Salin Artikel

Menyoal Penangkapan Dosen di Makassar, Mengaku Dianiaya hingga Babak Belur karena Dikira Demonstran

Ia dianiaya belasan polisi hingga babak belur.

Kepada Kompas.com AM bercerita hari itu ia sedang mencari makan dan mencetak tugas di sekitar Jalan Urip Sumoharjo.

"Saya pada saat itu pertama tidak berada di lokasi. Saya mencari makan, setelah itu saya mau pergi nge-print. Saya biasanya print di depan Universitas Bosowa. Ketika saya mau ke sana, ternyata aksi masih terjadi," kata AM menceritakan detik-detik sebelum ditangkap di kantor PBHI Sulsel, Minggu (11/10/2020).

Saat itu, tiba-tiba ada polisi yang menembakkan gas air mata di tempat AM berdiri.

Ia kemudian mengindar agar tidak terkena gas air mata. Selain itu ia merasa tidak terlibat kericuhan. Tak lama kemuian, AM didatangai sekitar 20 aparat kepolisian.

AM kemudian menunjukkan KTP untuk meyakinkan polisi bahwa dia bukan bagian dari pendemo. Namun AM malah dipukuli polisi berulang kali.

"Saya hanya kebetulan di sini terjebak. Saya mau nge-print. Saya tunjukkan KTP saya, tapi tidak juga diindahkan. Kemudian saya langsung dipukul, diangkat kerah saya."

"Saya langsung dihajar, dipukul dan itu tidak dipukul pada wilayah-wilayah yang tidak mematikan, karena itu di wilayah kepala dan itu secara berulang kali," ujar AM.

Ia kemudian diseret ke mobil polisi dan kembali dipukuli. Tak hanya itu, AM juga mengaku diinjak hingga terjatuh. Saat berusaha bangun, dia kembali dipukul hingga tiga kali.

"Sampai saya dihantam seingat saya dengan tameng di bagian kepala saya ini ada lebam bagian biru. Seingat saya ini dihantam pakai tameng," kata AM

AM bercerita, saat itu ada pimpinan aparat yang menyarankan untuk tidak melakukan pemukulan. Namun setelah pimpinan pergi, oknum anggota terus melakukan pemukulan.

Bahkan ia terus dipukuli saat berada di dalam mobil walaupun ada salah satu polisi yang mengatakan jika AM adalah seorang dosen.

Namun beberapa aparat malah melontarkan kata-kata kasar dalam bahasa Makassar.

"Itu yang saya tidak terima. Saya bahkan malam itu mengira itu ajal saya. Saya dengan tubuh kecil seperti ini dihantam, dipukul lebih kurang 15 orang dengan cara membabi buta," kata AM.

AM pun sempat dibawa ke Polrestabes untuk diperiksa.

Setelah pemeriksaan selama 1x24 jam, dia dipulangkan karena tidak terbukti menjadi bagian dari massa aksi yang bentrok dengan aparat kepolisian.

AM berani membuktikan jika ia bukan pengunjuk rasa dengan bukti kamera CCTV di tiang listri lampu jalan dekat dirinya ditangkap.

ia juga memastikan tak sedikit pun menginjak lokasi unjuk rasa.

Menurutnya kasus yang dialami AM akan dilaporkan secara etik dan pidana.

"Kita bisa pastikan korban ini mengalami salah tangkap aparat kepolisian yang telah mengalami tindakan penganiayaan, pengeroyokan dan tindakan pemukulan secara brutal dan membabi buta," kata Syamsumarlin saat konferensi pers.

Ia menjelaskan tindakan yang dialami oleh AM sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.

Selain melapor ke kepolisian, PBHI Sulsel juga akan menyurati Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Syamsumarlin mengatakan bahwa aparat kepolisian yang melakukan tindakan represif tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, dia juga menyebut aparat tidak mematuhi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

"Korban ini sama sekali tidak terlibat dalam massa aksi tanggal 8 Oktober itu. Ini sangat kejam, bahkan korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal yang dialami yang perkataan sangat tidak wajar dilontarkan aparat kepolisian," kata Syamsumarlin.

Ia mengatakan ikut prihatin dengan insiden tersebut.

Namun ia berdalih aparat yang melakukan penangkapan sudah melakukan tindakan sesuai prosedur.

Menurutnya sebelum aksi represif, pihak kepolisian sudah melakukan imbauan melalui pengeras suara agar warga atau pengunjuk rasa membubarkan diri saat bentrokan terjadi.

Ibrahim mengatakan, imbauan tersebut bisa didengar hingga radius kilometer hingga mustahil jika warga di sekitar lokasi tak mendengarnya.

"Kemudian kedua kita (polisi) menyemprotkan water cannon, kepada pengunjuk rasa anarkis itu. Kemudian berikutnya ditembakkan flash ball atau gas air mata. Kemudian kita melakukan penguraian terhadap massa yang ada di situ," kata Ibrahim.

Setelah melakukan upaya tersebut, pihak kepolisian akan mendorong massa untuk meninggalkan tempat berunjuk rasa di sepanjang Jalan Urip Sumoharjo.

Ibrahim pun mengungkapkan bahwa dengan berbagai langkah awal yang mereka lakukan, seharusnya orang-orang yang tidak terlibat sudah tidak berada di sekitar lokasi unjuk rasa.

"Nah kalau masih di tempat, itu sangat patut dan wajar untuk petugas mencurigai orang-orang yang ada di situ (terlibat aksi). Saat itulah dilakukan penanganan yang bersangkutan dan orang-orang yang masih bertahan di situ," tutur Ibrahim.

Tidak menutup kemungkinan pihaknya akanl kembali memanggil orang-orang yang sudah ditangkap sebelumnya saat aksi unjuk rasa Omnibus Law tersebut termasuk korban.

Menurut Ibrahim, pengakuan AM yang berada di sekitar lokasi aksi untuk mencetak (print) akan dicocokkan kembali dengan dokumen kerjanya.

"Kita tetap bertanggung jawab mendudukkan semua fakta-fakta yang ada di lapangan dan akan kita beri keterangan apabila sudah kita dalami. Keterangan dari situasi yang terjadi pada saat itu," ujar Ibrahim.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Himawan | Editor: Khairina, Abba Gabrillin)

https://regional.kompas.com/read/2020/10/13/10300081/menyoal-penangkapan-dosen-di-makassar-mengaku-dianiaya-hingga-babak-belur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke