Salin Artikel

Cerita Sukirno Alami Luka Bakar hingga Tak Punya Pori-pori dan Kehilangan Keluarga Saat Erupsi Merapi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Tahun 1994 tidak bisa dilupakan oleh Sukirno.

Pria yang saat ini berusia 55 tahun ini harus kehilangan anggota keluarganya karena menjadi korban erupsi Gunung Merapi yang menerjang Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman.

Tak hanya itu, Sukirno pun tak luput turut menjadi korban dalam peristiwa itu. Tubuhnya mengalami luka bakar 75 persen.

Sembari duduk di depan bunker Tunggularum, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Sukirno menceritakan detik-detik peristiwa kelabu yang terjadi pada tahun 1994.

Saat itu, Sukirno beserta istri dan kedua anaknya tinggal di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

"Waktu jam 3 (pagi) itu sudah ada tanda-tanda (aktivitas Gunung Merapi). Jam 7 pagi itu sudah merasakan hawa panas," ujar Sukirno sembari duduk santai di depan bunker Tunggularum, Kamis (28/1/2021).

Hari itu, Sukirno dan keluarga berencana menghadiri acara pernikahan di rumah tetangganya.

Setelah persiapan, Sukirno berangkat ke acara pernikahan bersama istri dan anaknya dengan mengendarai sepeda motor.

Tak lupa, Sukirno dan istri juga membawa bingkisan untuk diberikan kepada keluarga yang menikah.

"Waktu itu boncengan naik motor L2G Yamaha. Jadi yang menikah itu teman istri saya yang juga seorang guru," ungkapnya.

Sesampainya di lokasi, istri dan anaknya turun dari sepeda motor. Sukirno lantas memakirkan sepeda motornya.

Namun saat berjalan di halaman rumah tetangganya tersebut tiba-tiba Gunung Merapi mengalami erupsi memuntahkan awan panas.

Dusun Turgo pun tak luput terdampak awan panas tersebut, termasuk di lokasi acara pernikahan.

"Jadi gumpalan itu menuju ke tempat acara manten (pernikahan) itu jadi tiba-tiba. Istilahnya kita enggak bisa siap-siap," urainya.

Menurutnya, saat itu tidak ada tanda-tanda atau suara gemuruh sebelum terjadi awan panas tersebut.

"Saya baru sampai di halaman (rumah yang punya acara pernikahan), itu sekitar jam 11 , jadi dari kawah itu langsung terlempar ke sini. Itu bentuknya abu tapi masih gumpalan itu semakin dekat semakin besar dan cepat, pokoknya langsung gelap saja," tuturnya.

Terjangan awan panas tersebut membuat orang-orang panik. Sukirno sempat melihat orang-orang yang berada di acara  berlarian menyelamatkan diri. Namun juga ada yang tidak sempat melarikan diri.

Bahkan, dirinya bersama keluarga yang saat itu masih berada di halaman juga tak luput menjadi korban. Sekujur tubuh Sukirno terbakar cukup parah.

"Saya sudah kena abu sama awan panas itu, kulit semua sudah luka, sudah tinggal daging-dagingnya itu," tuturnya.

Di tengah situasi abu yang tebal,suhu udara yang panas dan tubuh terluka bakar, Sukirno melihat satu anaknya.

Bapak yang saat ini berusia 55 tahun ini pun spontan langsung  mengendong anaknya. Sekuat tenaga Sukirno membawa lari anaknya ke bawah.

Di tengah hujan abu yang tebal, Sukirno tidak menghiraukan luka bakar di tubuhnya.

Ia terus berlari menjauh sambil mengendong anaknya yang juga mengalami luka bakar. Namun naas, anaknya yang paling kecil tersebut meninggal dunia.

"Saya gendong lari ke bawah, saya gendong itu anak saya yang paling kecil. Lari terus pokoknya ke bawah, anak saya titipkan di rumah saudara yang tidak kena, kan tidak semua waktu itu kena awan panas," tuturnya.

Dari rumah saudaranya tersebut, Sukirno melihat sepeda motor yang ditinggalkan. Ia pun langsung menaiki sepeda motor itu ke rumah sakit.

"Saya langsung ke Sardjito (RSUP Dr Sardjito), di jalan itu saya dikawal karena disuruh berhenti saya tetap jalan terus, lampu merah tidak saya hiraukan. Sampai di Sardjito masih bisa jalan sendiri, saya juga tidak tahu bisa seperti itu," urainya.

Sukirno harus mendapat perawatan intensif di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Ia dirawat lebih kurang empat bulan. Selama di rumah sakit, Sukirno sempat menjalani beberapa operasi.

"Di rumah sakit ada kalau empat bulan, awalnya saya dirawat oleh dokter dari Jepang," ungkapnya.

Ia pun harus menerima kenyataan pahit.  Keluarganya meninggal dunia dalam peristiwa tanggal 22 November 1994 tersebut.

"Ayah, ibu, istri dan anak dua meninggal semua, kalau itu sudah takdirnya saya terima. Kejadian 94 itu kejadian yang pahit dalam hidup saya," bebernya.

Sepulang dari rumah sakit, Sukirno tinggal di Dusun Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman. Selama di rumah Sukirno setiap hari melatih menggerakkan anggota tubuhnya.

Sekitar satu tahun, Sukirno mampu beraktivitas normal kembali.

"Saya gerakan tiap hari ya sakit tapi saya paksa, kalau tidak ya lengket, kaku. Pelan-pelan saya latihan jalan tiap pagi, sampai bisa normal lagi, tapi saya sekarang tidak punya pori-pori kulit, kalau dingin ya dingin," ucapnya sembali menunjukkan bekas luka bakar di lengan kirinya.

Sukirno saat ini tinggal bersama keluarga barunya di Dusun Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman. Sukirno bekerja sebagai penjaga bunker di Dusun Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman.

"Dulu saya sering nongkrong di sini, nah atasan BPBD itu ke sini, Saya tawari bekerja di sini, ya saya mau saja," ungkapnya.

Menurutnya, pada tahun 1994 alat-alat peringatan dini belum secanggih saat ini. Waktu itu warga hanya menggunakan alat seperti kentongan untuk memberi tahu jika terjadi bahaya, seperti awan panas.

"Belum canggih seperti sekarang, kalau (Gunung Merapi) mau mengeluarkan (awan panas) tanda-tanda yang dibunyikan Bende sama kentongan. Nah yang dulu (1994) itu belum sempat memukul sudah terjadi (awan panas) dulu," ucapnya.

Sukirno menyampaikan mitigasi bencana salah satunya untuk erupsi Gunung Merapi itu penting. Sebab berguna agar mengurangi jatuhnya korban jiwa jika sewaktu-waktu terjadi erupsi.

Masyarakat, lanjutnya, hidup berdampingan dengan Gunung Merapi dan tetap meningkatkan kesiapsiagaan. Selain itu juga harus mematuhi instruksi dari pihak-pihak terkait dan pemerintah.

"Mematuhi instruksi pemerintah iya, kalau saya diminta turun ya saya turun," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/02/08031641/cerita-sukirno-alami-luka-bakar-hingga-tak-punya-pori-pori-dan-kehilangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke