Salin Artikel

Menunda Mudik

Lebaran kali ini tentunya akan berbeda setelah pemerintah untuk kali keduanya melarang masyarakat untuk menunda mudik lebaran. Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 yang bertujuan untuk pemantauan, pengendalian, dan evaluasi, dalam rangka mencegah peningkatan Covid-19 selama Ramadhan dan Idul Fitri 1442 H.

Mudik yang merupakan akronim dari “mulih disik” atau “kembali ke udik” dalam mayarakat Betawi, merupakan warisan budaya yang konon sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Para pegawai kerajaan yang tersebar di berbagai wilayah kerajaan kembali ke induk kerajaan untuk menghadap sang Raja dan menengok sanak keluarga di kampung halaman pada ketika Idul Fitri tiba.

Dalam perjalanannya istilah mudik kemudian melekat dengan fenomena masyarakat urban yang kembali ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga ketika lebaran.

Oleh karena mudik merupakan sebuah budaya, tentu kedalamannya tidak hanya mencakup dimensi fisik dan ritus semata, akan tetapi juga ada dimensi kejiwaan yang melekat pada setiap individu bangsa.

Ragam ritus budaya mudik seperti halnya menjumpai keluarga, memakai pakaian baru dan ziarah makam mengandung kompleksitas psikis manusia seperti makna, persepsi, keyakinan, afeksi, emosi dan suasana hati yang ada pada diri masyarakat. Belum lagi efek sosial dan ekonomi yang menyertainya bagi pelaku usaha.

Situasi inilah yang barangkali perlu menjadi refleksi bersama bagi masyarakat dan pemangku kebijakan terkait larangan mudik.

Dilema mudik lebaran

Seringkali kita mendengar celotehan teman, keluarga, tetangga bahkan mungkin akademisi mengenai seputar larangan mudik lebaran oleh pemertintah. Alasan preventif terhadap lonjakan kasus Covid-19 seolah tidak relevan lagi, karena faktanya kebijakan tersebut kontras dengan realitas di masyarakat. Pariwisata tetap buka. Kebiasaan nongkrong dan ngopi masih saja dijalankan. Belum lagi dengan tidak adanya jaminan kapan wabah Covid-19 akan beres.

Situasi di atas mengilustrasikan kondisi masyarakat maupun pemerintah sebagai pemangku kebijakan berada di ruang dilema. Kita sebagai sebuah entitas kelompok memiliki insentif (hak) yang jelas dan tidak ambigu dalam menetapkan sebuah pilihan.

Pilihan tersebut akan memiliki konsekuensi tersendiri di mana ketika pilihan itu menjadi alternatif bersama dalam kelompok tertentu akan menimbulkan hal buruk bagi semua kelompok ketimbang hal baik yang jika tidak seorang pun mengambil pilihan tersebut.

Sebaliknya apabila orang menyangkal keuntungan pribadi yang sifatnya segera (immediate benefit) untuk masing-masing dirinya, hal ini justru akan menghasilkan kebaikan bersama, khususnya dalam jangka panjang (collective interest) [Weiten, 1989].

Dalam konteks mudik lebaran, meskipun hal ini merupakan pilihan sulit, kita patut optimistis bahwa pemerintah mestinya sudah memperhitungkan betul dampak dikeluarkannya putusan larangan mudik tahun ini.

Upaya langkah jitu pemerintah dalam pengawalan putusan serta antisipasi terkait dampak larangan tersebut patut kita tunggu dan kawal bersama sehingga masyarakat tidak menderita berkepanjangan.

Mengalah tidak mudik

Bagi sebagian masyarakat memaksakan diri untuk mudik ke kampung halaman pada saat perayaan Idul Fitri bukanlah perkara sulit. Berdasarkan pengalaman lebaran sebelumnya, banyak kelonggaran di lapangan yang dapat disiasati oleh mereka.

Berkumpul dengan sanak dan keluarga memang hak semua orang. Namun penting bagi masyarakat untuk mempertimbangkan kemungkinan dampak buruk akibat pilihan kita yang tidak bijak ini.

Menunda mudik tidak akan menafikan nilai silaturahmi kita kepada keluarga dan juga tidak akan memberangus nilai budaya bangsa yang sudah mengakar, sebagai simbol kebersamaan kita.

Justru sebaliknya, menunda mudik pada waktu sekarang ini merupakan ikhtiar diri untuk meminimalisasi dampak buruk dari budaya itu sendiri di tengah wabah penyakit yang sedang menyandera dunia.

Dengan menekan keinginan sementara (immediate benefit) kita, akan menghindari risiko penularan penyakit pada sanak dan keluarga di kampung halaman. Upaya itu juga akan membantu memutus mata rantai penyebaran wabah.

Oleh karenanya, guna menggapai asa kemenangan atas wabah yang tak berkesudahan, penting bagi masyarakat untuk melakukan reorientasi terhadap makna, persepsi serta keyakinan mengenai kesengsaraan akibat wabah untuk mengakhiri dilema sosial berkepanjangan.

Masyarakat harus kompromi dengan pemerintah terkait putusan larangan mudik demi mewujudkan kebaikan bersama (collective interest) di masa mendatang.

Demikian juga dengan pemerintah, seiring dengan larangan mudik tersebut perlu upaya edukasi, sosialisasi dan pelibatan publik dalam setiap putusan dan pengawalannya, sehingga terbuka ruang kesadaran dan perubahan perilaku publik.

Selain itu, pemerintah dengan segala instrumen yang melekat juga perlu memahami relung dalam psikologi dan sanubari masyarakat dalam membuat kebijakan terkait penanganan wabah penyakit yang sejauh ini cukup menguras emosi setiap warga.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/20/230248378/menunda-mudik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke