Salin Artikel

Cerita Mbah Asih Sang Juru Kunci, Penjaga Pintu Gunung Merapi

Dialah juru kunci Gunung Merapi pengganti mendiang Mbah Maridjan.

Pada suatu pagi di akhir November, Mbah Asih, begitu dia kini disapa, sedang duduk-duduk di beranda bersama ibu, istri, dan dua anaknya saat ia berkata, "Status Merapi sudah naik menjadi siaga."

Rumah Asih terletak di lereng Merapi, yakni di Karang Kendal, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, delapan kilometer dari puncak Gunung Merapi.

Sebagai juru kunci, informasi status Merapi itu tak hanya dia kabarkan kepada keluarganya.

Dia juga bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat, termasuk mengimbau supaya mereka berhati-hati dalam menjalankan kegiatan.

"Kami sebagai juru kunci mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaaan," ujar lelaki yang sekarang memiliki gelar Mas Kliwon Surakso Hargo.

Sebagai juru kunci penerus Mbah Maridjan, lelaki berusia 54 tahun itu berkewajiban melaksanakan tugas dari Keraton Yogyakarta untuk melakukan Labuhan Merapi setahun sekali.

Bagi Asih, Labuhan Merapi yang diadakan setiap Bulan Rajab dalam penanggalan Jawa, adalah acara spiritual dari Keraton Yogyakarta yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rejeki dan nikmat kehidupan kepada masyarakat, khususnya di sekitar Gunung Merapi.

Dalam ritual itu, Juru Kunci Merapi berperan memimpin doa.

"Bersyukur dan memohon keselamatan kepada Allah, agar warga Merapi mendapat keselamatan dan rejeki yang banyak," ujar Asih, menjelaskan kepada BBC News Indonesia.

Dan di pagi itu, Asih memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa Merapi adalah sahabat karena ketika kondisi Merapi berstatus aman dan normal, Merapi memberikan kesuburan tanah untuk bercocok tanam, memberikan rumput segar untuk pakan ternak, dan memberikan pasir yang melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

"Makanya kita harus selalu menjaga alam dan jangan sampai merusak, tidak boleh menebang kayu seenaknya, merusak pepohonan, tapi kita harus memelihara," kata Asih kepada keluarganya yang meriung di teras rumah.

Menurut Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, peralatan BPPTKG untuk melakukan pemantauan Gunung Merapi sangat lengkap seperti Seismometer untuk mendeteksi kegempaan atau getaran, dan Global Positioning System (GPS) serta Electronic Distance Measurement (EDM) untuk mengukur deformasi atau penggembungan pada badan Gunung Merapi.

Menurut Hanik, tim informasi BPPTKG terus memberikan informasi dan sosialiasi kepada masyarakat serta telah berkoordinasi kepada instansi terkait, seperti ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

BPPTKG merekomendasikan untuk mengosongkan kawasan yang berada di dalam radius lima kilometer dari puncak Merapi masuk kawasan yang berbahaya.

Sementara BPBD dan sejumlah warga sekitar terus melakukan pengamatan di sejumlah tempat.

Mereka juga menjaga dan menutup akses jalan ke lokasi-lokasi wisata yang berada di daerah rawan seperti lokasi wisata Klangon Kalitengah Lor yang jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi.

Menurut Kepala BPPTKG Hanik Humaida, lembaganya selalu memperbarui data dan informasi yang kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai fasilitas media sosial dan aplikasi agar mudah diakses.

"Masyarakat agar mengikuti informasi dari kami dan imbauan pemerintah setempat. Tentunya berita informasi yang resmi dari pemerintah," kata Hanik.

"Kalau ada sesuatu, kami ikut berperan menginformasikan kepada masyakat agar mereka bisa segera tahu," katanya.

Hanik pun mengaku berkoordinasi dengan Asih sebagai Juru Kunci Merapi untuk menyampaikan informasi aktivitas terbaru Gunung Merapi. Asih juga pernah datang ke kantor BPPTKG untuk melihat aktivitas orang-orang di BPPTKG dalam melakukan pemantauan Merapi.

"Saya kira informasi dari BPPTKG diikuti Mas Asih, beliau juga mengikuti perkembangan dari kami," kata Hanik.

Informasi tentang aktivitas Merapi dari BPPTKG yang menggunakan teknologi modern itu lebih populer di masyarakat generasi sekarang yang lebih karib dengan dunia digital dan internet.

Beberapa masyarakat generasi sekarang lebih mempercayai informasi dari lembaga seperti BPPTKG karena berbasis data dan bisa dan menggunakan teknologi canggih.

Rustiningsih Dian Puspitasari (20), seorang mahasiswi salah satu univeristas swasta di Yogyakarta, mengaku lebih memilih informasi dari BPPTKG soal aktivitas Merapi karena merupakan lembaga resmi pemerintah dan bisa dipercaya data-datanya.

"Kita realistis saja. Lebih memilih informasi di berita atau lembaga yang sudah menyediakan informasi itu karena mereka berbasis data," katanya.

Menurutnya, dia akan melihat informasi dari lembaga seperti BPPTKG dan juga informasi dari Juru Kunci Merapi karena keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda.

"Kalau saya dua-duanya harus dilihat, dari sudut pandang BPPTKG dan dari sudut pandang pandang leluhur kita," kata Ismi yang masih kuliah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta.

Mayoritas kaum muda yang mengedepankan teknologi pun sepakat bahwa keberadaan Juru Kunci Merapi harus tetap dipertahankan sebagai pelestari yang menghidupkan kearifan lokal warga Merapi dan penjaga tradisi.

"Menurut saya pribadi masih penting, karena (Juru Kunci Merapi) salah satu warisan budaya dan leluhur kita masih mempercayai adanya juru kunci di gunung tertentu, jadi masih perlu," kata Ismi.

Meskipun begitu, ada pula yang berkata tidak semua orang percaya pada hal-hal mistis dan gaib yang lekat dengan predikat juru kunci.

"Lebih penting ke data yang berbasis teknologi dari pada juru kunci yang mungkin bagi orang basisnya mistis atau hal gaib. Kalau bicara secara keilmuan bisa dibuktikan dengan bukti dan data serta ada alat untuk mengukur apakah statusnya naik atau turun."

"Kalau juru kunci ini kan kayak kita percaya dan nggak percaya," kata Katarina Widhi Arneta Sari, mahasiswi kampus swasta di Yogyakarta.

Bagaimana tanggapan Asih? Disamakan dengan paranormal atau dukun, Asih hanya tersenyum. Tugas Juru Kunci Merapi, bagi Asih sejatinya adalah sebagai pelestari kearifan lokal warga lereng Merapi serta penjaga budaya tradisional dan kesenian.

"Mungkin ada spiritualnya, seperti Labuhan. Tapi Juru Kunci bukan paranormal, bukan dukun, dan juga bukan kiai," ujar Asih yang juga bekerja sebagai karyawan administrasi di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia (UII).

Terlebih bagi masyarakat Yogyakarta yang tidak bisa melepaskan kepercayaan adanya sumbu imajiner dari Merapi, Tugu, Keraton, dan terus ke selatan sampai Laut Selatan.

"Jadi Juru Kunci itu penjaga pintu masuk," katanya. Melihat posisi Keraton Yogyakarta yang berada di tengah-tengah Gunung Merapi dan Laut Selatan, kata Heddy, maka perlu adanya penghubung yang disebut juru kunci.

Sebagai penjaga pintu, lanjut Heddy, ketika terjadi sesuatu maka juru kunci bisa memberi tahu. Misalnya kalau gunung akan meletus, juru kunci bisa memberi informasi dan orang di sekitarnya bisa mengungsi.

"Jadi bukan hanya kegaiban, tapi ada fungsi jelas, memberikan informasi kepada masyarakat," kata Heddy.

Fungsi Juru Kunci sebagai pemberi informasi mungkin bisa tergantikan dengan adanya lembaga resmi pemerintahan yang menyajikan informasi tentang aktivitas Merapi, seperti BPPTKG atau lembaga lain.

Namun menurut Guru Besar yang juga menjabat Ketua Senat Fakultas Ilmu Budaya UGM ini, teknologi modern hanya menggantikan yang empirik, dan belum bisa menjangkau sesuatu yang gaib.

Dan di sinilah fungsi Juru Kunci Merapi tidak tergantikan. Dia masih diperlukan untuk memimpin ritual Labuhan.

"Selama masih ada Keraton, Labuhan tetap ada dan selama itu pula Juru Kunci Merapi tetap ada," kata Heddy.

"Siapa yang akan membimbing naik gunung, siapa yang akan menyelenggarakan Labuhan, bukan BPPTKG, tapi Juru Kunci Merapi," katanya.

Kolaborasi di antara keduanya, sebut dia, bisa membuahkan hasil lebih baik.

"Kolaborasi antara kearifan lokal dengan tekonolgi ini pasti memberikan hasil yang baik. Dan saat ini saya kira local wisdom itu sudah berkoordinasi baik dengan kami," kata Hanik.

Menurut Heddy, kolaborasi ini juga bisa memberikan hasil yang maksimal dan meminimalisir korban bencana.

"Sinergi untuk mitigasi bencana itu bagus, tapi soal Labuhan itu (Juru Kunci Merapi) tidak bisa tergantikan," kata Heddy.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/20/07080001/cerita-mbah-asih-sang-juru-kunci-penjaga-pintu-gunung-merapi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke