Salin Artikel

Kisah Viral Ibu 1 Anak Meninggal karena Lambat Ditangani, Dianggap Probable Covid-19, Swab Negatif

SAMARINDA, KOMPAS.com – Maya Abriana Sari (26) terbaring lemah ditemani ibunya, Masnawati (48), di ruang 12 RSUD Kudungga, Sangatta, Kutai Timur, Kaltim.

Sejak semalam dia sudah muntah-muntah. Kondisi tubuhnya terus melemah.

Jelang siang harinya, Jumat (21/8/2020), ibu satu anak ini mulai susah bernapas.

“Ma, tolong panggilkan perawat, saya susah bernapas,” ucap Maya kepada ibunya yang menemaninya, seperti dikisahkan tante Maya, Sandrawani, kepada Kompas.com, Jumat (28/8/2020).

Masnawati bergegas memanggil perawat di sekitar ruangan, tetapi tidak ada.

Semalam saat meninggalkan Maya, perawat menitipkan nomor telepon yang ditempel di dinding.

Pesannya, jika ada keluhan, segera menelepon nomor tersebut.

“Ibunya (Maya) tidak bisa telepon. Saya dari tempat kerja minta bacakan nomor itu. Saya telepon sekitar 5 sampai 6 kali baru diangkat,” ungkap Sandrawani.

Lewat perbincangan telepon, Sandra mengaku sempat berdebat dengan perawat yang menerima teleponnya.

“Perawat bilang kita ini keliling, Bu. Bukan satu pasien saja. Tidak mungkin kami jaga 12 jam.”

“Iya saya tahu, saya tidak minta dijaga 12 jam, tapi ponakan saya itu lemas. Tolong itu kalium-nya rendah,” jawab Sandra.

Tak lama berselang, datanglah perawat memasang oksigen. Setelah selesai, perawat meninggalkan ruangan, Maya lemas lagi.

“Ibunya telepon lagi perawatnya,” tutur Sandra.

Di ujung telepon itu, menurut pengakuan Sandra, Masnawati mendengar keluhan suara perawat.

“Ada (perawat) bilang baru lepas APD (alat pelindung diri). Capek mau istirahat. Keluhan itu terdengar jelas oleh ibu Maya, Masnawati,” kata Sandra.

Masnawati berusaha meyakinkan anaknya untuk bertahan.

“Sabar ya, Nak, perawatnya istirahat. Di saat itu juga Maya embuskan napas terakhir sekitar jam 2 siang,” terang Sandra.

Melihat anaknya sudah tak bernyawa, Masnawati berteriak minta tolong dalam ruang itu dengan suara keras.

Dia keluar dari ruangan, beda dua ruang dari ruangan Maya, seorang pasien positif Covid-19 meminta Masnawati jangan mendekat. Dirinya positif Covid-19.

Masnawati kembali masuk ke ruang tempat terbaring jenazah anaknya. Dia mendengar suara pekikan dari luar.

“Bapak yang Covid-19 itu juga teriak sambil tendang sesuatu. Itu ada manusia minta tolong, bukan binatang,” cerita Sandra dari pengakuan Masnawati.

Setelah hampir 30 menit kemudian perawat datang ke ruang.

“Anak saya sudah enggak ada baru datang. Mau dipompa jantungnya. Ibunya larang, 'Jangan kau pompa. Jangan siksa anak saya',” tutur Sandra.

Sebelum dirujuk ke RSUD Kudungga, cerita Sandra, Maya sudah berobat di dua rumah sakit swasta berbeda.

Maya tak bisa jalan karena kekurangan kalium.

Mereka membawa Maya ke salah satu rumah sakit swasta di Sangatta, pada 1 Agustus 2020. Setelah mendapat perawatan, kondisi Maya membaik dan dipulangkan kembali ke rumah.

Setelah pulang, Maya menyampaikan keluhan lain, yakni batuk sudah hampir satu bulan.

“Jangan-jangan TB (tuberculosis). Jadi saya ajak periksa lagi. Kami bawa ke RS lagi,” kata dia.

Setelah dirontgen, ditemukan ada cairan di paru-paru. Kemudian disedot cairan itu, lalu dinyatakan kondisi membaik dan boleh pulang.

“Tapi, kalium-nya anjlok lagi. Kemudian dibawa lagi ke RS swasta berbeda,” terangnya.

Malam itu ada pasien perempuan masuk di RS tersebut, tetapi diberi satu ruangan dengan Maya.

Belakangan pasien tersebut ternyata positif Covid-19 dan meninggal.

Keluarga Maya awalnya tak tahu hal tersebut.

“Saat kita pulang, perawatnya bilang, 'Kalau Bu Maya ada keluhan sesak atau apa, tolong langsung ke RSUD Kudungga (RSUD rujukan Covid-19),” kata Sandra.

Bingung dengan pesan tersebut, keluarga yang menjemput Maya bertanya maksud dari pernyataan tersebut.

“Ternyata keteledoran pihak rumah sakit menggabungkan pasien Covid-19. Tapi, kenapa kami tidak diberitahu. Justru saya dengar cerita dari keluarga saya bahwa Maya digabung dengan pasien positif,” terang dia.

Merasa kesal, Sandra melapor ke pemilik rumah sakit swasta tersebut. Esoknya, manajemen rumah sakit meminta maaf kepada keluarga Maya.

Manajemen memberi pilihan keluarga Maya melakukan isolasi mandiri di rumah atau rumah sakit. Keluarga memutuskan melakukan isolasi di rumah sakit.

“Akhirnya, Maya, suaminya, dan ibu Maya isolasi selama 14 dinyatakan dan hasil rapid test non-reaktif. Urusan kami dengan rumah sakit itu akhirnya klir,” jelas dia.

Pulang seusai isolasi, Maya kembali drop dengan keluhan kekurangan kalium.

“Kami bawa ke rumah sakit swasta berbeda lagi, lebih dekat dengan rumah,” kata dia.

Sampai di rumah sakit tersebut, dokter yang menangani Maya di IGD menyatakan bahwa Maya berstatus probable Covid-19 setelah berkomunikasi dengan dokter paru yang menangani Maya di rumah sakit sebelumnya.

“Ruangan Maya dipisahkan ke ruang lain di sekitar IGD. Saya beberapa kali bilang dokter itu, kalium-nya gimana. Dokter bilang, 'Iya, Bu, tunggu saja di luar. Sudah diberi kalium',” terangnya.

Di saat bersamaan, Maya juga beberapa kali meminta agar dokter menangani dulu kaliumnya. Sebab, dia merasa masih bernapas baik.

“Kalium-ku dulu. Paru-paru nanti saja,” tutur Sandra menirukan Maya.

Di tengah situasi susah tersebut, Maya kemudian siap dirujuk ke RSUD Kudungga karena disebut terduga Covid-19.

Di rumah sakit milik pemerintah itu Maya mengembuskan napas terakhir setelah satu hari mendapat perawatan menggunakan standar Covid-19.

Maya pergi meninggalkan sang suami dan anak perempuan usia dua tahun.

Uji swab PCR Maya baru keluar setelah meninggal dan dinyatakan negatif Covid-19.

“Saya komplain ke rumah sakit yang rujuk dia (Maya). Sebelumnya saya datang ke RSUD Kudungga mengeluhkan kenapa pelayanan begitu. Ponakan saya sudah meninggal 30 menit baru datang perawatnya,” terang Sandra.

Kronologi kematian Maya ini diceritakan ulang oleh adik Maya, Ramayati, melalui Instagram story hingga viral.

Kronologi kematian Maya juga viral di Facebook setelah diunggah.

Hingga Jumat (28/8/2020) pukul 23.39 Wita, ada 813 komentar dan 2.747 kali dibagikan.

Dikonfirmasi terpisah, Direktur RSUD Kudungga dr Anik Istiyandari mengatakan, pihaknya sudah memberi kalium melalui infus yang dipasang ke Maya saat mendapat perawatan di Kudungga.

“Pengobatan itu kan proses. Enggak mungkin juga ditunggui terus gitu loh. Mereka (perawat) juga merawat yang lain,” kata dia.

Sementara itu, menurut Anik, pasien tersebut juga punya penyakit kalium sejak lima tahun lalu.

Ditambah lagi, sebelumnya di rumah sakit lain pasien yang bersangkutan digabung satu ruangan sama pasien positif Covid-19.

“Itu kan berpengaruh ke psikis pasien,” kata dia.

Anik mengatakan, sejak dirujuk, pasien tersebut dicurigai Covid-19 karena sesuai pemberitahuan pernah kontak erat dengan pasien positif meski sebelumnya mereka telah menjalani isolasi mandiri.

“Kami tetap pakai standar Covid-19 dong,” jelas dia.

Walaupun demikian, setelah meninggal, hasil swab PCR-nya negatif. Anik enggan membuka penyebab kematian Maya dengan alasan rahasia pasien.

“Yang jelas pasien tersebut meninggal bukan karena terkonfirmasi Covid-19. Hasil swab negatif,” terang dia.

Saat disinggung apakah ada kaitannya dengan riwayat penyakit Maya, yakni kekurangan kalium.

“Mungkin, karena dia sudah lima tahun kan,” tutup Anik.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/29/16593121/kisah-viral-ibu-1-anak-meninggal-karena-lambat-ditangani-dianggap-probable

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke