Salin Artikel

Kampung Pitu, Desa di Gunungkidul yang Hanya Dihuni 7 Keluarga

Salah satunya Kampung Pitu, yang terletak di Kalurahan Nglanggeran, Kapanewon Patuk, sesuai namanya hanya ditinggali tujuh kepala keluarga.

Kampung Pitu terletak di sekitar puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, hingga kini masih memegang teguh kepercayaan agar tidak dihuni oleh lebih atau kurang tujuh kepala keluarga.

Sudah ada lima generasi yang tinggal di sana, tanpa mengubah adat istiadat yang sudah dijalani turun temurun.

Untuk menuju kampung yang berada di puncak gunung ini, harus melewati jalanan cor blok tanjakan dan turunan cukup curam.

Pemandangan persawahan dan rumah penduduk di sela batuan vulkanik jutaan tahun lalu.

Beberapa tiang lampu baru akan dipasang jalan menuju kawasan Kampung Pitu.

Memasuki Kampung Pitu ada sebuah mushala yang dibangun pada 2016.

Di atas perbukitan setelah sampai ke Kampung Pitu, bisa menikmati pemandangan salah satu bagian puncak gunung api purba Nglanggeran.

Sekilas kampung ini tak berbeda dengan wilayah lainnya di Gunungkidul.

Sebagian besar rumahnya berbentuk limasan, dan berbentuk kampung.

Rumah berdiri berjauhan karena kondisi tanah berbukit. Kandang ternak seperti sapi, ayam dan kambing ada di sekitar rumah.

Sejak sering dikunjungi wisatawan, Kampung Pitu disediakan fasilitas umum seperti toilet.

Selain itu ada limasan yang dibangun untuk beristirahat. Suasana sejuk, ditambah suara hewan liar seperti burung dan serangga menjadikan suasana di Kampung Pitu cukup unik.

Kompas.com menuju ke salah satu sesepuh kampung pitu Redjo Dimulyo. Namun oleh salah seorang warga diarahkan ke Yatnorejo.

Saat sekitar pukul 09.00 WIB Yatnorejo sedang berada di sawah, salah seorang anaknya sempat menjemputnya.

Yatnorejo merupakan generasi kelima dari awal berdirinya kampung pitu, dan saat ini sebagai wakil sesepuh adat di sana.

Menurut dia, di Kampung Pitu sebenarnya terdapat delapan rumah, tapi hanya tujuh di antaranya yang ditempati.

"Dari generasi pertama sampai saat ini tidak ada penduduk dari luar daerah yang tinggal di sini. Selain itu, jika penduduk sudah menikah pun harus keluar," kata Yatnorejo saat ditemui di rumahnya Kamis (25/3/2021).

Kepercayaan tinggal hanya tujuh kepala keluarga ini masih dipegang hingga kini.

Saat ini dia hanya tinggal bersama istrinya yang bernama Sumbuk di rumah limasan yang baru dipugar tahun lalu.

Padahal dia memiliki enam orang anak, dan saat ini mereka tinggal di luar Kampung Pitu. Sesekali anaknya tidur di rumahnya, tapi tidak tinggal bersamanya.

Kehidupan sehari-hari warga di Kampung Pitu sama seperti penduduk desa lainnya, sebagian besar dari warga beraktivitas pertanian dan beternak.

Menurut dia, sejarah berdirinya Kampung Pitu berawal dari sekitar Telaga Guyangan yang tak jauh dari rumahnya.

Untuk kampung pitu sendiri berasal dari kakak beradik Iro Dikromo dan Tirtosari yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah. 

Saat itu ada lahan kosong dan jadi penduduk di sekitar Telaga Guyangan, dan ada sayembara Keraton yang menjanjikan hadiah tanah bagi siapa saja yang mau dan mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung maka diperbolehkan tinggal di sana.

Hanya kedua orang inilah yang bisa tinggal di sekitar telaga guyangan, dan saat ini diberi nama Kampung Pitu.

"Meski memiliki banyak anak turun, tetapi setelah menikah hanya diperbolehkan tujuh kepala keluarga," kata Yatnorejo.

Tradisi masih dipegang teguh masyarakat

Yatnorejo menceritakan, Kampung Pitu memiliki pantangan menyelenggarakan wayang kulit. 

Pasalnya, gunung di sekitar desa itu diberi nama wayang, maka tidak boleh ada pertunjukan wayang kulit.

Hingga kini anjuran tersebut masih dipegang oleh masyarakat sekitar.

Selain itu, masyarakat sekitar tetap menjalankan siklus hidup seperti selamatan menjelang pernikahan hingga meninggal.

"Mau mendirikan rumah pun harus sesuai perhitungan masyarakat Jawa pada umumnya, harus ada hari yang tepat. Selain itu ada kenduri," kata Yatnorejo.

Meski berada di kampung yang cukup terpencil, tapi Yatnorejo bersyukur listrik sudah masuk.

Untuk berbelanja pun tetap harus ke wilayah lain, tapi tidak menjadi halangan karena jalan sudah mudah.


Yatnorejo bercerita belasan tahun lalu, warga sekitar jika ingin belanja memilih ke Pasar Piyungan, Bantul, yang jaraknya belasan kilometer karena lebih dekat dibandingkan ke Wonosari di Gunungkidul.

Nantinya, jika sudah tidak bisa bekerja atau sudah tua, maka Yatnorejo akan menyiapkan penerusnya untuk tinggal di rumahnya.

Satu dari enam orang anaknya akan ditunjuk menemaninya dan jika sudah meninggal akan meneruskan tinggal di Kampung Pitu. 

Meski sekarang sudah berubah, listrik sudah masuk, jalan sedikit mudah tetapi Kampung Pitu tetap terpencil jauh dari pusat keramaian.

Namun hal itu tidak menyurutkan generasi berikutnya untuk tinggal di sana.

Salah seorang menantu Yatnorejo, Sarjono mengaku ingin tinggal di Kampung Pitu nantinya.

Saat ini dia bekerja di sebuah pabrik di Sleman, dan lebih dekat jika berangkat dari Kampung Pitu.

"Ingin tinggal di sini suatu saat nanti," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/25/163724078/kampung-pitu-desa-di-gunungkidul-yang-hanya-dihuni-7-keluarga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke