Salin Artikel

Puasa, Imunitas Diri, dan Pesan Kemanusiaan

Setiap umat adalah manusia yang lahir dari bani Adam hendak mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) dengan menunaikan perintahnya dan menjauhi larangannya. Allah telah menciptakan manusia yang tujuannya adalah untuk menyembah (illa liya’ budun) dan mematuhi instruksi apa yang menjadi ketentuan syariat dalam beriman, berislam, dan berihsan.

Oleh karena itu, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin (1986) menuturkan hadis bahwa Nabi Saw bersabda: “Banyaklah orang yang berpuasa, yang tidak ada baginya daripada puasanya itu, selain lapar dan haus." (HR. an-Nasai dan Ibnu Majah). Artinya, secara batiniah dan lahiriah manusia sedang diuji agar mampu mengendalikan hasrat dan emosi.

Umat Islam yang menjalani ibadah puasa telah dihadapkan dengan pelbagai jenis tantangan dalam menuju kehidupan sufi guna menjaga hubungan manusia dengan Allah dan hubungan sesama manusia (hablum minallah wa hablum minannas). Tak heran, manusia yang sedang berpuasa selalu mendapatkan ujian berat yang menggoda imunitas keimanannya.

Imunitas iman yang kuat menghadapi gangguan belum tentu menjadi manusia yang paling sempurna selama tidak mampu melawan hasrat hawa nafsu. Sebab, puasa merupakan wahana latihan jasmani menuju penyucian rohani. Tentu untuk menyucikan fitrah ini harus protektif, agar dapat menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual.

Imunitas diri

Ibadah puasa akan tetap terjaga dari pesona godaan yang menghantui manusia. Allah sengaja menghadirkan godaan semata-mata bukan karena hendak menghinakan makhluknya, tetapi dalam rangka mengangkat derajatnya, agar menjadi manusia yang sempurna dan mulia di muka bumi ini. Maka, imunitas ini menjadi pagar manusia supaya tidak lemah imannya.

Pada praktiknya, imunitas diri berupa keikhlasan, kesabaran, dan lain sebagainya. Semua itu harus didasarkan kepada niat dan tujuan untuk menjadi manusia yang rendah hati, terpuji, dan bertawakal. Di sisi lain, istikamah menaati perintah Allah sebagai teladan manusia yang etis dan bermoral, sehingga Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat amal saleh (amali).

Puasa dalam ilmu tasawuf punya makna tersendiri, terutama bagi manusia yang berikhtiar ingin lebih dekat, dan memahami lebih jauh apa itu esensi syariat, termasuk mengapa puasa menjadi bulan yang dirindukan oleh umat Islam.

Secara hakikat, puasa adalah perjalanan dunia sufi tanpa disadari bahwa manusia memupuk kekuatan untuk menjadikannya sabar. Firman Allah Swt dalam Al Qur’an, innallaha ma’as shabirin. Artinya: “Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar."

Oleh karenanya, sabar merupakan cara efektif dalam menyucikan dimensi jasmani dan rohani. Terutama, mengontrol hawa nafsu dari pandangan yang maksiat, dan melarikan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Menurut hemat penulis, ada beberapa imunitas dalam membentengi diri. Pertama, puasa merupakan terapi spritual dalam mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Kedua, menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia (hablum minallah wa hablum minannas). Ketiga, meningkatkan daya tahan iman manusia melalui khatmil Qur’an dan zikir.

Keempat, mewakafkan waktunya di bulan puasa untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan, dan memperbanyak ibadah sunnah semata-mata memohon ampunan kepada Allah. Tips ini harus menjadi keyakinan semua manusia agar dalam hidupnya senantiasa meraih keberkahan. Sebab, puasa adalah terapi spritual yang membuat jiwa manusia menjadi tentram.

Pesan humanis

Pada dasarnya, puasa sebagai jalan manusia menuju kehidupan sufi yang mulia. Perjuangan untuk calon manusia mulia tidak cukup dengan akhlak lahiriah saja, melainkan akhlak batiniah. Yaitu, melindungi diri kita dari perbuantan-perbuatan yang maksiat. Oleh karena itu, puasa adalah bagian dari cara Allah dalam membersikan fitrah manusia, dan mencintai makhluknya.

Quraish Shihab (1994) mengatakan, puasa merupakan jalan pembangkit semangat membangun nilai-nilai kemanusiaan. Manusia telah lama mengenal puasa sebagai pilar ketiga rukun Islam yang hukumnya wajib diamalkan. Oleh karena itu, puasa bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman, karena motif ini memang berangkat dari kesadaran kemanusiaan.

Pendapat Quraish Shihab semakin memperjelas esensi dan hikmah di balik momentum puasa Ramadhan ini. Manusia yang menunaikan ibadah puasa adalah umat yang selalu ingin sabar dalam menghadapi godaan. Allah memberikan kesempatan hidup untuk menjadi manusia yang mulia dan tawakal, tepatnya di bulan puasa yang merupakan bulan penuh berkah dan ampunan.

Di bulan yang penuh ampunan ini, jiwa manusia mengalami ketenangan dan harmonis. Kedamaian hati semua manusia melahirkan pesan-pesan humanis yang membuat pranata kehidupan sosial semakin peduli dan terlindungi. Untuk itu, momentum puasa ini dijadikan sebagai sumber dari segala sumber kehidupan untuk melahirkan peradaban yang inklusif.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/20/205805578/puasa-imunitas-diri-dan-pesan-kemanusiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke