Salin Artikel

Film Jamal, Kisah Tentang "Janda Malaysia" di Lombok

MATARAM, KOMPAS.com - Sebuah lanskap perbukitan yang tandus dangan sebatang pohon bidara yang berdiri tegak di kanan layar dan sebuah rumah gubuk beratap ilalang di bagian kiri, adalah frame tunggal film ini. 

Seorang perempuan menjemur pakaian di samping rumah bedeknya, sekitar 50 meter dari rumah itu di bawah pohon Bidara anak perempuannya tengah bermain ayunan.

Suara angin dan gonggongan anjing kampung membuka dialog dengan teriakan seorang anak yang berlari bersama kawannya.

Sementara seorang anak perempuan, yang diperankan Maizatunnauri tengah bermain ayunan di bawah pohon Bidara.

"Saik, saik, tuake, saik (bibi, bibi, paman, bibi)," teriak sang anak dalam film itu dengan bahasa Sasak (bahasa daerah warga Lombok) yang khas.

"Kemben tuakme, ye olek? (Kenapa pamanmu? dia pulang?) " teriak perempuan, yang dimainkan Sauri alias Inaq Oza.

"Aok (ya)," jawab si anak.

Tak ada dialog lanjutan setelah itu, hanya suara sirine dari mobil ambulans muncul dari arah pohon menuju gubuk, dan tangis si perempuan yang pecah melengking, lalu reda dan sesekali kembali meninggi.

Adegan berikutnya adalah kesibukan sejumlah orang mempersiapkan prosesi pemakaman jenazah di bawah pohon bidara.

Kisah haru itu adalah bagian dari film Jamal (janda Malaysia) karya sutradara Muhammad Heri Fadli (25), sineas muda asal Lombok Timur.

Film pendek berdurasi 14 menit itu adalah satu dari 128 film yang masuk dalam NETPAC Asian Film Festifal (JAFF) 2020, yang dilaksanakan secara virtual 25-29 November tahun ini.

Pada Kompas.com, Senin (30/11/2020), Heri sang sutradara mengatakan, film Jamal bercerita tentang nasib janda Malaysia (Jamal) di Lombok, yang jumlahnya sama banyak dengan jumlah kepergian lelaki para suami mereka, yang angkat kaki dari tanah kelahirannya menuju negeri tetangga, mengadu nasib agar hidup lebih baik.

"Para Jamal dihadapkan pada dua kemungkinan, mendapati suami mereka pulang dengan selamat, atau menerima kenyataan suami mereka pulang dalam peti mati," Kata Heri.

Keberadaan Jamal di Lombok, NTB adalah sebuah keniscayaan. Ketika mereka ditinggalkan ke Malaysia, mereka menyandang sebutan Jamal. 

"Mereka tetap adalah Jamal, mereka adalah orang orang yang tidak punya pilihan. Itulah yang ingin saya potret dalam film pendek ini," kata dia.


Ia bahagia ketika melihat teaser atau potongan film dalam opening NETPAC Asian Film Festifal (JAFF) 2020 dibuka oleh gambar sebuah pohon bidara dan rumah bedek yang sangat sederhana, di bukit Gawah Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, NTB.

"Saya bahagia sekali film Jamal ini menjadi pembuka di teaser Jaff 2020, rasanya seperti mimpi, bahagia saya," kata Heri.

Film yang berdurasi 14 menit itu hanya satu frame atau angle pengambilan gambar dan dilakukan dengan konsep extreme long shot dengan gambar-gambar siluet.

Heri bangga filmnya masuk kembali dalam JAFF 2020 karena ada film pendek dari daerah yang bisa menjadi bagian dari 71 film pendek dari 128 film, 57 di antaranya film fitur, yang diputar pada JAFF ke-15 dan diikuti 29 negara seperti Australia, Hongkong, Kamboja, Vina, Denmark, Jerman, Hongkong, India, Iran, Jepang, Kazakhastan, alaos, Lebanon, Malaysia, Myanmar, Tibet, Norwegia dan Indoneaia.

"Ini hal yang patut kami syukuri karena tidak mudah masuk dalam JAFF, meskipun film pertama saya Sepiring Bersama masuk di JAFF 2018 silam, apalagi kami bisa memberi potret tentang daerah ini melalui film pendek Jamal," kata Heri.

Potret nasib TKI Lombok

Heri mengatakan, melalui film pendek Jamal, dia ingin menyuarakan nasib TKI dan keluarganya.

Baginya, kehidupan TKI tak asing karena di Dusun Aik Paek, Desa Pengonak, Kecamatan Praya Timur, LombokTengah, dia melihat secara nyata bagaimana para pemburu nasib di negeri seberang itu lebih memilih angkat kaki dari negeri sendiri demi kehidupan yang layak.

Dia ingin memberi gambaran yang berbeda tentang nasib para perempuan yang ditingal mengandu nasib.

Baginya, stigma Jamal selama ini kerap negatif di masyarakat, padahal mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki pilihan hidup lagi.

"Mereka itu bertahan dan merawat hidupnya, itulah Jamal yang sebenarnya, bukan Jamal yang digambarkan sebagai perempuan pengoda, mereka rela melakukan pengorbanan yang sangat besar, sanggup mengilangkan kebahagiaan bersama suaminya, demi hidup yang layak," kata Heri.

Putu Yudistira, produser film Jamal mengatakan, sangat tertarik ketika mengetahui konsep film yang ditawarkan Heri sang sineas muda ini.

Sebagai seorang staf Badan Pusat Statistik (BPS) NTB yang kerap berkutat dengan angka, termasuk jumlah orang yang angkat kaki dari tanah kelahirannya menuju negara tetangga, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea hingga Brunai Darussalam, Yudia tergerak untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat.

"Saya selama ini terlalu sering melihat angka-angka, termasuk tentang TKI ini, apalagi Jamal, kemudian bagaimana caranya angka-angka itu bisa muncul ke publik dengan cara berbeda, yang lebih menyentuh, saya merasa cocok dengan konsep Heri Fadli ini," kata Yudis.

Yudis menggambarkan, ribuan data yang diolah BPS selama 5 tahun terakhir cukup mengambarkan potret TKI di NTB, yang tentu tidak lepas dari masalah, termasuk kematian TKI di luar negeri.


Data yang dihimpun BPS terkait kematian TKI dan yang tercatat secara resmi berdasarkan data yang diterima dari BP3TKI NTB, pemulangan jenazah TKI ke NTB dari berbagai negara sebagian besar dari Malaysia, tercatat telah 9 orang yang dipulangkan tak bernyawa tahun 2020.

Angka tertinggi tahun 2019 sebanyak 73 jenazah, 2018 62 jenazah dan 51 jenazah tahun 2017 silam.

"Gambaran itu jelas bagi kita betapa berisikonya mereka yang pergi mengadu nasib ke negeri orang, apalagi mereka yang berangkat secara ilegal, tentu kematian mereka tidak tercatat secara resmi jika keluarga dan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) tidak melapor," ujar Yudis.

Sebagai orang yang berada di lingkungan birokrasi, Yudis menyadari tidak punya ruang gerak terlalu bebas.

Namun, dengan memberi suntikan semangat pada sineas muda melalui data-data yang sebenarnya bisa diakses mudah melalui website BPS, dia yakin data mengejutkan terkait TKI jika dibahasakan lewat film pendek bisa lebih mudah diterima publik.

Dana pembuatan film pendek yang bisa tembus JAFF 2020 ini, kata Yudis, tidaklah besar, hanya Rp 10 juta.

"Semangat seluruh yang terlibatlah yang sangat mahal dan tak terhitung dengan besaran dana, mereka merasa film ini adalah napas hidup keseharian mereka, sebagai produser saya merasa ini bukan sekadar karya, tetapi lebih pada penghargaan hidup setiap orang termasuk TKI dan keluarganya," kata Yudis.

Masyarakat juga perlu tahu, bahwa penyumbang devisa terbesar di negeri ini adalah TKI, bayangkan saja di NTB remitansi tiap tahunnya lebih dari Rp 1 triliun.

Sebagai gambaran, kata Yudis, dari data yang dihimpun BPS dari Bank Indonesia dan Kantor Pos saja, remitansi tahun 2019 sebesar Rp 1,22 triliun, 2018 Rp 1,31 triliun, 2017 Rp 1,56 triliun, 2016 Rp 1,8 triliun, dan tahun 2015 Rp 1,7 triliun.

Adopsi pertunjukan wayang sasak

Jika menonton film pendek Jamal ini dapat merasakan betapa singkatnya peristiwa yang terjadi, namun menyisakan keperihan yang mendalam.

Pilihan Heri sebagai penulis sekaligus sutradara mengunakan warna kelabu dari awal hingga film ini berakhir adalah tayangan kepedihan yang panjang dan dalam.

Film dengan 13 orang pemain ini juga tidak "cerewet" dengan dialog-dialog, namun syarat makna.

Musiknya hanya suara angin, gongongan anjing kampung dan diakhiri tiupan seruling yang dalam menusuk dada. Musik yang digarap Mantra Ardhana sangat kuat meskipun simpel.

Heri juga menjelaskan panjang lebar akan konsep film pendeknya ini, termasuk pilihan setting yang tidak biasa atau anomali bagi sebuah tawaran visual.

Dalam film ini dia menampilkan one frame seperti menonton pertunjukan wayang sasak yang hanya melihat bayang-bayang dari depan kelir atau layar.

"Karena itu warnanya flat, wayang kan hitam putih, tidak perlu ribet cara menceritakan film itu. Konsep saya adalah setiap obyek yang bergerak dalam visual adalah pengantar cerita baru. Jadi, misal menonton dalam layar kebar itu, penonton akan menunggu obyek apa yang akan bergerak lagi. Saya mengadopsi konsep wayang, single frame tapi kaya makna," terang dia.

Heri mengaku, melakukan observasi lapangan selama 4 bulan, menginap di lokasi shooting 3 hari 4 malam dan pengambilan gambar hanya memburuhkan waktu 38 menit.


Jarak antara bukit dengan kamera, 500-600 meter.

"Sebenarnya lebih ribet dari konsep yang biasa, konsep ini benar benar panjang sebelum pengambilan gambarnya, " kata Heri.

Meski demikian, semua properti dalam tiap adegan detail disiapkan, misalnya peti mati yang dibuat sama persis.

Pilihan pohon di sebelah kanan dan rumah di kiri, serta garis bumi di bawah, adalah gambaran kehidupan menengah ke bawah, bahkan lebih bawah lagi, masyarakat dengan tingkat kemiskinan paling rendah.

Film Jamal ditutup dengan berakhirnya pemakaman, orang-orang pergi satu persatu. Tersisa perempuan dan anaknya di dekat pusara.

Perlahan mereka pun meninggalkan pohon bidara kembali ke gubuk, mengangkat sisa jemuran, tak ada lagi tangis, tanpa kata-kata, melanjutkan hidup mereka, tanpa ayah, tanpa suami, tanpa pahlawan mereka.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/01/00191551/film-jamal-kisah-tentang-janda-malaysia-di-lombok

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke