Salin Artikel

Kartini dan Kiai, Dari Mereka Kami Lahir

Pertemuan Kartini dan Kiai Shaleh Darat menjadi awal perjalanan teologi dan spiritual Kartini, mulai Tuhan dan syariat-Nya yang dianggapnya hampa hingga menjadi sangat bermakna, sehingga kegelapan yang ada dalam hatinya disirnakan oleh sebuah cahaya yang terang benderang.

“Ingin sekali saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah. Sekarang hidup menuntut janji itu. Tidak ada sesuatu yang terlalu pahit, terlalu berat, terlalu keras bagi kami, apabila kami dengan perbuatan itu dapat membantu sedikit pembangunan tugu peringatan yang indah yaitu: Kebahagiaan Bangsa.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri, 1 Agustus 1903).

Kartini hidup di tengah situasi yang lekat dengan budaya feodal. Perempuan tidak sebebas kaum laki-laki. Ketika penjajah sudah berkuasa, budaya feodal justru dijadikan alat untuk mengukuhkan kedududukan mereka menjadi superior di atas warga pribumi. Yang menjadi korban, lagi-lagi adalah rakyat jelata.

Oleh karena itu, karena tidak kuat melihat penderitaan yang dialami rakyatnya atas kezaliman penjajah dan juga budaya feodal, Kartini ingin melepaskan pakaian kebangsawanannya dan melebur dengan rakyat.

Apa yang telah Kartini torehkan dalam sejarah tersebut, tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualnya. Bagaimana ia mengimani bahwa ada dua perkara yang tiada sesuatu apa pun yang lebih utama dari keduanya, yakni iman kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama muslim (baik dengan ucapan, kekuasaan, harta, maupun tenaga).

Rasullullah Saw bersabda: "Barangsiapa berada pada pagi hari tanpa bermaksud menzalimi seorang pun, maka dosa-dosanya diampuni. Barangsiapa berada pada pagi hari dan berniat menolong orang yang teraniaya serta memenuhi keperluan orang Islam, maka Ia mendapatkan pahala seperti pahala haji mabrur."

Kartini dengan segala kemampuannya, terus bekerja keras untuk menghilangkan sistem feodalisme yang kurang memanusiakan manusia. Zaman feodal yang disaksikan Kartini sangat mendiskriminasikan perempuan.

Dari kondisi yang menjerat diri dan rakyat perempuannya, maka Kartini ingin memperjuangkan pendidikan bagi wanita. Pendidikan yang dicita-citakan adalah pendidikan yang bebas dari campur tangan dan pengaruh pemerintahan Hindia Belanda.

Tentunya ini didorong nilai spiritual, sebagaimana sabda Rasulullah Saw juga bahwa, "Manusia yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain. Amal yang paling utama adalah menyenangkan hati orang mukmin dengan cara menghilangkan kelaparan dan kesusahan atau melunasi utangnya."

Kartini dan kiai NU

Dalam tautan kultur di kalangan Nahdliyin ada titik temu nilai-nilai dalam diri Kartini dengan nilai-nilai yang disampaikan para kiai NU, yakni landasan teologi dan spiritual yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut akan kita temukan dalam beberapa putusan-putusan NU, di antaranya:

1. Konbes Syuriah NU 1957, menyepakati suatu keputusan yang melegitimasi bolehnya perempuan memasuki lembaga legislatif (DPR RI maupun DPRD).

2. Muktamar NU 1962 di Salatiga, yang memperkenankan perempuan duduk di lembaga eksekutif sebagai Kepala Desa.

3. Kepengurusan Syuriah PBNU tahun 60-an, adanya keterwakilan dari kaum perempuan di antaranya: Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Choiriyah Hasyim.

4. Muktamar NU ke-28 masa khidmat 1989-1994, dalam rumusan program umum menyebutkan persoalan perempuan terkait peranan perempuan dalam pembangunan masyarakat (terutama masyarakat pedesaan yang cukup besar).

5. Muktamar NU ke-29 masa khidmat 1994-1999, dalam rumusan program pokok pengembangan NU menyatakan bahwa sektor perempuan melalui banom Muslimat dan Fatayat ikut serta mengembangkan dan mendorong peningkatan peran perempuan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama.

6. Munas Alim Ulama NU 1997 di Lombok, melahirkan maklumat tentang “Kedudukan Perempuan Dalam Islam (makanat al-Mar’ah fi al-Islam)”.

7. Mubes NU 2004, komisi gerakan perempuan merekomendasikan:

  • Perlunya warga NU merumuskan fikih keseharian yang berkeadilan gender.
  • Kualitas dan kuantitas ulama perempuan NU perlu ditingkatkan untuk melengkapi peran keulamaan NU dengan melakukan perbaikan system pengkaderan ulama NU.
  • Pengarusutamaan gender pada lembaga pendidikan (LP Maarif dan pesantren) dengan merekonstruksi kurikulum dan metode pengajaran.
  • Pemberdayaan ekonomi perempuan NU secara sistematik.
  • Representasi perempuan minimal 30% dalam struktur di seluruh tingkatan.
  • Perlunya kepedulian NU terhadap persoalan perempuan dan membantu korban pelanggaran hak perempuan dengan memberikan dukungan sumber daya/dana.
  • Perlu adanya rekonsiliasi dan koordinatif dari NU dan banomnya terhadap korban peristiwa 1965 yang merugikan perempuan.
  • Perlunya pengalokasian dana di seluruh tingkatan NU dan banomnya untuk mencapai persamaan dan kesetaraan gender.
  • Menyerukan seluruh warga NU untuk merekomendasikan mereka yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan dalam struktur kepengurusan NU di setiap tingkatan baik tanfidziyah maupun syuriah. (Menjawab Kegelisahan NU, 2004: 53-54)

Hal ini menunjukkan komitmen para Kiai NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU menegaskan komitmennya ikut menginisiasi transformasi kultur kesetaraan yang kemudian mampu menjadi dinamisator pembangunan dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.

Peran kiai NU dalam gerakan perempuan

Bagi gerakan perempuan di kalangan NU, seperti IPPNU, KOPRI, Fatayat dan Muslimat, keputusan-keputusan ini merupakan dokumen historis yang menjadi dasar legitimasi bagi upaya-upaya advokasi perempuan.

Keputusan-keputusan tersebut tidak terlepas dari peran para kiai yang melahirkan gerakan-gerakan organisasi perempuan yang berada dibawah naungan NU, yang tentunya mampu membawa kemajuan khususnya untuk perempuan dan umumnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Para kiai tersebut di antaranya adalah:

1. Kiai Wahab Hasbullah

Pada rapat umum NU KH.A. Wahab Hasbullah (wakil PBNU) berbicara bahwa: “Dalam kalangan umat islam, bukanlah hanya kaum Bapak saja yang harus dan wajib mempelajari dan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi kaum ibu juga harus mengikuti akan langkah gerak dari kaum laki-laki. Mereka harus sama-sama menjalankan segala apa yang diwajibkan oleh agama islam.” (Menjawab Kegelisahan NU, 2004: 53-54)

Kongres NU ke XIV di Magelang, KH A Wahab Hasbullah memberikan nasihat-nasihat sehubungan dengan kebangkitan, kedudukan perempuan dalam islam dan penyampaiannya dengan mengambil contoh-contoh yang menarik.

Dalam sejarah Muslimat, dicantumkan bahwa KH A Wahab Hasbullah dan KH M Dahlan berjasa besar atas lahirnya Muslimat NU, bahwa dengan ketekunan-ketekunan dan dorongan-dorongan beliaulah NUM berdiri di samping NU. Andaikan NUM itu sebagai bayi yang baru lahir, maka beliaulah yang menjadi dokter dan bidan. Mereka mengerti dan terus mengamati kapan bayi itu lahir, maka setelah datang saatnya mereka mendorong, memimpin serta membimbing dengan tidak menghiraukan rintangan dari kanan kiri.

Tidak berhenti di sana saja, NUM diasuh, diberi petunjuk, dipimpin dan dibimbing, diluruskan jalannya, ditolong kalau mau jatuh, dibesarkan hatinya, dikobarkan semangatnya, sehingga NUM dapat berjalan sendiri. Dalam dokumentasi Muslimat, disebutkan bahwa KH A Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri menjadi guru pada kursus kepemimpinan Muslimat NU yang pertama kali di Madiun pada Maret 1948.

2. KH M Dahlan

Kiai Haji M Dahlan selain mendorong lahirnya Muslimat NU, menurut penuturan Ibu Aminah Mansur selaku dewan pimpinan Fatayat NU, beliau juga mendorong pembentukan Fatayat NU ketika menjadi ketum PBNU.

Dalam catatan sejarah Fatayat NU, disebutkan bahwa pada saat banyak para kongresisten berpendapat bahwa “haram hukumnya" perempuan keluar rumah. Kiai Dahlan berjuang dengan gigih agar perempuan dan puteri-puteri ini diterima di dalam NU.

Beliau mendekati Hadlratus Syech KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah, dua ulama NU yang memiliki pandangan luas tentang perlu ikut sertanya perempuan dan pemudi-pemudinya dalam organisasi NU.

Atas green light dari kedua ulama ini, beliau memberanikan diri mengambil inisiatif untuk menyusun Muslimat dan Fatayat. Terutama untuk mendirikan Muslimat betapa bersusah payahnya meredakan pendapat yang mengharamkan keberadaan Muslimat.

Sampai malam terakhir kongres ke-16 NU di Purwokerto, kata sepakat tentang diterimanya Muslimat masih belum didapat. Akan tetapi KH M Dahlan dengan tenang memasuki arena kongres karena telah mengantongi Anggaran Dasar Muslimat pertama yang sudah ditandatangani oleh kedua ulama besar tersebut yang telah ia perjuangkan semenjak siang.

Dengan membacakan Anggaran Dasar Muslimat pertama yang sudah ditandatangani oleh kedua ulama besar itu, maka kongres menerima Muslimat menjadi bagian dalam NU.

3. KH Bisri Syamsuri

Beliau mendirikan pesantren khusus perempuan pada tahun 1920-an di Denanyar. Upaya pendirian pesantren tersebut mendapat tantangan keras dari tokoh hingga pendiri NU. Namun berkat kegigihannya, pesantren itu berdiri dan berkembang pesat sampai sekarang, bahkan menjadi model pesantren putri di tanah air.

4. KH Wahid Hasyim

Beliau selaku Menteri Agama RI mengeluarkan kebijakan yang dipandang amat liberal untuk konteks tahun 1955, yakni memperbolehkan perempuan kuliah di Fakultas Syariah. Konsekuensinya adalah terbukanya kesempatan perempuan menjadi hakim agama, suatu posisi yang dalam kitab fikih klasik hanya diperuntukkan untuk laki-laki.

Menjadi Kartini masa kini

Kartini masa kini harus mampu merespons arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika keperempuanan dalam perubahan kebudayaan dengan berpegang pada kaidah “al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah”, yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Kekuatan perempuan sebagai pribadi

Kartini sebagai perempuan, dalam perubahan sosial jelas memiliki posisi sentral, sebagaimana dalam al-Qur’an, bahwa perempuan dibenarkan menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan terhadap berbagai kebobrokan, seperti yang tercantum dalam Al Qur’an surat Taubah ayat 71.

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Kekuatan perempuan dalam organisasi

Kartini dalam spirit bingkai gerakan perempuan hendaknya bisa mengurai secara sistematis tentang nilai-nilai teologi dan melakukan pembacaan ulang konteks kekinian terkait kebutuhan mendasar bagi kemajuan kaum perempuan.

Manifestasi ketidakadilan gender terhadap perempuan masih lekat dalam keseharian kita, seperti marjinalisasi, stereotype, subordinasi, kekerasan dan beban ganda sangat erat dengan perempuan.

Seperti yang diungkapkan Hasan Hanafi, perempuan harus kuat dan progresif serta menolak ketertundukan yang menyebabkan keterpurukan bagi kaumnya. Dengan hal tersebut, maka perempuan harus bisa mandiri dengan dinamikanya untuk mendorong tatanan kehidupan yang maslahah (memberikan kebaikan yang seluas-luasnya).

https://regional.kompas.com/read/2021/04/21/145004778/kartini-dan-kiai-dari-mereka-kami-lahir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke