Salin Artikel

Rumah Saksi Perjuangan Melawan Agresi Militer Belanda Terancam Pembangunan Tol

Tepat di pintu masuk bagian atas rumah terdapat tulisan dengan huruf jawa yang berbunyi "Joyo Wiryo"

Halaman depan rumah yang tampak cukup luas. Terdapat beberapa pohon sawo berukuran besar yang membuat halaman depan rumah terasa teduh.

Rumah ini dipagari oleh tembok dari bata merah yang dicat putih. Dilihat sekilas, rumah limasan ini usianya memang sudah cukup tua.

Tak hanya itu, bangunan limasan yang bagian depannya dicat hijau ini juga memiliki nilai sejarah dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia.

Keturunan ketiga pemilik rumah itu, Soedarjo (88), menuturkan dulu rumah limasan ini milik kakeknya yang bernama Joyo Wiryo.

"Ini sekarang sudah generasi ketiga, ini dulu kakek saya Joyo Wiryo. Dulu kakek saya itu lurah di Tegalrejo," ujar Soedarjo (88) saat ditemui di kediamannya Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Selasa (11/08/2020).

Sembari menggenggam dua piagam yang diberikan oleh Ikatan Keluarga ex taruna MA (Militer Akademi) Yogya dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Soedarjo menyampaikan  rumah limasan tersebut sarat akan sejarah.

Saat penjajahan Belanda, Soedarjo tinggal bersama orangtuanya di Kecamatan Ngemplak, Sleman.

Setelah kakeknya meninggal, Soedarjo bersama keluarga pindah ke rumah kakeknya.

Soedarjo masih ingat betul ketika terjadi Agresi Militer Belanda II yang menyerang Yogyakarta.

Saat itu Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia.

"Ibu Kota kita Yogyakarta saat itu kan diserbu Belanda, lalu semua keluar dari kota semua termasuk tentara Kita untuk melawan Belanda dalam bentuk perang gerilya," tuturnya.

Tak hanya itu, rumah limasan tersebut juga digunakan oleh para pejuang dan Taruna Militer Akademi untuk merencanakan berbagai perlawanan gerilya.

"Ya sering di sini, waktu itu kan saya masih ya istilahnya SMP, yang saya ketahui (pejuang dan MA) sering tidur di sini, makan di sini. Dari militer akademi dulu singkatan MA dulu banyak berkegiatan di sini untuk melawan Belanda," ungkapnya.

Rumah tersebut digunakan sebagai tempat singgah para pejuang dan Taruna Militer Akademi karena dinilai strategis untuk mengawasi Belanda.

Sebab saat itu, Belanda mendirikan markas di sebelah Barat Candi Prambanan, atau di daerah Bogem, Kalasan, Sleman.

"Di sini itu dianggap garis terdepan, karena kedudukan Belanda dulu di sebelah barat jembatan Prambanan, itu yang sekarang Bong Supit Bogem karena menjaga jembatan agar tidak diledakan tentara kita," urainya.

Biasanya para pejuang, tentara dan Taruna Militer Akademi melakukan penyerangan terhadap markas Belanda pada malam hari.

Sebelum melakukan penyerangan, mereka berkumpul di rumah limasan tersebut.

Tak hanya itu, rumah berbentuk limasan ini juga digunakan untuk menginterogasi mata-mata Belanda yang tertangkap.

Sampai saat ini, ruangan yang digunakan untuk menginterogasi juga masih ada.

"Saya masih ingat, dulu mata-mata musuh (mata-mata Belanda) di interogasinya di sini, dimasukan dalam kamar saya situ," urainya.

Rumah yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman pernah diserang Belanda.

Belanda mengetahui rumah tersebut digunakan untuk aktivitas para pejuang, tentara dan Taruna Militer Kademi.

"Pernah disedang Belanda dua kali, tapi ya untung rumah ini selamat. Yang pertama pagi jam 5 Belanda sudah sampai di pasar sana, ada orang jualan jambu lalu ditembak, nah suara tembakan itu terdengar sampai sini lalu yang disini lari semua," bebernya.

Saat itu karena lari dengan tergesa-gesa ada helm baja yang tertinggal di dalam kamar.

Beruntung saat Belanda masuk ke dalam rumah tidak melihat ada helm baja milik pejuang yang tertinggal.

"Padahal Belanda masuk, tapi tidak tahu, Ya kalau tahu pasti dibakar rumah ini, pasti. Kalau ada jejak dari pasukan gerilya apa pun pasti dihancurkan," tegasnya.

Sebelum pejuang dan tentara dari arah Timur masuk ke Yogyakarta untuk melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 juga sempat singgah di rumah limasan tersebut.

Mereka singgah untuk beristirahat sambil makan.

"Tentara yang dari sebelah Timur mau masuk Yogya, berhenti disini dulu untuk makan, dulu nasinya nasi bungkus pakai daun pisang. Banyak tentara waktu itu," ucapnya.


Pernah Disinggahi Pahlawan Nasional

Soedarjo tampak beranjak dari tempat duduknya. Pria berusia 88 tahun ini dengan semangat melangkah masuk ke dalam rumah limasan.

Dia lantas menunjukkan kamar yang dahulu digunakan untuk menginterogasi mata-mata Belanda.

Pintu masuk ke ruangan tersebut saat ini ditutup dengan lemari kayu.

Dia kemudian menceritakan, Pahlawan Nasional Herman Johannes pernah singgah di rumah kakeknya tersebut.

Soedarjo masih ingat betul, sosok Herman Johannes.

"Saya masih ingat Pak Insinyur Johannes pernah kesini," ucapnya.

Soedarjo kemudian menunjukkan salah satu lokasi dalam rumah, tepatnya di depan pintu bagian tengah.

Di lokasi tersebut Herman Johannes pernah tidur.

"Di situ itu beliau tidur, tidurnya di lantai dengan alas tikar waktu itu," ungkapnya.

Herman Johannes lanjutnya singgah di rumah berbentuk limasan tersebut sebelum menjalankan misi meledakan jembatan.

Waktu itu ada dua jembatan yang diledakan dengan tujuan agar bisa menghambat laju pasukan Belanda dari Timur yang hendak masuk ke Yogyakarta.

"Beliau tidur sebentar disini sebelum meledakan jembatan Tulung, dan jembatan Bogem yang Barat Candi itu, tujuannya waktu itu untuk menghambat pasukan Belanda dari arah Timur," ungkapnya.

Herman Johannes lahir di Rote, Nusa Tenggara Timur 28 Mei 1912.

Pria yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM 1961-1966 ini merupakan ahli fisika dan kimia.

Herman pernah menjadi peracik bom di masa Agresi Militer Belanda I dan II.

Herman Johannes dianugerahi pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009.


Terancam Terdampak Pembangunan Tol Yogyakarta-Solo

Soedarjo menyampaikan tidak mengetahui apakah rumah limasan yang penuh dengan sejarah tersebut belum terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.

Dia memang tidak mengajukan rumah tersebut untuk dijadikan cagar budaya.

"Saya tidak tahu ini masuk cagar budaya atau tidak, karena saya tidak mengajukan. Ini sudah generasi ke tiga, kakek saya Joyo Wiryo, lalu ayah saya Wiryosudiharjo, lalu saya," urainya.

Hanya saja memang ada dua piagam penghargaan yang diterimanya.

Pertama pada 28 November 1988 Ikatan Keluarga ex. Taruna M.A Yogyakarta memberikan piagam penghargaan kepada Wiryosudiharjo.

Piagam penghargaan ini diberikan atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan pasukan M.A Yogyakarta selama Perang Kemerdekaan 1949.

Pada 14 Juni 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY memberikan piagam penghargaan kepada Soedarjo.

Piagam penghargaan ini diberikan atas peran dan komitmen dalam melestarikan bangunan cagar budaya rumah tradisional Tegalrejo, Tamanmartani, Kalasan, Sleman.

"Waktu itu saya hanya dipanggil untuk mendapat piagam penghargaan ini. Tapi saya memang belum pernah mengajukan," tegasnya.

Soedarjo membenarkan jika rumah berbentuk limasan peninggalan kakeknya yang memiliki nilai sejarah terancam terdampak pembangunan Tol Yogyakarta-Solo.

Namun sampai saat ini, pria berusia 88 tahun ini belum mengetahui luasan bangunan yang terdampak.

"Luasnya ini semua itu 5.500 meter persegi, tapi saya belum tahu yang terkena berapa. Kepastianya yang kena di mana, Saya masih menunggu pemasangan patok, nanti kan jelas," ungkapnya.

Diakuinya, mandat dari kakeknya dahulu meminta agar rumah limasan tersebut dijaga kelestarianya.

Sampai saat ini, Soedarjo sudah melaksanakan mandat tersebut.

Namun karena proyek jalan Tol adalah program pemerintah, Soedarjo tidak bisa berbuat banyak jika memang harus terdampak.

"Karena tol program pemerintah ya sudah, cuman kalau bisa dipertimbangkan, bangunan ini bisa dilestarikan," tegasnya.

Saat sosialiasi dan penandatanganan berita acara, Soedarjo sudah menyampaikan rumah limasan ini mempunyai nilai sejarah.

Selain itu rumah tersebut juga berjasa bagi perjuangan kemerdekaan dan masyarakat.

Soedarjo meminta agar dipertimbangkan lagi agar rumah limasan yang penuh nilai sejarah ini tidak terkena pembangunan tol Yogya-Solo.

"Kenyataanya dari yang saya hayati memang berjasa, karena saya juga mengalami sendiri. Kalau bisa ya rumah limasan depan ini dipertimbangkan, artinya jangan sampai (terkena tol), tapi ini kalau bisa lho, kalau enggak bisa ya sudah apa boleh buat," tandasnya.


Harus Dijaga dan Dilestarikan

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Djoko Suryo berpendapat bangunan yang memiliki nilai sejarah haruslah dilindungi dan dilestarikan.

Perlu dipertimbangkan lagi jika ada bangunan yang mempunyai nilai bersejarah sampai terdampak pembangunan jalan tol.

"Saya kira itu perlu dirembuk, dibicarakan plus minusnya karena termasuk tempat bersejarah. Memang perlu dipertimbangkan, artinya nilai yang bersifat kesejarahan pengaruhnya terhadap masyarakat yang kita harapkan untuk menghargai menghormati pada nilai-nilai perjuangan," ucapnya.

Disampaikannya, dasar dari penetapan cagar budaya kadang-kadang lebih berat pada aspek umur bangunan.

Jika bangunan sudah berumur 50 tahun baru dianggap sebagai bangunan yang termasuk perlu dicagarkan.

Padahal banyak yang nilai kesejarahannya hanya sudah dibangun lebih dari 50 tahun.

Karenanya, Djoko Suryo melihat perlu ada aspek lain yang dipertimbangkan selain umur bangunan, yakni nilai sejarahnya.

Seperti bangunan limasan di Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.

"Kalau ini (bangunan limasan di Tegalrejo) kan malah nilai sejarahnya memiliki makna peristiwa bersejarah, jadi nilai sejarahnya itu yang perlu dicagarkan. Jadi mungkin bisa diusulkan untuk tidak boleh dipindahkan atau tidak boleh diubah, kalau bisa," tegasnya.

Menurutnya limasan di Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman dipindahalihkan fungsinya karena terdampak tol maka akan hilang nilai kesejarahannya.

"Bagaimana kalau mau memperingati peristiwa itu. Kalau saya usul itu tetap dipertahankan nilai kesejarahannya untuk dipelihara, dan dipertahankan," tandasnya.

Apalagi rumah limasan tersebut pernah disinggahi oleh Herman Johannes.

Pemerintah telah menganugerahi Herman Johannes sebagai pahlawan nasional. Paling tidak rumah itu, bisa dipakai untuk peringatan.

"Kalau ada data itu, ya apalagi Pak Johannes kan pahlawan nasional yang karena perjuanganya dulu membuat bom. Itu termasuk langka juga dalam kesejarahan beliau, apalagi dia rektor, pahlawan nasional juga, saya kira menarik untuk generasi milenial bisa menghargai dan belajar dari tokoh semacam beliau," ungkapnya.

Menurutnya, pada zaman perjuangan, memang rumah-rumah kepala desa atau kepala dukuh sering dijadikan sebagai markas oleh para pejuang dan tentara, sebab kepala desa menjadi panutan masyarakat.


Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, saat koordinasi dengan tim pembangunan Jalan Tol Jogja-Solo-Semarang disampaikan, pembangunan akan menghindari situs-situs bersejarah.

"Koordinasi dengan kami tidak akan menerjang situs yang harus dipertahankan. Yang termasuk situs itu di mana? Masuk dalam cagar budaya atau tidak itu nanti akan dicek," urainya.

Terkait dengan rumah limasan di Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, masih akan dilakukan pengecekan.

Hal ini untuk melihat rumah tersebut apakah sudah terdaftar sebagai cagar budaya atau rumah tiga generasi.

Jika rumah tersebut belum masuk dalam cagar budaya, maka bisa digeser oleh pemiliknya.

"Kalau itu belum masuk, kalau nanti harus dibelokkan segala macam kan dilihat dari plus minusnya dari jalan itu. Khan nggak bisa kita belokan di zigzag kan hanya membelokan satu itu kan nggak bisa, itu bagian yang harus dipertimbangkan," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Sumadi menjelaskan terkait dengan adanya benda cagar budaya atau warisan budaya yang terdampak ketika sosialisasi sudah siap untuk dipindahkan.

"Dalam sosialisasi sudah siap dipindahkan dalam bentuk aslinya. Kita dari tim warisan budaya itu mengawasi bagaimana itu dikembalikan sesuai dengan aslinya," bebernya.

Sumadi menyampaikan memang rumah limasan di Dusun Tegalrejo, Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman belum masuk dalam cagar budaya.

Namun rumah tersebut memiliki nilai sejarah perjuangan khususnya Taruna Militer Akademi (MA) hingga mendapatkan piagam penghargaan.

"Kita kemarin sudah sepakat dengan pelaksana jalan tol, sudah dibicarakan dengan pemiliknya juga itu dikembalikan walaupun letaknya agak bergeser, tidak jauh dari situ katanya. Tetapi wujud rumahnya tetap akan dikembalikan," tandasnya.

Bangunan limasan tersebut imbuhnya sistemnya knockdown, sehingga bisa dilepas dan dipasang kembali.

"Nanti trasenya jelas itu ada patoknya, koordinatnya jelas mau dipindah mana sudah dibicarakan, nanti tinggal digotong saja. Itu limasan kan istilahnya knockdown, jadi kemungkinan bisa dicopoti," papar Sumadi.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/13/16564011/rumah-saksi-perjuangan-melawan-agresi-militer-belanda-terancam-pembangunan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke