Salin Artikel

Erupsi Merapi 10 Tahun Lalu, Pandu Kenang Saat Terobos Hujan Abu untuk Antarkan Oksigen

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Sepuluh tahun silam Gunung Merapi mengalami erupsi besar.

Pada saat terjadi erupsi tersebut, Maximinus Calbe Pandu Bani Nugroho masih berusia 20 tahun.

Panggilan kemanusiaan, membuat warga Wonogiri, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman ini nekat menerobos pekatnya abu dan hujan pasir erupsi Merapi untuk membantu keluarga yang terjebak di rumahnya.

Bahkan Pandu harus menahan sakit di kedua kakinya akibat terbakar.

Pandu, panggilan Maximinus Calbe Pandu Bani Nugroho menceritakan, pada saat erupsi tanggal 26 Oktober 2010 posisinya berada di Rumah Wonogiri, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

"Saya terus naik ke Kaliurang, untuk bantu-bantu ngecek yang di sana. Sekitar pukul 8 (malam) di jalan saya ketemu Bapak di Gapura Gondang dan Mas Wawak," ujar Pandu saat dihubungi Kompas.com, Senin (26/10/2020).

Ketiganya kemudian memutuskan untuk bersama-sama ke atas. Saat itu, Pandu mengendarai motor trail sedangkan ayahnya dan satu orang lagi naik mobil pick up.

Di perjalanan ketiganya bertemu dengan sejumlah relawan yang sedang mengevakuasi korban.

"Di pertigaan Ngrangkah itu bertemu beberapa relawan yang mengevakuasi korban dari atas, Saya ingat korban yang diangkat itu masih hidup. Terus dinaikkan ke atas mobil (pick up), Bapak dan Mas Wawak naik pick up turun membawa ke (RS) Panti Nungroho," ungkapnya.

Di Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, Sleman, Pandu mendapat pesan dari ayahnya. Saat itu ayahnya berpesan agar jika akan naik jangan berpisah denganya.

"Ya saya merasa bersalah, karena Bapak itu sudah pesan jangan pisah sama saya (bapak). Tapi malah pisah, bapak lewat jalan Cangkringan, saya lewat jalan Kaliurang," urainya.

Namun sebelum naik, Pandu lebih dulu pulang ke rumah. Pandu pulang ke rumah untuk mengambil sepatu.

Setelah mengenakan sepatu, dengan mengendarai motor trail, Pandu sendirian melaju naik ke Kinahrejo.

"Sampai di Kinahrejo saya kaget kondisinya sudah seperti itu, bau belerang itu kuat banget. Malam itu saya membantu-bantu evakuasi korban bersama yang lainya," ungkapnya.

Ketika turun, Pandu bertemu dengan tim SAR. Saat bertemu itu, Tim SAR mendapat informasi jika ada tim di sekitar Kali Adem yang sedang mengevakuasi satu keluarga membutuhkan oksigen.

"Informasi awal ada satu keluarga terjebak butuh oksigen. Saya menawarkan diri, jadi misi saya itu mengantar oksigen ke sana," tuturnya.

Pandu kemudian berangkat ke lokasi bersama dengan dua orang. Pandu sendirian mengendarai sepeda motor, sedangkan dua orang lainya berboncengan.

Ketiganya melaju dengan cepat untuk mengirimkan oksigen. Mereka melaju di bawah hujan abu dan pasir.

"Di pertigaan Kali Adem yang bawah itu ada pohon tumbang, karena saya naik trail bisa tak lompati tapi mereka nyangkut. Saya terus bilang, biar saya yang antarkan oksigenya," tegasnya.

"Yang membuat saya berani naik itu karena ada jejak mobil. Berarti kan sudah ada yang di atas, bayangan saya," tambahnya.

Abu dan pasir vulkanik panas yang ada di jalan membuat ban sepeda motor yang dinaiki Pandu mulai meleleh.

Mengetahui hal itu, Pandu semakin memacu kendaraannya agar secepat mungkin tiba di lokasi.

"Semakin ke atas semakin panas, semakin panas. Tapi saya tetap melaju ke atas, jangan sampai terlambat mengantarkan oksigen," urainya.

Sesampainya di lokasi, Pandu melihat sebuah rumah. Di depan rumah tersebut tampak ada beberapa orang. Pandu kemudian menghentikan laju sepeda motornya.

Namun kakinya merasa panas karena menginjak pasir. Pandu pun akhirnya memutuskan untuk melompat ke pondasi yang ada di pinggir jalan.

"Di depan rumah Pak Ponimin, saya kaget, mereka sudah di depan rumah, mau maju ban sudah tidak bisa, kaki saya menginjak tanah, panas. Motor saya lempar, saya melompat ke pondasi pagar yang belum jadi," ucapnya.

Waktu itu Pandu merasa bersalah karena misinya mengantar oksigen gagal. Sebab oksigen tersebut berada di motor yang telah ditinggalkanya.

"Saya waktu itu meminta maaf karena merasa misi saya gagal, malah saya merasa merepotkan keluarga ini. Oksigenya itu posisi ada di motor," ungkapnya.

Pandu mengungkapkan saat itu suhu sudah terasa panas dan suasana begitu mencekam. Hujan abu dan pasir masih terjadi. Bahkan pasir yang panas di jalan setebal mata kaki orang dewasa.

Sementara di depan rumah tersebut ada keluarga Ponimin yang seingat Pandu berjumlah 5orang. Selain itu ada dua orang lainya yang juga hendak menolong.

Sebab sebelum dirinya, ada orang yang sudah datang untuk membantu evakuasi.

"Yang ke sana pertama mau menolong keluarga Pak Ponimin, Pak Tris dan satu orang lagi. Pak Tris itu duluan mau membantu mengevakuasi," ucapnya.

Ternyata sebelum Pandu naik ke rumah Pak Ponimin, ada tim dengan menggunakan mobil naik untuk mengevekuasi.

Namun karena kondisi jalan yang tertutup pasir panas dan mobil tersebut sudah penuh dengan warga yang dievakuasi, diputuskan untuk turun.

"Malam itu ada yang naik dengan mobil, ternyata itu yang saya lihat bekas ban mobil itu. Tapi karena mobil sudah full, bannya tipis, tidak berani karena ditakutkan (ban) meletus akhirnya turun dengan membawa warga sedapatnya, nah yang ditinggal di lokasi Pak Tris dan satu orang pemuda," tuturnya.

Pandu akhirnya terpaksa meninggalkan motornya di depan rumah Pak Ponimin. Ia bersama Pak Tris dan satu orang lagi, dengan keluarga Pak Ponimin berjalan kaki menuju ke bawah.

Karena ada salah satu keluarga Pak Ponimin yang hanya memakai sandal, Pandu lantas menawarkan untuk mengendong.

"Bu Ponimin itu hanya pakai sandal biasa, saya menawarkan diri, pun Bu saya gendong (sudah Bu saya gendong) saja, enngak papa saya pakai sepatu kok. Sudah, saya gendong jalan turun," ujarnya.

Menurutnya karena pasir tebal dan panas, saat itu rombongan berjalan dengan cara menaruh beberapa benda.

Mereka satu persatu berjalan di atas barang-barang yang diletakan di jalan sebagai alas. Setelah itu barang diambil dan diletakkan di depan kembali untuk pijakan.

Sebab, tidak mungkin berjalan dengan menginjakan kaki di atas debu vulkanik karena panas.

"Saya ingat yang posisi di belakang sendiri Pak Tris, kita jalan secara estafet. Jadi melangkah dengan menginjak benda yang bisa diinjak agar kaki tidak terbakar, jadi benda-benda itu di estafet, ya berjalan kurang lebih 1 kilometer," jelasnya.

Selama perjalanan itu, menurut Pandu masih terdengar suara guguran-guguran material di Gunung Merapi. Pandu mengaku sepanjang perjalanan itu hanya bisa pasrah dan terus berdoa agar diberikan keselamatan.

"Malam itu saya pasrah lah, saya berdoa-berdoa sepanjang jalan," ungkapnya.

Selangkah demi selangkah mereka akhirnya mereka sampai di pertigaan Kali Adem.

Disitulah mereka bertemu dengan tim SAR yang menggunakan mobil.

Pak Ponimin dan keluarga termasuk Pandu kemudian dievakuasi dengan menggunakan mobil ke tempat yang aman.

"Saya dibawa ke rumah sakit, karena kedua pergelangan kaki mengalami luka bakar ringan. Saya satu malam dirawat di rumah sakit," ujarnya.

Pandu mengaku nekat naik karena terpanggil untuk membantu sesama. Selain itu, karena dirinya waktu itu mengendarai trail. Sebab informasinya banyak pohon tumbang di jalan-jalan.

"Pertimbangan saya karena naik trail, kan jalurnya banyak pohon yang roboh, kalau pakai trail bisa diterobos. Ya karena kemanusiaan, untuk menolong sesama," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/28/05150061/erupsi-merapi-10-tahun-lalu-pandu-kenang-saat-terobos-hujan-abu-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke