Salin Artikel

Kisah Nia, Dulu Ditolak Kerja karena Cacat, Kini Punya 42 Karyawan Usaha Nata De Coco

Betapa tidak, dengan segala keterbasan yang dimiliknya, ia mampu merintis usaha nata de coco dari yang tidak punya karyawan hingga kini memiliki lebih dari 42 karyawan.

Ya, Nia, panggilan akrab Enok Sri Kurniasih adalah seorang penyandang disabilitas atau difabel. Tangan kanannya putus saat ia mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Alas Roban, Semarang, tahun 1995 silam.

Ditemui di pabrik nata de coco miliknya, Senin sore (9/11/2020), Nia menceritakan jatuh bangun dalam menjalankan usaha tersebut. Dia mengatakan, pasca selesai kuliah, ia melamar ke sejumlah perusahaan.

Namun karena mengalami keterbatasan fisik, pekerjaan sulit didapat. "Sangat sulit cari kerjaan. Tapi Alhamdulillah, Allah membuka kerjaan yang lain bagi saya," jelas Nia.

Sulit cari kerja, pilih buka usaha nata de coco

Saat itu, ia dan suaminya mencoba usaha pembuatan nata de coco. Usaha ini dipilih karena bahan baku yang sangat melimpah.

"Prospek kedepan sangat cerah, pasar sangat luas dan bahan baku sangat banyak. Tersedia setiap saat," kata Nia.

Wilayah Kabupaten Ciamis, memang penghasil kelapa, yang airnya menjadi bahan baku nata de coco.

Dipilihnya usaha ini, karena Nia memiliki sedikit pengetahuan dalam hal pembuatan nata de coco. Dia sebelumnya pernah bekerja di perusahaan nata de coco.

Dengan modal tersebut, usaha nata de coco ini mulai dirintis tahun 2006. Nia mengumpulkan air kelapa yang dibuang atau limbah, dari tempat pemarutan kelapa, tukang minyak kelapa hingga tukang wajit.

"Bahan yang ada kita olah. Dari tadinya limbah kita manfaatkan, sehingga bernilai ekonomis," katanya.

Sempat terseok, lalu jadi mitra binaan BI

Usaha yang digelutinya tidak selamanya berjalan mulus. Sejak dirintis tahun 2006, usahanya terseok-seok dan sempat vakum.

"Tahun 2009 mulai bangkit. Tahun 2014, saya mendapat pembinaan dari Bank Indonesia, kantor wilayah Tasikmalaya," katanya.

Ketika awal membuka usaha, Nia kesulitan dalam memproduksi nata de coco. Dia mengakui bahwa dirinya bukan ahli fermentasi.

Namun dengan niat yang kuat, Nia terus belajar dan memperdalam ilmu tentang fermentasi tersebut. "Dengan terus belajar, semuanya bisa diatasi," jelasnya.

Nia juga merasa terbantu dengan adanya siswa SMK yang melaksanakan kegiatan pra kerja dan mahasiswa perguruan tinggi yang melakukan kuliah kerja nyata hingga penyusunan tesis dengan meneliti usaha nata de coco di tempatnya.

"Banyak orang yang menyusun skripsi, secara tak langsung saya belajar juga dari sana (mahasiswa). Kita sinergitas dengan dunia pendidikan, simbiosis mutualisme. Berbagi ilmu," ujar Nia.

"Sekarang, Alhamdulillah sehari memproduksi 4-5 ton nata de coco. Dalam sebulan antara 80-100 ton," jelasnya.

Nia berhasil memproduksi nata de coco dalam jumlah banyak ini tak lepas dari alat kondensor untuk memanaskan air kelapa. Jika memasak pakai dandang, kata dia, waktu yang dibutuhkan hingga air kelapa mendidik adalah 2 jam.

"Pakai kondensor, 10 menit sudah mendidih," jelasnya.

Nata de coco yang diproduksi Nia, dipasok ke sejumlah perusahaan besar yang ada di Jabodetabek, Lampung, Yogyakarta, hingga Solo. Perusahaan besar memakai nata de coco buatan Nia, karena barang yang diproduksi merupakan produk unggulan.

"Barang masuk ke industri-industri (nata de coco) dan pengepul-pengepul, atau pengolahan sari kelapa. Kuitas kita ikut standar pabrik," jelasnya.

Selain memasok ke industri, Nia juga memproduksi minuman olahan nata de coco. Produk minuman ini bahkan sudah memiliki sertifikat halal.

Terdampak pandemi corona, ini siasat Nia

Usaha pembuatan nata de coco yang digeluti Nia juga terimbas pandemi Corona atau Covid-19. Dia pernah tak bisa memasok barang ke Jabodetabek.

"Sangat berpengaruh. Total enggak bisa kirim ke pabrik-pabrik," ujarnya.

Namun Nia tak berdiam diri. Dia berusaha agar barang hasil produksinya tetap bisa dijual. "Kita coba menjual ke yang lain," katanya.

Caranya, jelas Nia, barang dijual ke pasar tradisional. Dia memberdayakan ibu-ibu pedagang pasar untuk mengambil barang langsung ke tempatnya.

"Ketika pabrik enggak bisa masuk, Alhamdulillah barang bisa kita jual ke pasar tradisional," katanya.


Penyebab Nia jadi difabel, busnya masuk jurang

Nia menjadi seorang difabel setelah bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan lalu lintas di Alas Roban. Busnya masuk jurang. "Tangan kanan saya putus, terhimpit sekat kaca bus," katanya.

Saat itu, Nia hendak menuju Universitas Udayana, Bali. Nia yang aktif di organisasi kemahasiswaan akan mengikuti Kemah Wanabakti. "Saya senang ikut Pramuka, dan aktivitas kemahasiswaan yang lainnya," katanya.

Namun nasib berkata lain, bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. "Sejak saat itu saya difabel," ucapnya.

Meski mengalami keterbatasan fisik, tak menyurutkan Nia untuk berkarya. Dia bertekad untuk membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan halangan.

"Saya harus buktikan. Saya ingin jadi motivasi bagi difabel lainnya. Jangan putus asa, jangan menyerah," tegasnya.

Nia menegaskan, tidak ada sesuatu yang tak mungkin. "Segala sesuatu bisa karena dibiasakan," jelasnya.

Berdayakan ibu-ibu tetangga hingga mantan TKW

Nia memberdayakan warga sekitar untuk membantunya memproduksi nata de coco. Awal berdiri, hanya Nia dan suami yang membuat nata de coco.

Seiring berkembangnya perusahaan miliknya, Nia membutuhkan bantuan karyawan untuk memproduksi barang. Dia pun memberdayakan ibu-ibu warga setempat untuk mengolah air kelapa hingga menjadi nata de coco.

"Yang di sini ada 42 orang (karyawan). Selain itu ada penyuplai air kelapa, pemasok kayu bakar. Total bisa lebih dari 42 orang," katanya.

Salah satu karyawannya adalah Rumsini. Dia baru bekerja selama 2 tahun di perusahaan nata de coco tersebut. "Sebelumnya, saya TKW di Malaysia," kata Rumsini.

Rumsini mengaku lebih baik bekerja di tempat Nia, daripada bekerja di luar negeri. Kerja di luar negeri sistemnya kontrak. "Di sini dekat rumah, dekat keluarga," katanya.

Rumsini diberi upah harian di perusahaan nata de coco tersebut. Dia dibayar Rp 35.000 dengan lama kerja 8 jam sehari. "Lumayan bisa bantu-bantu perekonomian keluarga, bisa bantu suami," katanya. 

https://regional.kompas.com/read/2020/11/10/07400571/kisah-nia-dulu-ditolak-kerja-karena-cacat-kini-punya-42-karyawan-usaha-nata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke