Salin Artikel

Rumah Makan di Jalur Pantura Riwayatmu Kini....

KOMPAS.com - Sinar Minang namanya. Rumah makan yang menyajikan masakan-masakan khas Padang ini berada di jalur pantai utara (Pantura) Jawa, tepatnya di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Rumah makan ini dirintis oleh Jasman (63) dan adiknya, Zaenal (55), pada 2009.

Kala itu, kepopuleran Sinar Minang membuat pasangan kakak-beradik itu menjadi jutawan.

Pasalnya, rumah makannya tersebut selalu menjadi tempat melepas lelah sejenak bagi para pelintas jalur Pantura, khususnya arah Jakarta-Jawa Tengah.

Beberapa perusahaan otobus, seperti Sinar Jaya, Sindoro, Karya Sari, Royal Safari dan Lorena, turut singgah di sana.

Selama lima tahun, Sinar Miang menikmati hari-hari penuh kegemilangan.

Saking larisnya, rumah makan yang dibangun di lahan seluas 1.000 meter persegi ini sampai membuka tiga cabang yang juga berada di pesisir Pantura.

Cabang-cabang itu dimiliki oleh anggota keluarganya.

"Di sini (Indramayu), Cirebon dan Subang. Kalau di Subang milik adik saya lagi. Cirebon milik bibi saya dan di Indramayu milik adik saya (Zaenal) dan saya. Yang masih bertahan cuma yang di sini (Indramayu) dan Subang," terangnya.

Namun, masa-masa kejayaan itu mulai redup perlahan seiring dibukanya Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) pada 2015.

"Kini semuanya tinggal cerita sejak 2015. Saat itu pemerintah membangun Cipali (Cikopo-Palimanan) sebagai jalur alternatif dari tol. Maka sejak itu pendapatan mulai turun dan berkurang pesanan," ungkapnya saat ditemui Kompas.com, Kamis (18/3/2021).

Belum lagi ditambah adanya pandemi Covid-19 yang telah berlangsung setahun.

Kini, rumah makan yang dulu dipenuhi oleh hilir-mudik orang, menjadi lengang.

Bangunan Sinar Minang pun ada beberapa yang roboh. Semak-semak pun tanpa malu-malu tumbuh di sekitarnya.

"Semua menjadi kenangan dan hancur. Bahkan lokasi usahanya kini dijual. Bahkan yang ini (RM Sinar Minang) juga hendak dijual. Kalau minat silakan hubungi nomor di sana," kata bapak dari empat anak ini sambil menunjuk spanduk kecil berisi informasi penjualan bangunan.

Cerita yang hampir serupa juga dialami Rastinih (42).

Pada 2007 lalu, Rastinih bersama suaminya, Udi (50), membuka warung nasi jamblang dan sate di Lohbener, Indramayu.

Rastinih menuturkan, usaha kulinernya tersebut begitu digemari. Dalam sebulan, ia bisa mengantongi 6 juta Rupiah.

"Alhamdulillah, katanya punya saya enak. Bahkan penduduk sekitar juga banyak yang pesan karena ini mungkin khas Pantura, jadi sesuai selera mereka," ucapnya.

Seperti kisah Jasman dan Zaenal, dibukanya Tol Cipali membuat usahanya tersebut gulung tikar.

Bangunan rumah makannya sempat disewa sebuah perusahaan swasta.

"Saat itu kantor bank swasta yang menyewanya. Sebagai kantor kecil, untuk menawarkan modal-modal usaha kepada masyarakat sekitar. Tapi itu tidak berlangsung lama, hanya dua tahun," kenangnya.

Ibu dari tiga anak menyampaikan, setelah tidak disewakan, bangunan bekas rumah makannya tersebut tidak terurus.

Sebenarnya sempat ada orang yang ingin membeli bangunan itu untuk dijadikan toko pupuk dan obat-obatan tanaman. Akan tetapi, Rastinih enggan menjualnya.

"Nggak mau, untuk masa depan anak-anak saya. Karena ini aset dan juga lokasinya strategis di pinggir jalan," kata dia.

Baik di sekitar Sinar Padang maupun di rumah makan nasi jamblang milik Rastinih, terdapat bangunan-bangunan serupa.

Kondisinya kini sepi dan lapuk digerus waktu.

Bangunan-bangunan itu menjadi saksi bisu tentang suatu masa kejayaan yang pernah singgah di Pantura.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Majalengka, Mohamad Umar Alwi | Editor: Farid Assifa)

https://regional.kompas.com/read/2021/03/19/165642678/rumah-makan-di-jalur-pantura-riwayatmu-kini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke