Salin Artikel

Melihat Kehidupan Isolasi di Wisma Atlet, dari Order Makanan hingga Tangisan

Bukan karena merasakan ada sesuatu yang tidak beres di badannya, tapi karena peraturan tempat bekerjanya di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mewajibkannya tes swab setelah dari luar kota.

Begitu membaca hasil tes swab, ia mematung sejenak.

Hasilnya, positif Covid-19.

Ia berusaha tenang, walau sesekali merasa bingung.

Ia lalu mengontak keluarga, teman, dan orang-orang yang pernah bertemu dengannya.

Tujuannya, agar mereka juga segera memeriksakan diri ke pusat kesehatan.

Istri dan sopirnya positif Covid-19.

Sedangkan, ketiga anak yang dipeluknya tiap hari dan Ibunya yang ia salami setiap pergi dan pulang kerja, dinyatakan negatif Covid-19.

Menuju wisma atlet

Sore harinya, sambil membawa koper berisi perlengkapan, TB membalas senyuman anaknya seraya dia meninggalkan rumah menggunakan ambulans.

Begitu sampai di Wisma Atlet dan melakukan registrasi, ia menjalani berbagai pemeriksaan oleh para tenaga kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD).

Keesokan harinya, istrinya tiba di Wisma Atlet.

Awalnya ia menganggap ini musibah. Namun, lama-lama ia menganggapnya anugerah dan jalan untuk mengucap syukur kepada Allah.

“Bagaimana tidak bersyukur, dengan mata kepala sendiri, gue lihat ada seorang Bapak datang ke Wisma Atlet sendiri pada sore hari. Padahal istrinya baru meninggal dunia tadi pagi,” tutur TB saat menjawab pertanyaan Kompas.com, belum lama ini.

Lalu ada seorang ayah yang bukan pasien, tapi harus menemani anaknya yang masih kecil karena positif Covid-19.

Ada pula anak bayi yang masih menyusui dinyatakan positif dan harus ditemani ibunya yang negatif.

Tak cuma itu, ada seorang ibu yang harus dikucilkan tetangga, karena Covid-19.

Hari demi hari, teman sesama pasien Covid-19 pun semakin bertambah.

“Ada tentara, birokrat, pengusaha, pedagang, karyawan, pensiunan, hingga anak-anak muda. Kami sampai membuat grup WA yang isinya pasien Covid-19 semua,” ungkap dia.

Mencoba bertahan

Tebe alias TB dan istrinya tinggal di satu ruangan yang memiliki dua tempat tidur. Di sana mereka kerap bercengkrama, mengobrol masa lalu, merancang masa depan, hingga saling menguatkan.

Sesekali mereka pun keluar kamar untuk berjemur atau menikmati matahari terbenam bersama.

Mereka mencoba menghindari stres dan pikiran negatif lainnya.

“Untuk bisa sembuh, intinya harus semangat, ikhlas, harus tenang. Disiplin minum obat dan istirahat,” tutur dia.

Sebagai ikhtiar tambahan, ia mengonsumsi vitamin, madu, jahe, semua disikat agar sembuh.

Termasuk makanan, ia harus enak makan dan makan enak. Apapun makanan yang diinginkan, akan dimakan untuk meningkatkan nafsu makan.

Itu sebabnya, ia beberapa kali pesan makanan lewat aplikasi ojek online. Salah satunya Nasi Uduk Kebon Kacang.

“Pesan makanan masih boleh, diantar sama GoFood-nya. Cuma makanannya disimpan di bawah, kita enggak boleh kontak langsung sama pengantarnya,” kata Tebe.

Tangis tenaga medis

Selama 20 hari di Wisma Atlet, Tebe kerap kangen dengan ketiga anaknya yang dijaga Ibunya. Menahan kerinduan itu cukup menyiksa baginya.

Namun, hal itu ternyata tidak sebanding dengan perjuangan para tenaga kesehatan (nakes).

Sejak pandemi corona melanda Indonesia dan Wisma Atlet dibuka beberapa bulan lalu, para tenaga medis belum pernah pulang.

“Gue pikir, setelah kerja mereka pulang ke rumah bertemu keluarga. Ternyata mereka enggak pulang. Beres kerja, mereka ke tower sebelah untuk karantina. Selama berbulan-bulan mereka jauh dari keluarga,” tutur dia.

Ketika Tebe hanya mengenakan masker, para nakes ini harus mengenakan APD lengkap menutupi tubuh selama sekitar 8 jam.

Mereka tak bisa makan, tak bisa minum, tak bisa buang air kecil dan buang air besar.

Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa harus pakai popok dewasa, karena khawatir kebelet pipis ataupun buang air besar.

“Rasa gerah sudah pasti mereka hadapi. Coba bayangkan itu,” kata Tebe.

Suatu pagi, ada seorang tenaga medis datang berkabar dan bercerita sambil menangis. Dia pamit harus pulang ke kampung halaman karena istrinya sedang kritis.

Biasanya, orang tersebut yang menyemangati Tebe dan istrinya untuk menang melawan Covid-19. Namun, saat itu justru Tebe dan istrinya yang mencoba menghibur nakes tersebut.

Kabar yang ia peroleh, istri dari nakes tersebut berhasil melewati masa kritisnya.

“Ada juga tenaga medis yang berubah menjadi pasien, karena terpapar virus Covid-19 yang sangat bengis. Sungguh miris,” tutur Tebe.

Selama 20 hari berada di Kemayoran, ia mengaku mendapat banyak sekali pelajaran dan pengalaman. Ia tak pernah berhenti mengucapkan rasa terima kasih kepada petugas medis.

Tebe meyakini, para tenaga medis adalah orang-orang hebat dan pilihan. Mereka meninggalkan keluarga berbulan-bulan demi merawat pasien Covid-19.

Tebe mengatakan, mereka tidak hanya berjasa di mata insan, tetapi juga mulia di mata Tuhan.

Selama di Wisma Atlet, Tebe mendapat kabar duka. Sopirnya yang juga positif Covid-19 meninggal dunia karena memiliki penyakit bawaan.

“Ia orang yang soleh. Bahkan di mobil yang dinyalakan adalah murotal. Ia tidak pernah mengeluh sakit apapun, makanya gue kaget ketika mengetahui dia punya penyakit,” tutur Tebe.

Kini, Tebe dan istri sudah dinyatakan negatif Covid-19 dan bisa berkumpul dengan keluarganya.

“Anggap saja ini cobaan dan ajang seleksi pertemanan. Berbahagialah kalian karena sudah menjadi orang-orang pilihan yang derajatnya akan dinaikan,” ucap dia.

Ia pun berpesan, Covid-19 bukanlah cacar, yang sekali kena tidak akan terkena lagi.

Untuk itu, ia mengingatkan agar semua menjaga imunitas dengan memerhatikan fisik maupun psikis.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/18/17155351/melihat-kehidupan-isolasi-di-wisma-atlet-dari-order-makanan-hingga-tangisan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke