Salin Artikel

Mengolah Cacing Merah Jadi Pundi-pundi Rupiah, Kisah Petani Desa Rejosari Riau (2)

Ia waktu itu diberi pelatihan dan pemahaman tentang budidaya cacing merah.

Budidaya cacing merah ini pun memberikan keuntungan ganda, yakni bisa jadi kompos dan bisa dijual untuk menghasilkan uang. 

Ramin bercerita, sebelum adanya kotoran cacing yang dijadikan pupuk di lahan pertanian, kata dia, kelompok taninya hanya menggunakan pupuk kandang yang di fermentasi.

Menurut Ramin, pembuatan fermentasi pupuk kandang prosesya cukup memakan waktu hingga dua bulan.

Pupuk kotoran cacing lebih subur

Namun, dengan reaktor cacing, prosesnya lebih cepat menjadikan pupuk.

Ramin sebagai ketua kelompok tani Berkat Usaha, kini memiliki lahan pertanian seluas dua hektar. Sekitar satu kilometer dari rumahnya.

Tanah itu adalah miliknya. Dulunya, tanah itu berisi tanaman karet sebagai mata pencaharian.

Namun, harga karet yang anjlok di tengah pandemi Covid-19, ia menebang semua pohon karetnya.

"Kami menggarap lahan pertanian ini sejak bulan Juni 2020 lalu. Di dalamnya ada cabai rawit, tomat, pepaya, ubi kayu, cabai merah, terong, kacang panjang, tanaman naga dan tanaman palawija lainnya. Alhamdulillah, sebagian besar sudah kami rasakan hasilnya," ucap Ramin.

Suami Saliyem (50) ini mengaku dalam seminggu hasil panen cabai merah dan cabai rawit lima sampai sepuluh kilogram.

Hasil pertanian dijual dan juga buat kebutuhan sehari-hari anggota kelompok tani.

"Kalau uang hasil panen cabai ada Rp 400.000 hingga Rp 500.000 perminggu. Ya, namanya usaha kami masih baru sekitar empat bulan. Tapi, setidaknya kebutuhan sayur kami tak beli lagi," ujar Ramin seraya bersyukur.

Lebih cepat panen

Namun, kata dia, perkembangan tanaman di lahan pertanian itu sangatlah cepat setelah menggunakan pupuk kascing atau kotoran cacing yang diurai cacing merah dari kotoran sapi.

Seperti misalnya cabe, dalam waktu dua bulan sudah bisa panen.

Kompas.com berkesempatan melihat langsung lahan pertanian yang digarap kelompok tani Berkat Usaha.

Lahan ini berada di areal perbukitan. Di sekelilingnya terdapat kebun sawit dan karet sejauh mata memandang.

Di dalam lahan itu, di tengahnya dibuat sebuah pondok dari papan. Di sekelilingnya terdapat puluhan jenis tanaman lunak yang nampak tumbuh dengan subur. Buah cabai dan terong begitu lebat, meski ukuran batangnya baru sekitar 40 sentimeter.

Begitu juga dengan tanaman naga. Kata Ramin, dalam dua bulan sudah berukuran dua meter lebih. Menurutnya, sekitar empat sampai lima bulan lagi akan berbuah.

Lahan ini dijaga siang dan malam. Beberapa anggota kelompok tani tidur di ladang itu.

Menurut Ramin, tanah perbukitan ini sebenarnya tidak cocok untuk ditanami jenis tanaman lunak, tapi cuma tanaman keras seperti karet atau sawit.

"Tapi dengan pupuk kascing ini bisa dilihat betapa suburnya tanaman yang kami tanam. Sangatlah cepat pertumbuhannya, karena kaya protein. Cocok untuk semua jenis tanaman," tutur pria empat anak ini.

Selain tanaman, Ramin dan teman-temannya juga beternak ayam kampung di lahan tersebut.

Ada sekitar 30 ekor ayam kampung, jantan dan betina, yang dirawatnya. Ayam kampung ini, katanya, juga bantuan dari CSR Pertamina.

Di lahan ini lah Ramin dan petani lainnya menghabiskan waktu untuk bertani. Bertahan hidup dari bertani di tengah pandemi.

"Ya, habis di sini saja waktu kami. Kadang main-main sama ayam pas kasih makan, karena semunya sudah jinak," tutur Ramin seraya tertawa.

Pria yang bertubuh kurus ini mengaku ekonominya terdampak akibat Covid-19 yang mewabah di Provinsi Riau sejak bulan Maret 2020 lalu.

Manfaat ekonomi

Sebelum virus corona itu muncul, sehari-hari ia bekerja sebagai penderes karet di kebun miliknya. Selain itu, mengandalkan beberapa hektar kebun sawit.

Dari hasil kebun itu cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Tapi setelah masuk pandemi, Ramin mengaku pendapatan menurun drastis.

Seperti harga karet turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 4.000 per kilogram.

"Memang ekonomi kami para petani di sini sangat terdampak. Tapi, alhamdulillah harga karet sekarang sudah naik jadi Rp 9.000 satu kilogram. Kalau sawit sekarang Rp 1.800 per kilo," sebut Ramin.

Hanya saja, kata dia, harga karet dan sawit ini kadang turun kadang naik.

Oleh sebab itu, Ramin bersama kelompok tani Berkat Usaha tetap fokus dengan budidaya cacing merah.

Usaha ini akan terus dikembangkan. Baik disegi pupuk maupun cacing untuk dijual.

Mengolah cacing jadi pakan ternak

Bahkan, Ramin mengaku akan mengolah cacing merah untuk dijadikan pakan ternak, seperti pelet ikan dan dedak makanan ayam maupun itik.

Sayangnya ia tidak punya mesin penggiling untuk mengolah cacing tersebut.

"Kami memang ada rencana mengolah cacing merah dengan lebih banyak manfaat, salah satunya pembuatan pelet ikan. Mudah-mudahan impian kami bisa tercapai dari hasil pertanian atau ada yang bersedia membantu," ungkap Ramin.

Meski begitu, Ramin bersyukur telah dibantu oleh pihak PT Pertamina EP Asset 1 Lirik Field melalui program CSR.

"Alhamdulillah, kami sangat terbantu. Banyak ilmu yang kami dapat dan juga dibantu modal usaha," pungkas Ramin.


Bantuan Pertamina EP

PT Pertamina EP Asset 1 Lirik Field memberdayakan kelompok tani untuk membuat usaha budidaya cacing merah.

Perusahaan minyak negara ini bertujuan membantu menggeliatkan ekonomi petani disekitar areal kerjanya yang beroperasi di wilayah Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.

Legal & Relation Assistant Pertamina EP Asset 1 Lirik Field Turjasari mengatakan saat ini pihaknya membina kelompok tani untuk budidaya cacing merah.

"Program penerima manfaat kami sendiri sudah bisa menjadi instruktur dalam budidaya cacing merah, yaitu Bapak Ramin. Beliau kami minta sebagai pelatih budidaya cacing di Desa Gunung Batu dan Desa Rejosari di Indragiri Hulu," kata Turjasari ketika diwawancarai Kompas.com, Sabtu (24/10/2020).

Dia menjelaskan, di tengah pandemi Covid-19 ini, pihaknya fokus membantu masyarakat, terutama yang terkena dampaknya.

Bantuan yang disalurkan, seperti peralatan kesehatan dan sebagainya.

Dikembangkan sejak 2019

Di luar itu, lanjut Turjasari, pihak perusahaan juga fokus membantu masyarakat dibidang ekonomi, yaitu dengan budidaya cacing merah.

"Untuk budidaya cacing merah ini baru yang pertama ada di Riau. Dimana limbah sawit dan juga kotoran sapi dijadikan untuk reaktor cacing merah. Manfaatnya, pertama bisa dijadikan pupuk kascing, dan cacing bisa dijual. Dua keuntungan sekaligus yang didapat kelompok petani," ujar Turjasari.

Ia menjelaskan, program budidaya cacing pertama kali dikembangkan oleh kelompok tani Berkat Usaha yang diketuai oleh Ramin Sunarto pada tahun 2019.

Kala itu, Ramin diberikan pelatihan oleh Fuji Heru Sulistono selaku pemegang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) reaktor cacing.

"Pelatihan pembuatan reaktor cacing merah selama 14 hari. Sekarang Pak Ramin telah berhasil menjalankan program ini, dan selanjutnya kita kembangkan kepada kelompok tani lainnya untuk membangkitkan ekonomi di tengah pandemi Covid-19," kata Turjasari.

(Selesai)

https://regional.kompas.com/read/2020/10/27/07450091/mengolah-cacing-merah-jadi-pundi-pundi-rupiah-kisah-petani-desa-rejosari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke