Salin Artikel

Kisah Shinta Bantu Waria di Yogyakarta Berjuang Hapus Stigma Negatif, Program Pendampingan hingga Ubah Profesi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Pandemi Covid-19 memukul semua sektor dan berbagai kalangan, termasuk waria yang bekerja di sektor jasa.

Kondisi ini ditambah dengan stigma negatif yang disematkan kepada mereka.

Pesantren Al-Fatah terletak di tengah perkampungan tua di Kotagede, perbatasan Bantul, dan Kota Yogyakarta, tepatnya di Celenan, Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.

Para waria yang menjadi santri berkumpul setiap hari Minggu. Mereka mendapatkan pemahaman tentang agama di rumah tua milik pemimpin pesantren waria Al Fatah Yogyakarta, Shinta Ratri.

Saat Kompas.com menyambangi rumah Shinta, dia sedang ngobrol dengan dua waria lainnya. Dengan ramah mempersilakan duduk di teras, Shinta pun menggelar karpet panjang berwarna merah. Mengenakan hijab, Shinta duduk sambil sesekali meluruskan kakinya.

"Pandemi juga memukul kami, pendapatan kawan-kawan (waria) menurun 60 persen," kata Shinta membuka percakapan, Kamis (8/4/2021) malam.

Sebagian besar waria bekerja sebagai perias, bekerja di salon, hingga mengamen. Kondisi pandemi meluluhlantakkan pendapatan mereka. Misalnya di awal pandemi, yang mengamen warga takut berdekatan dengan orang dan tidak mau memberikan uang.

Tak ada rias pengantin karena larangan menggelar hajatan membuat penghasilan mereka berkurang.

Untuk membantu mereka yang terdampak, pesantren membuat paket sembako sebanyak 50 paket yang dibagikan kepada mereka yang terdampak.

Tak hanya waria, sembako juga dibagikan kepada tetangga sekitar pesantren.

Sembako ini setidaknya mengurangi pengeluaran bulanan mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Diperkirakan, pesantren ini akan tetap memberikan bantuan sampai Oktober nantinya. Adapun bantuan berupa beras, gula, mie instan, hingga susu. Untuk bulan puasa diganti bingkisan lebaran.

Shinta bersyukur selama pandemi donasi dari jaringan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih ada, sehingga mereka bisa membantu sesama.

Sebagai kaum minoritas dan masih dipandang sebelah mata, mereka tak berharap banyak bantuan dari pemerintah. Mereka memperkuat jaringan akademisi dan LSM.

"Dulu ketika masih bisa mencari donasi. Kita tiga bulan awal pandemi juga memberikan bantuan uang untuk kos," imbuh dia.

Upaya menguatkan jaringan

Saat berbincang, beberapa tetangga mampir di rumah Ratri. Seperti tetangga pada umumnya mereka tampak santai mengobrol.

Shinta kembali melanjutkan, dia mengaku bersyukur jika ada 15 waria lansia yang akan menerima vaksin di Puskesmas Gedong Tengen kota Yogyakarta minggu depan. Untuk ratusan lainnya, dirinya masih belum mengetahui kapan akan divaksin.

Diakuinya, tantangan mendapatkan vaksin atau bantuan yang lain dari pemerintah karena dari 300 an waria yang ada di DIY, ada 20 persen yang tidak memiliki tanda pengenal atau KTP.

Mereka kesulitan untuk membuat KTP karena biasanya waria ini lari dari rumah karena memiliki masalah keluarga. Mereka hanya pergi tanpa memikirkan untuk membawa dokumen kependudukan.

Mereka menyikapi dengan santai, seperti jika tidak memiliki KTP maka tidak boleh naik kereta atau pesawat untuk bepergian. Mereka memanfaatkan moda transportasi bus untuk bepergian.

"Untuk yang vaksin mungkin menunggu saja sampai vaksin sudah hampir selesai. Mungkin vaksin saat nanti melimpah ruah dan saat itulah kawan-kawan mendapatkan vaksin," kata Shinta sambil tersenyum.

Stigma negatif masih melekat erat kepada mereka. Selain keluarga, waria sering mendapatkan perlakuan kurang manusiawi dari warga sekitar.

Bahkan saat meninggal pun sering mendapatkan penolakan, selain dari pemerintah melalui Dinas Sosial, mereka juga mendapatkan bantuan dari beberapa yayasan, salah satunya dari Pondok Hafara di Bantul. Mereka membantu pemakaman waria yang meninggal dunia.

Shinta mengaku bersyukur jaringannya masih kuat hingga kini. Semakin banyak yang membuka pintunya untuk membantu mereka yang terpinggirkan.

Selain bantuan sembako, setiap bulannya mereka mendapatkan pelatihan ketahanan pangan seperti membuat home farming membuat tauge, dan memelihara ikan dalam ember.

Termasuk di dalamnya penderita gangguan mental, penyintas 65, dan warga termarginalkan yang lain.

Mengubah stigma negatif

Pesantren waria memiliki banyak program pendampingan bagi waria. Salah satunya mempersatukan kembali keluarga dengan program family support group, karena tak sedikit yang masih bermasalah dengan keluarga.

Uniknya keluarga yang sudah menerima kondisi anggota keluarganya, akan berkomunikasi dengan keluarga yang masih belum menerima. Awalnya yang begabung ada 10 keluarga, sekarang sudah bertambah 5 keluarga.

"Jika antar keluarga kan semakin mudah komunikasinya," kata Shinta.

Selain itu ada program goes to campus, namun karena corona saat ini diganti dengan virtual. Selain itu, bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian di pesantren mereka wajib mengajak keluarganya.

Alasannya, jika masyarakat mengenal pondok akan membagikan pengalaman kepada tetangga hingga teman-temannya.

" Dari yang kecil, menceritakan ke tetangga. Bisa membuat perubahan pikiran mengurangi stigma cap buruk tentang waria," kata Shinta.

Waria Crisis center (WCC) untuk pendampingan kawan yang terlantar di jalan dan terlantar. Selama pandemi juga banyak yang terganggu kondisi mentalnya, karena itulah dibutuhkan pendampingan berkelanjutan.

Menyiapkan program ganti profesi

Shinta menceritakan masih ada salah satu impiannya yakni mengganti profesi waria yang masih bekerja sebagai pengamen dan pekerja seks.

Nantinya mereka yang masih bergelut dengan dua pekerjaan itu diajak untuk beralih profesi seperti make up artis atau pemijat profesional.

Dua pekerjaan itu tidak membutuhkan modal yang besar namun hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Namun demikian, pihaknya saat ini masih membuat proposal untuk program itu. Dulu pernah ada pelatihan yang sama, namun hanya 30 persen yang meninggalkan profesi lama, sisanya kembali lagi.

"Perlu strategi baru agar mereka berubah profesi," kata dia.

Hingga kini, sedikitnya ada 80-an waria yang masih bekerja sebagai pengamen, untuk pekerja seks dirinya tak memiliki data. Total ada 300-an waria yang ada di DIY dari pelbagai daerah seperti Jakarta, Jawa Barat, dan kota lainnya.

Shinta mengakui stigma negatif hingga kini masih disandang para transpuan ini. Untuk itu ke depan diperlukan kerja keras untuk mengikis semua stigma negatif.

Selesai wawancara, Shinta dan beberapa tetangga termasuk dua anak kecil kembali bercengkerama di ruang tamu. Tak ada rasa canggung antar mereka, seperti layaknya tetangga.

Perlu diketahui, Shinta Ratri mendapatkan penghargaan dari Front Line Defenders atau organisasi internasional untuk perlindungan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Irlandia 2019  lalu.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/21/070000578/kisah-shinta-bantu-waria-di-yogyakarta-berjuang-hapus-stigma-negatif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke