Salin Artikel

Potret Korban di Museum Tsunami Aceh: yang Selamat, Hilang dan Wafat

Saat bencana alam itu terjadi, Asep sedang bertugas di Aceh sebagai pasukan Bantuan Keamanan Operasional (BKO) Brigade Mobil (Brimob) Resimen I Kedung Halang Bogor.

Setelah 17 tahun berlalu, pria yang diduga Asep ditemukan di RSJ Zainal Abidin di Banda aceh.

Gempa dan tsunami Aceh terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004.

Sebelum tsunami menyapu pesisir Aceh, terjadi gempa dangkal berkekuatan 9,3 SR di dsar Samudera Hindia pada Minggu pagi sekitar pukul 07.59.

Petaka tersebut dikenal dengan Christmas Tsunami karena terjadi pada 26 Desember 2004 atau sehari setelah natal.

Christmas Tsunami dikenang sebagai tsunami terdahsyat karena merenggut 230.000 orang di 11 negara dan sebagian besar korban adalah warga Aceh serta sebagian Sumatera Utara dan Nias.

Bangunan tersebut diresmikan pada 27 Februari 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat hadir sebagai pembicara nasional di Banda aceh pada Sabtu (26/12/2021), Ridwan menceritakan pengalamannya saat mendesain museum tsunami.

Sebelum mendesain, ia harus kembali melihat kembali rekaman vdeo tragedi 26 Desember.

"Ketika saya desain masjid, rumah, dan bangunan lain biasa saja, tapi ketika desain museum tsunami saya belum pernah dan susah. Awalnya saya hanya terpikir membuat museum memorial saja, tapi saya tidak mau seperti itu. Saya mau (museum itu menjadi) pengingat dan mendidik," ujar dosen Arsitektur ITB ini.

Konsep menginggat tapi tidak larut dalam kesedihan tersebut berhasil dipadukan.

Terciptanya kolam di permukaan museum sebagai penginggat tsunami dan di atasnya terdapat ruang memorial dan edukasi sebagai pendidikan mitigasi.

Harapannya, masyarakat Aceh dapat belajar menyelamatkan diri ketika tsunami kembali datang.

Desain Museum Tsunami karya Kang Emil memenangkan lomba sayembara desain museum tsunami Aceh pada 2007 lalu.

Karya Kang Emil berhasil menyisihkan 68 desain lainnya dan berhak mendapat hadiah Rp 100 juta.

Mengingat banyak kapal yang terdampar jauh ke pedalaman dan beberapa di antaranya bagaikan "perahu Nabi Nuh" menyelamatkan para penumpangnya.

Di museum tersebut tedapat rangkaian foto yang ditampilkan dalam gerak otomatis, mengganti sejumlah gambar.

Rangkaian foto Banda Aceh merekam setelah hempasan air laut setinggi 30-an meter menyapu tepi kota hingga ke pedalaman.

Foto-foto Banda Aceh yang luluh lantak, para penyintas yang tengah menyelamatkan diri, kapal-kapal menyangkut di atap rumah menjadi tontonan yang bisa memberi gambaran pada pengunjung.

Samar-samar terdengar rekaman suara perempuan menyanyikan lagu dalam bahasa Aceh, mengiringi langkah para pengunjung di jalan menurun yang landai.

Gelap, hening, suara dan percikan air akan membawa pengunjung yang baru masuk dari ruang terbuka menuju bagian dalam museum, memasuki lorong kenangan.

Terdapat jalan sempit menanjak yang di bagian kirinya terdapat pintu masuk ke ruang berbentuk kerucut, "sumur doa".

Pengunjung acapkali berdoa di ruang tersebut.

Keluar dari ruang kerucut, jalan menanjak berlanjut, mengitari kerucut itu, sebagai lambang bagi para penyintas yang masih harus berjuang untuk menyelamatkan diri, keluar dari pusaran air.

Di ujungnya terpampang ruang yang terang dan luas, atap gantung di langit-langit tembus pandang, berbentuk menyerupai kapal.

Di tempat tersebut ada bendera-bendera dari sejumlah negara tergantung dengan tulisan "damai" dalam berbagai bahasa.

Di bagian bawahnya terdapat "jembatan harapan" melambangkan harapan hidup bagi para penyintas dan membawa pengunjung berjalan menuju lantai berikutnya dari bangunan berlantai empat di museum tersebut.

Setelah melintasi jembatan, pengunjung akan diarahkan menuju ruang pamer berisi gambar dan diorama.

Ada juga ruang simulasi gempa dan tempat pengunjung dapat mempelajari sains terkait gempa dan tsunami.

Perjalanan berakhir pada ruang teater semi terbuka dengan tribun dan panggung tanpa dinding dan di seberangnya dikelilingi kolam ikan.

Bangunan museum bila dilihat dari atas, seperti yang terlihat pada maket, merupakan gambaran gelombang laut dan sekaligus sebagai dataran tinggi untuk penyelamatan.

Kehadiran Museum Tsunami Aceh penting untuk mengenang dan juga menjadi sarana edukasi.

"Sampai dengan 10 tahun lalu kata tsunami tidak saya kenal, demikian pula kebanyakan orang Aceh lainnya. Kini kata tsunami mempunyai makna bagi kami," kata Dr. Edi Darmawan, penyintas yang kehilangan kedua orang tuanya saat tsunami menyapu kampung halamannya.

Museum Tsunami Aceh terdiri dari empat lantai. Bagian atap menjadi lokasi penyelamatan dan perlindungan jika musibah gelombang tsunami melanda.

Museum ini memiliki luas sekitar 2.500 meter persegi. Arsitektur bangunan berbentuk melengkung ditutupi relief berupa geometris. Jika dilihat dari atas, bangunan ini menyerupai bak kapal.

Pada tahun 2019, Museum Tsunami Aceh terpilih sebagai museum terpopuler dari 400 museum di Indonesia yang masuk ke kategori.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Daspriani Y Zamzami | Editor Ni Luh Made Pertiwi F, Tri Wahono, Farid Assifa)

https://regional.kompas.com/read/2021/03/21/152000278/potret-korban-di-museum-tsunami-aceh-yang-selamat-hilang-dan-wafat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke