Salin Artikel

Mengolah Cacing Merah Jadi Pundi-pundi Rupiah, Kisah Petani Desa Rejosari Riau (1)

Di bawah udara sejuk, enam orang pria, yang tergabung dalam kelompok tani Maju Bersama di desa itu, tengah bersiap melakukan panen cacing merah (Pheretima) yang mereka budidayakan.

Ada lima buah reaktor cacing merah yang akan mereka panen. Reaktor cacing merah ini dibuat dengan batang bambu yang dirangkai berbentuk bulat setinggi dua meter.

Panen belum dilakukan, karena mereka menunggu dulu pembinanya, yaitu Ramin Sunarto. Pria 52 tahun inilah yang membina mereka untuk budidaya cacing merah tersebut.

Jam telah menunjukkan menunjukkan pukul 10.00 WIB. Hujan gerimis pun turun. Namun, Ramin tak kunjung datang.

Salah satu anggota kelompok tani menelepon pria yang akrab disapa Pak Ramin itu.

Ternyata, Ramin yang tinggal di daerah tetangga, yakni di Kelurahan Ukui, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, sedang menghadapi musibah. Salah seorang saudaranya meninggal dunia.

Tepat pada pukul 10.25 WIB, Ramin akhirnya datang dengan menggunakan sepeda motor matik yang memakai helm, jaket dan masker.

"Maaf kawan-kawan saya terlambat, tadi ada saudara yang meninggal dunia. Setelah jenazah siap dikubur saya langsung ke sini," ucap Ramin kepada kelompok tani.

Panen setelah 45 hari

Beberapa menit bercerita, akhirnya panen perdana cacing merah dilakukan. Mereka membentangkan terpal warna hijau sebagai wadah memilih cacing.

Tangan-tangan pria itu tampak begitu lincah memilih cacing yang besar dengan yang kecil.

Tak terlihat rasa jijik dari mereka meski kotoran sapi sebagai campuran tanah belum seutuhnya terurai oleh cacing. Bau kotoran sapi pun menyeruak di  halaman depan rumah salah satu anggota kelompok tani.

"Enggak jijik karena sudah biasa megang cacing untuk mancing," ujar Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Dwi Selamat fauzan saat ditanya Kompas.com.

Setelah memecah seluruh tanah dan kotoran sapi, cacing-cacing yang besar berukuran 10 hingga 15 sentimeter terkumpul. Sedangkan anakan cacing dimasukkan lagi ke reaktor supaya berkembang biak.

Setelah ditimbang, berat seluruh cacing yang terkumpul kurang tiga garis dari setengah kilo.

Hasilnya cuma masih sedikit. Tetapi, mereka tetap bersyukur dengan usaha yang dimiliki.

"Sebenarnya cacing ini baru 40 hari. Idealnya 45 hari untuk panen. Apalagi, ini kami baru uji coba," tutur Dwi.


Modal seperempat Kg cacing merah

Pria dua anak ini bercerita, modal awal hanya dengan seperempat kilogram cacing merah yang dibeli di Pekanbaru beberapa waktu lalu. Harganya ketika itu Rp 100.000.

Ia bersama anggota kelompok tani lainnya membuat reaktor cacing sebanyak lima buah.

Bahan yang digunakan, yaitu batang bambu yang sudah dibelah kemudian dirangkai dengan tali. Lalu, diisi dengan kotoran sapi yang dicampur sedikit tanah.

Bagian bawah reaktor dilingkari dengan jaring biar cacing tak dimakan ayam. Sedangkan bagian atasnya ditutup pakai kain untuk pelindung matahari.

Namun, yang dipanen baru satu reaktor, sedangkan empat lainnya akan dipanen beberapa hari ke depan.

Hasil yang didapat memang sedikit. Jika dijual uangnya juga tak seberapa.

"Kalau sekarang cacing merah perkilonya Rp 40.000. Harganya turun di masa karena Covid-19 ini. Biasanya kalau dijual di Pekanbaru itu harganya sampai Rp 100.000," ujar Dwi.

Meski hasil panen pertama dari satu reaktor sedikit, Dwi mengaku tak patah semangat. Sebab, pria berusia 30 tahun ini yakin usaha yang dibuat akan membuahkan hasil.

Bangkit di tengah pandemi corona

Dwi bersama kelompok taninya juga mengaku tak yakin dengan usaha budidaya cacing merah ini.

Akan tetapi, melihat pembinanya, Pak Ramin yang sudah berhasil dengan usaha ini, ia pun merasa yakin.

"Awalnya kami tak percaya. Biasanya cacing merah kami gunakan cuma buat mancing. Tapi, ternyata memiliki peluang yang besar setelah melihat keberhasilan Pak Ramin. Beliau mengolah cacing merah dengan memanfaatkan kotorannya jadi pupuk dan cacingnya juga dijual," kata Dwi yang juga bekerja sebagai buruh karet dan sawit.

Ia dan anggota kelompok tani lainnya berharap dengan usaha ini bisa bangkit di tengah terpuruknya ekonomi akibat Covid-19. Bahkan, kelompok tani ini akan menambah jumlah reaktor cacing merah.

"Ya, selama virus corona ini ekonomi kami sangat terdampak. Penghasilan tak menentu, kadang dapat uang kadang tidak, sementara anak sama istri butuh makan. Jadi kami akan berusaha bangkit dengan usaha budidaya cacing merah ini," ungkap Dwi.

Cacing merah sebagian orang mungkin menganggapnya hanya digunakan buat mancing atau diolah jadi pakan ternak.

Tapi, di tangan Pak Ramin, cacing merah menjadikan banyak manfaat.

Meraup rupiah dari cacing merah

Pria yang juga ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya ini pun meraup rupiah dengan mengolah cacing merah.

Usai panen cacing merah di Desa Rejosari, Pak Ramin mengajak Kompas.com ke rumahnya di Dusun Ampel Gading RT 16 RW 06, Kelurahan Ukui, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, Sabtu (24/10/20) siang.

Tepat di belakang rumahnya, terdapat 11 buah reaktor cacing merah. Saat Ramin membuka kain penutup bagian atas reaktor, sebagian besar kotoran sapi telah diurai oleh cacing merah.

Ramin mengungkapkan bahwa kotoran sapi yang diurai cacing merah sangatlah bagus untuk dijadikan pupuk tanaman, seperti sayur, cabe, terong, kacang panjang, seledri dan termasuk tanaman naga.

"Jadi sekarang saya menggunakan pupuk kascing (Vermikompos) atau kotoran cacing. Pupuk ini bagus sekali. tanaman jadi subur dan cepat berbuah. Tanpa pupuk kimia," kata Ramin.

Reaktor cacing merah, cara membuat dan keuntungannya

Ia mengatakan pembuatan reaktor cacing merah sangatlah gampang.

Caranya, pertama belah batang bambu menjadi beberapa bagian. Kedua, gunakan tali untuk merangkai bambu menjadi bulat.

Untuk ukuran lebar dan tinggi reaktor sesuai keinginan. Disarankan tingginya cukup dua meter saja supaya tidak sulit dijangkau bagian atasnya untuk melihat perkembangan cacing.

Berikutnya, bambu yang sudah dirangkain mejadi bulat diisi dengan kotoran sapi dan masukkan bibit cacing merah.

Pada bagian bawah ditutup dengan jaring supaya cacing tak dimakan ayam atau pun itik. Karena cacing termasuk makanan favorit hewan jenis unggas ini.

Begitupun dengan bagian atas reaktor ditutup pakai kain yang sudah tak di pakai sebagai pelindung dari sinar matahari.

"Setelah lebih kurang 45 hari, cacing merah akan mengurai kotoran sapi," kata Ramin. 

"Jadi, kotoran cacing itu dijadikan pupuk, sedangkan cacingnya juga bisa dijual ke pemancing atau pengepulnya. Kalau saya biasanya jual cacing merah ke Pekanbaru dan Siak. Tapi yang lebih besar manfaatnya, ya komposnya itu,"

Dari reaktor cacing itu, ia meraup dua keuntungan sekaligus. Pertama, kompos memiliki kandungan penyubur tanaman yang lebih baik dari pada semua jenis pupuk buatan pabrik.

Sedangkan yang kedua, keuntungan dari budidaya cacing yang memiliki nilai ekonomi.

Pelatihan budidaya cacing merah

Usaha budidaya cacing merah digeluti Ramin sejak tahun 2019 lalu. Usaha ini ia dapati dari bantuan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina EP Asset 1 Lirik Field.

Ia waktu itu diberi pelatihan dan pemahaman tentang budidaya cacing merah.

"Waktu ditawarkan program ini saya langsung ambil. Saya bersama anggota kelompok tani Berkat Usaha mulai merintisnya," cerita Ramin.

Modal awalnya hanya dengan diberikan biaya untuk membeli bibit cacing satu kilogram seharga Rp 100.000. Bibit cacing merah dibeli ke Kota Pekanbaru.

Pembelian cacing merah cukup sekali saja. Karena, cacing akan beranak pinak di dalam reaktor. Ketika panen, hanya diambil cacing yang besar saja, sedangkan anaknya ditabur lagi ke dalam reaktor.

"Kalau modal dari 11 reaktor ini hanya sekitar Rp 280.000. Satu reaktor bisa menghasilkan panen lima kilogram cacing," kata Ramin.

(Bersambung ke bagian 2)

https://regional.kompas.com/read/2020/10/27/07300051/mengolah-cacing-merah-jadi-pundi-pundi-rupiah-kisah-petani-desa-rejosari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke