertemukan 2 etnis yang berbeda antara Pamona dan Wotu yang kemudian leluhurnya menyebar ke daerah Sulawesi Tengah,” tutur Musli.

Musli menambahkan bahwa adat kebiasaan sejak zaman leluhur mereka hingga kini masih lestari tentang bagaimana tatanan adat itu berjalan.

“Pengukuhan Tokoi Rato ini akan membangkitkan kembali persaudaraan antara orang-orang Rato Pamona pada umumnya dengan orang Wotu, meski secara administratif kabupaten dan provinsi sudah dipisahkan, namun hubungan emosiaonal persaudaraan tetap sebagai bagian dari keluarga besar Tana Luwu,” tambah Musli.

Pengambilan sumpah

Proses pengambilan sumpah dilakukan secara adat istiadat Kerajaan Luwu dengan cara yang sakral.

Diawali dengan menjemput rombongan kedatangan Datu Luwu dan permaisurinya bersama pemangku adat anak tellue dan anak seppulo dua.

Rombongan adat disambut dengan 2 tarian penyambutan yaitu Tari Motaro dengan lagu Pedongeka, kemudian tarian kedua Moendentua.

Di depan rombongan, terdapat pembawa payung kuning yang di belakangnya adalah Pua Macoa Bawalipu bersama permaisurinya yang dinaungi dengan Lellung warna kuning disertai dewan adat Pangadarra Sepulo Pitu.

Datu dan permaisurinya diusung menggunakan usungan yang disebut dengan buleang dan dinaungi kain warna merah atau disebut lellung, kemudian di belakangnya terdapat payung merah atau Pajung Maejae yang dinamakan rombongan Dewan Adat Seppulo Dua.

Datu Luwu bersama permaisuri dan para rombongan dewan adat telah sampai di atas Lamming untuk melakukan pengukuhan.

Kerbau yang telah disembelih sebelumnya diambil kepalanya dan dimasukkan ke dalam Walasuji Supala, yakni tempat persegi empat terbuat dari bambu dan dililitkan kain kuning.

Pemangku adat Rato Salumaoge Pamona, Malkan Frans Keayo Bouw, dipanggil dan menuju Walasuji Supala untuk dikukuhkan dan diambil sumpahnya sebagai pemangku adat oleh Macoa Bawalipu ke-61, Muh Aras Abdi To Baji Pua Sinri.

Malkan Frans Keayo Bouw menduduki potongan kepala kerbau lalu dipasangi Passapu Kepala, selendang, dan keris pusaka.

Setelah pemasangan tersebut, dilakukan pengambilan sumpah yang isinya jika melanggar sumpah akan hancur tujuh turunan.

“Malkan Frans Keayo Bouw Tokoi Rato, pada prinsipnya di Lembang Pamona ini bapak mendapat jabatan di wilayahnya, olehnya itu Macoa Bawalipu menempatkan telur sebagai sumpah leluhur bahwa hancur tujuh turunan apabila tokoi Malkan Frans Keayo Bouw melakukan pelanggaran hukum adat,” ucap Muh Aras Abdi saat memberikan sumpah.

Prosesi selanjutnya ditandai dengan menginjak telur sebagai simbol untuk menyatakan keaslian turunan, Jika telur tersebut pecah maka yang dikukuhkan adalah keturunan asli, Malkan pun menginjak telur dan pecah.

Setelah resmi dikukuhkan sebagai pemangku adat yang disebut Tokoi Rato, maka berhaklah untuk menjalankan atau mengurus wilayah adatnya.

Malkan Frans Keayo Bouw yang kini resmi sebagai Tokoi Rato Salumaoge atau pemangku adat kini bisa menginjakkan kaki di tanah.

Namun, sebelum menginjakkan kaki di tanah, ia menjalani prosesi yakni saat turun dari lamming, ia naik ke atas usungan atau bulleang dan diarak oleh warganya. Prosesi ini dapat dilakukan setelah Datu Luwu dan rombongan adat meninggalkan lokasi.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/18/201050678/400-tahun-hilang-dari-peradaban-rato-salu-maoge-pamona-dari-kerajaan-tertua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke