Salin Artikel

Mengenal Srinthil Tembakau Primadona dari Temanggung, Anugerah Tuhan di Lamuk Legok

Namun nama srinthil juga digunakan untuk tembakau khas dari Temanggung.

Tembakau srinthil adalah salah satu jenis tembakau berkualitas terbaik yang memiliki kandungan nikotin sangat tinggi.

Dikutip dari tulisan Elva Laily (2016) yang berjudul Srinthil, Pusaka Saujana Lereng Sumbing, harga srinthil pada tahun 2011 per kilo setara dengan harga satu gram emas 24 karat.

Harga tersebut sangat fantastis. Tercatat pada 2009 harga tembakau Srinthil mencapai Rp 500.000 hingga Rp 700.000/kg. Sementara tembakau rajangan bukan srinthil hanya berkisar Rp 125.000/kg.

Bahkan pada 2015, harganya tembus hingga Rp 1,25 juta/kg dan saat yang sama tembakau rajangan hanya Rp 55.000/kg.

Dari sumber koran lokal, pada 2018 harga tembakau srinthil mencapai Rp 550.000.

Beberapa desa yang menghasilkan srinthil adalah Desa Legoksari, Desa Tlilir, Desa Wonosari, Desa Losari, Desa Pagergunung, Desa Pagersari, Desa Wonotirto, Desa Banaran, Desa Bansari, Desa Gedegan, Desa Kemloko dan Desa Gandu.

Dikutip dari Indonesia.go.id, srinthil dari Dusun Lamuk Legok dan Dusun Lamuk Gunung lah yang memiliki kualitas terbaik.

Dua dusun tersebut berada di Desa Legoksari. Di desa tersebut juga cerita tutur tentang srinthil berawal.

Nama Lamuk konon berawal dari berakhirnya kekuasaan Raja Brawijaya ke-5 di Kerajaan Majapahit.

Kala itu hiduplah seorang mantan petinggi Majapahit yang bernama Tiknoyo Noto Yudho yang moksa di Gunung Sumbing.

Sebelum moksa, Tiknoyo melihat tempat yang samar yang dalam bahasa Jawa berarti nglamat-nglamat. Tempat mosak Tiknoyo dikenal sebagai nama nglamuk.

Para pengawal setia Tiknoyo kemudian melanjutkan membuka hutan dan mendirikan pemukiman. Lokasi tersebut dikenal dengan Desa Legoksari.

Ki Ageng Makukuhan adalah murid Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Ia berdarah China dengan nama asli Ma Kuw Kwan.

Selain belajar agama, dia juga belajar budi daya pertanian. Hingga suatu hari Sunan Kalijogo mengutusnya menyebarkan Islam di wilayah Kudus.

Selain menyebarkan agama Islam, Ki Ageng Makukuhan juga diminta mengajarkan soal pertanian pada masyarakat. Wilayah tersebut kemudian dikenal dengan hasil pertaniannya.

Sunan Kudus pun mengetahui keberhasilan Ki Ageng Makukuhan. Ia lalu mengutus santrinya yang bernama Bramanthi yang mengantarkan tiga macam bibit kepada Ma Kuw Kwan.

Bibit yang dibawa adalah bibit padi raja lele, bibit padi cempa, dan bibit yang kelak dikenal dengan tembakau.

Pertanian pun semakin berkembang. Ma Kuw Kwan pun dikenal dengan nama Kia Ageng Makukuhan. Dari cerita tutur, Makukuhan juga sering didatangi penduduk yang sakit untuk berobat.

Hingga suatu ada seseorang yang lumpuh datang ke Makukuhan. Saat itu, Makukuhan memberikan satu daun tumbuhan yang tak bernama, sambil berkata, “Iki tambaku,” yang berarti “inilah obatku.”

Dari sinilah asal usul kata tembakau, yang diucapkan dalam versi lebih singkat menjadi “mbako.”

Hingga saat ini, mbako adalah kata yang dipakai orang Jawa untuk menyebut tanaman tembakau.

Sementara itu nama Lamuk Legok juga tak lepas dari foklore kesaktian Sunan Kudus.

Hal tersebut berawal dari keluhan Ki Ageng Makukuhan karena penduduk lebih suka menanam padi dari pada tembakau.

Mendengat keluhan tersebut Sunan Kudus melemparkan idig atau rigen sambil berkata:

“Nek kowe arep miara godhong ‘tambaku’ sing piguna kanggo wargamu, tutna lakune idig kiye mengko tibane nang ngendi. Kui panggonan sing bakal metu tanduran godhong ‘tambaku’ sing apik.”

(“Jika kamu hendak menanam daun ‘obatku’ yang berguna buat warga masyarakat, ikutilah jalannya rigen ini nantinya jatuh di mana. Itulah tempat di mana akan muncul tanaman daun ‘obatku’ yang baik”)

Idig atau rigen yang dilemparkan oleh Sunan Kudus jatuh di Lamuk. Sebagian tanahnya amblas, melesak, dan membentuk cekungan, yang dalam bahasa Jawa disebut “legok.”

Wilayah yang secara topografis cekung inilah sekarang disebut Dusun Lamuk Legok.

Dari sanalah nantinya tembakau srinthil muncul sebagai hasil dari perpaduan pengetahuan lokal dan olah budidaya masyarakat petani plus kondisi alam di sana yang spesifik.

Pulung artinya adalah beroleh bahagia (anugerah, hadiah, pangkat dan sebagainya) atau laksana kejatuhan bintang.

Tembakau jenis ini juga tidak bisa diciptakan sebagai buah rekayasa olah budidaya keahlian dan pengetahuan masyarakat petani.

Srinthil benar-benar sepenuhnya anugrah alam dan Tuhan.

Dia tidak selalu muncul setiap musim panen di tiap tahunnya, juga tidak semua lokasi areal perkebunan tembakau di Temanggung bisa menghasilkan srinthil.

Secara kuantitas, jumlah srinthil nisbi tidaklah banyak. Dalam 10 kg tembakau rata-rata hanya terdapat kurang-lebih 1 kg.

Karena itulah tiap tiba masa mbakon yaitu istilah lokal untuk menyebut musim panen tembakau, wajar petani di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro itu selalu berharap sebagian tembakau hasil panenannya muncul dan menjadi kualitas srinthil.

Seandainya harapan itu terkabul jelas adalah ketiban pulung.

Kandungan nikotin di dalamnya srinthil sangat tinggi. Namun srinthil tidak untuk dikonsumsi langsung.

Srinthil dikenal memiliki peranan sebagai pembentuk rasa dan pemberi aroma bagi tembakau lainnya.

Masyarakat setempat menyebutnya “tembakau lauk.”

Dengan komposisi dan perbandingan 1 kg srinthil sebagai pembentuk rasa dan pemberi aroma bagi 100 kg tembakau-tembakau lainnya yang disebut dengan “tembakau nasi.”

https://regional.kompas.com/read/2021/03/21/002700878/mengenal-srinthil-tembakau-primadona-dari-temanggung-anugerah-tuhan-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke